The Untold Hotelier Stories: One Night Stay di Hotel

Bulan Agustus mendatang, saya akan memasuki bulan ke-9 bekerja fulltime di Jember. Memasuki semester ke-2 tahun 2022 saat ini, di tengah maraknya istilah StayCation, DayCation, sebenarnya saya kangen dengan kembalinya kata Vacation, liburan dalam arti yang sebenar-benarnya.

Masa tinggal rata-rata tamu di tempat kerja saya yang city hotel adalah 1.1 malam. Aktivitas tinggi di 5 hari kerja dan tingkat hunian menurun di hari MInggu dan Senin. Behaviour ini sangat berbeda dengan tempat saya bekerja di destinasi resort, Bali. Masa tinggal tamu rata-rata adalah 3 – 5 malam tergantung kebangsaannya.

Kapan Anda terakhir kali jalan-jalan dan menginap di hotel?

Kali ini saya hendak mengungkap dibalik layar hotel operasional perihal tamu-tamu yang menginap satu malam. Peristilahannya adalah one night stay atau short stay.

Kira-kira demikian detilnya …

Room cost

Untuk hotel dengan rata-rata masa tinggal satu malam, biaya operasional kamar menjadi tinggi. Tentunya berpengaruh terhadap harga sewa harian kamar yang kelihatan kaku, non-negotiable. Day-use berbayar 50% dari harga sewa kamar per malam – setelah minimum satu malam menginap – itupun dengan kondisi kamar tidak di full supply tetap tidak berpengaruh terhadap pengurangan biaya.

(Kalau ada aturan lain, lain kali kita bahas di Best Practises mengenai Day-use ini.)

Ada untold stories atau cerita dibalik layar dalam operasional hotel yang tidak diketahui publik dalam urusan Housekeeping. Dalam hal ini bagaimana tingginya persentase tamu yang menjadi kolektor barang-barang berlogo yang dipasang di kamar hotel. Apabila tamunya seorang kolektor, maka amenities dan supplies akan diangkut semua termasuk sabun, shampoo, vanity. Bahkan ada yang sampai toilet tissue-pun dibawanya. Banyak tamu punya pemikiran adalah bagian yang sudah dibayar. Jamak, tamu merasa menjadi pembeli karena membayar, padahal terminologi “tamu” yang sebenarnya adalah orang yang datang untuk menginap (di hotel) dengan biaya sewa kamar harian, bukan menjadi pembeli. Sehingga sebagai tamu juga wajib mematuhi aturan rumah-tangga dimana mereka hadir sebagai penyewa, bukan pemilik. Hak sebagai penyewa berbayar adalah hak guna terbatas.

Mengapa penginap one night stay membuat cost factor tinggi?

Ya, salah satunya adalah yang saya sebut di atas yaitu si penginap adalah kolektor. Dan ada satu tahapan lagi yaitu pihak hotel harus membuang semua shampoo, sabun, amenities dan supplies bekas pakai. Ditambah stripping linen dan towels termasuk deep/spring cleaning. Alokasi biaya terpakai semua sampai ke bahan kimia pembersih. Apalagi dimasa pandemic COVID-19 ada penambahan refresh kamar dengan mematuhi aturan CHSE yang tentu saja ada penambahan biaya untuk me-ready-kan kamar untuk tamu-tamu status EA (Expected Arrival).

Tetapi ada juga dalam pengalaman kerja saya punya tamu long-staying yang gak mau rugi. Setiap hari amenities dan supplies minta replenish. Semua items termasuk toilet tissue, kopi, gula dll. dimasukkan koper loh! Demikian juga isi mini bar yang “included in the room rate”. Bahasa kami menyebut “tamune check-out ringkes-ringkes, tuntas tanpa batas”

Hotelier Stories 2022 The Untold Hotelier Stories: One Night Stay di Hotel
Llivingroom – Image by zhaodeqin from pixabay

 

Lalu bagaimana best practices untuk cost saving?

Sebenarnya paling mudah adalah dengan mendapatkan pangsa pasar dengan masa tinggal di atas rata-rata. Lumayan untuk tamu yang menginap dua – tiga malam, operasional housekeeping belum perlu mengganti supplies dan amenities secara total. Demikian juga laundry untuk linen. Sebenarnya management hotel kalau bisa memilih, pasti memilih tamu-tamu yang mempunyai masa tinggal “beyond than average”. Dengan demikian sales department mempunyai occupancy base dan tidak lelah mencari mencari bisnis baru secara harian untuk menggantikan yang check-out. Ada waktu untuk mikir strategi jangka panjang istilahnya. Cost saving beda dengan efisiensi ya. Karena istilah efisiensi adalah mengurangi beberapa jenis supplies dan amenities. Ini yang tidak boleh dilakukan karena menurunkan standar yang akan menyebabkan kenyamanan tamu berkurang.

Secara marketing, hotel management selalu ingin meningkatkan value untuk guest experience-nya. Sudah pasti yang bisa membedakan delivering value dari layanan hotel adalah repeat guests dan long staying guests. Loyal customer selalu penasaran untuk mendapatkan experience minimum sama dari sebelumnya. Tentunya mereka akan senang ketika ada peningkatan baik dalam layanan maupun penambahan fasilitas, karena mereka merasa mempunyai investasi dan akan rela membayar kenaikan harga.

Sekarang kita semua sudah tahu kan cara berhitungnya?

Jadi, please kalau sedang traveling nginepnya “beyond than average” ya. Selain itu bisa lebih memberikan review yang lebih komplit kalau pengalaman masa tinggal lebih lama. Dan satu lagi, kalau saya orangnya males packing, jadi tinggal menginap di satu tempat adalah pilihan.

 

Jember, 26 Juli 2022

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Perhotelan dan Consultant for Hospitality Industry di Indonesia

 

Juga tayang di

The UntoldHotelier Stories: “Tamune Ringkes-ringkes”

Hotelier Stories 2022

Leave a Reply