Keep in Fashion

Di tahun 1998, saya pernah merasa kecewa ketika di akhir roadshow lima kota di Australia saya diumumkan sebagai sebagai “presenter berbusana terbaik”. Yang ada di otak saya saat itu adalah: apa-apaan ini ya? Ajang presentasi profesional di mana managemen hotel tempat saya bekerja menuntut saya mendapatkan banyak deal, tapi kok saya jadi seperti ikut lomba fashion show saja?

 

Kejadian itu tepatnya di semester pertama tahun 1998 ketika saya mewakili hotel tempat saya bekerja yang terpilih menjadi salah satu delegasi dari Bali di ajang Australian Roadshow. Yakni sebuah ajang bergengsi untuk menarik turis-turis Australia. Kerja keras! Jadwal presentasi within breakfast-lunch-dinner. Harap maklum, pasar turis Australia adalah selalu masuk dalam tiga besar wisatawan yang mengunjungi Bali.  Saat itu  total peserta berjumlah 30 yang adalah campuran delegasi dari Bali, Singapura, Malaysia, dan Thailand.

 

Aneh bin ajaib, rupanya perhatian penyelenggara terpaku pada setiap penampilan saya sehari-hari selama 12 hari perjalanan bersama rombongan dari satu kota ke kota lainnya.

 

Memang sih timbangan koper saya cukup berat yaitu 30 kilogram. Di dalam koper bawaan saya itu memang sudah tersedia pakaian untuk bisa dipakai selama 12 hari, termasuk pakaian dalam, kaos kaki, dan dasi. Semua sudah well planned deh pokoknya, tapi saya sama sekali tidak mengira bahwa busana saya akan menjadi sorotan juga.

 

Mau tahu cara berbusana sebagai seorang sales seperti saya?

 

Ini sebagian bocorannya. Buat saya berbusana adalah klasik a la natural supaya busana bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama. Pokoknya yang tidak membuka celah untuk salah kostum. Busana yang pas di berbagai occasions adalah kesempatan mengekspresikan diri sendiri dan seperti menelan pil yang berkhasiat meningkatkan percaya diri. Seorang sales adalah cermin bagi hotel tempatnya bekerja. Kalau penampilannya amburadul atau pakaiannya asal-asal-an, bagaimana membangun ketertarikan calon klien  terhadap  produk yang kita bawa dan pertanggung jawabkan?

 

Sebagai seorang Sales Manager waktu itu, saya harus selalu tampil prima. Semua saya lakukan karena saya senang melakukannya. Tanpa sadar penghasilan tetap bulanan saya kesedot juga untuk menjadi sedikit konsumerisme stylish dan fashionable. Untuk perjalanan selama 12 hari di Australia itu, berarti saya akan membawa satu setelan jas baru ditambah setelan yang pernah dipakai. Maksudnya lima setelan akan saya pakai di lima kota. Setiap kota harus berbeda setelan. Tidak ada pengulangan mengenakan setelan yang sama selama perjalanan. Dan yang satu setelan sebagai cadangan jika tiba tiba  mood  berubah.

 

Di ajang kompetisi antar sales seperti Australian Roadshow ini dan sesi Seller Meet Buyer di berbagai acara Travel Exchange, saya selalu mempunyai cara untuk menang. Salah satunya adalah saya harus “stunning in the crowd”. Saya melanggar etika yang disebut “business attire”. Saya sangat beruntung karena saya mewakili Bali yang hotelnya adalah Resort Hotel. Coba bayangkan bagaimana jika seorang salesman dari city hotel seperti Jakarta yang dikenal sebagai city dan business hotel  mengenakan pakaian seperti saya, tidak cucok kan? Oh ya, Saya menghindari warna dominan busana bisnis kota besar yang rata setelan jas laki-laki begitu monoton hitam, abu-abu dan biru tua di ajang pasar terbuka seperti itu.

Ketika saya mewakili hotel bintang 5 tepi pantai dengan luas 6 hektar dan total kamar 404, logo hotel itu adalah merah. Maka di tengah warna koservative itu, di hari pertama saya mengenakan warna merah terang, dengan dasi senada berwarna merah juga tetapi bermotif naga emas. Pasangannya adalah celana putih, tas warna merah dan pastinya sepatu kulit warna putih dan kaos kaki merah juga. Merah-Putih lah ya…

 

Saya selalu ingat aturan penting  sebagai seorang salesman adalah, “kenakan busana yang rapi, membawa tas dan mengenakan sepatu dengan kualitas yang baik”.

 

Maka inilah saya di keseharian. Buat saya berbusana buruk adalah sama halnya seperti menjadi ban kempes. Saya memerlukan booster untuk mengenakan busana agar percaya diri. Untuk mendukung pekerjaan dan produktif, busana adalah salah satu alat untuk membangun percaya diri sepenuhnya.

 

Sangat beruntunglah saya karena dari kesenangan gonta-ganti gaya busana sesuai zamannya dan trennya, kemudian saya dapat memenuhi tuntutan tampil prima di pekerjaan. Roadshow dan Travel Expo serta perjalanan dinas lainnya adalah bagian dari panggung fashion show saya. Gaya berbusana saya menuntun ke arah sukses penjualan, karena orang sudah tertarik dari melihat gaya busana pandangan pertama. Langkah awal saya sudah satu poin memenangkan kompetisi. Penampilan saya sangat mendukung kesuksean di arena profesi. Begitu juga dalam personal life bukan?

 

Jadi, penghargaan berbusana terbaik di Australian Roadshow itu, sebenarnya personal lifestyle saya yang mendukung pekerjaan dan karir. Citra diri saya adalah in fashion buat rekan-rekan kerja saya. Busana dan asesoris yang saya pakai rupanya juga kemudian banyak mengispirasi teman-teman perhotelan yang sering melakukakan perjalanan bisnis di dalam rombongan bersama saya.

 

Sebenarnya saya senang dengan yang “keep it simple” dan nyaman dan praktis sehingga tidak mengganggu pergerakan dan aktivitas. Hasilnya, orang melihatnya pun nyaman dan “chic”. Sering saya mengenakan setelan busana yang tampak santai dengan mengkombinasikan celana pendek, baju lengan panjang dan sepatu kulit model klasik tanpa kaos kaki.

 

Inilah keunggulan menjalani hobi yang kemudian memberikan roh pada pekerjaan. Beruntung juga, semua perusahaan di mana saya bekerja memberikan seragam. Kalau tidak, bisa berbahaya buat saya. Penghasilan bisa habis cuma untuk berbelanja busana untuk travel show di luar negeri.

 

 

Dari kumpulan (unpublished) Hotelier Stories Catatan Edan

Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku

Hospitality Consultant Indonesia in Bali – Telu Learning Consulting – Commercial Writer Copywriter – Jasa Konsultan Hotel

Leave a Reply