Saya kategori cerdas sosial tinggi tapi cerdas intelektual rendah dan stres sendiri

Pertama-tama yang ada dalam pemikiran saya sesuai salah satu ajaran budi pekerti dalam keluarga besar adalah hidup itu harus menjadi manfaat menjadi berkat bagi sesama dan makhluk lain. Falsafahnya adalah hidup, menghidupi, menghidupkan. Bisa jadi prosa satu buku novel 300 halaman ini kalau saya dijabarkan sekarang. Singkat cerita, sebenar-benarnya saya kemudian memperoleh nilai bahagia ketika saya memberikan diri dan hati saya untuk  bermanfaat bagi orang lain.

Pada kenyataannya banyak hal yang saya lakukan, bagaimana saya bersikap, bagaimana saya bertindak, selalu ada saja feedback dari orang lain, diminta ataupun tidak. Ini mengadili, membantu mikirin, atau menggunjingkannya ya?

Banyak orang lain mencari tahu #kepo tentang berbagai tindakan saya dalam banyak hal, untuk kemudian menjadikannya bahan pembicaraan. Ini yang terjadi bukannya ikhlas menaruh simpati dan empati yang saya butuhkan apalagi memberikan bantuan yang saya perlukan ketika kejadian luar biasa terjadi terhadap saya. Dan fyi tidak semua hal saya expose di sosmed loh. Bagi saya ketika logika mulai bermain, knowing those insincerities seperti itu sering membuat saya merasa menyakiti diri sendiri. Dan inilah salah satu karakter.

Mengacu pada literatur dokter Bach dari Inggris, saya adalah seorang “Centaury”. Yaitu seseorang yang merasa sulit untuk mengatakan ‘tidak’ kepada orang lain. Centaury adalah jiwa yang baik, lembut dan suka membantu. Tapi terkadang orang yang kejam mengambil keuntungan dari karakter Centaury ini; dan alih-alih menjadi seseorang  yang tulus ikhlas penuh ke-rela-an, orang Centaury malah dibalik menjadi budak dari keinginan orang lain yang menyalah gunakannya.

Apakah Centaury ini? Ya, Centaury adalah satu dari 38 bunga dokter Bach sebagai kebaikan alam. Gunanya untuk membantu menyelesaikan masalah langsung ke akar permasalahan psikologis tanpa menimbulkan efek lain, karena bukan obat.

Selanjutnya ada momen yang bisa dibilang tepat pada waktunya. Karena pada saat saya sedang menulis naskah ini, masuk WA text dari seorang teman lama, seorang Trainer tingkat nasional yang menawarkan kepada saya untuk membawakan materi Digital Marketing B2B di Yogya dihadapan 200 orang marketer perusahaan minyak nasional. Tetapi arah pembicaraan kami beralih topik bukan melulu tentang Public Speaking ini. Satu hal menarik adalah tentang 3 Kecerdasan Manusia yang sedang saya pikir untuk saya tulis. Ternyata si teman ini punya literatur berbeda dan cukup menohok saya.

Kata si teman

“Menurut literatur, ada 3 jenis kecerdasan; fisik, sosial/emosional, dan intelektual”

Jawab saya

“Sebentar-sebentar, aku harus sinau maneh iki. Yang aku tahu 3 kecerdasan manusia itu adalah Emosional, Spiritual dan Intelektual”

Si teman tidak menimpali kata-kata saya tapi lanjut menulis text nya

“Ketiga kecerdasan tsb jika dikelola dgn baik akan melahirkan kecerdasan spiritual”

Jawab saya lagi

“Tapi iki nenarik loh. Kok yo pas kamu memberi trigger”

Selanjutnya tulis si teman

“Kalo orang punya kecerdasan fisik yg tinggi tapi kecerdasan sosial yg rendah, perilakunya akan mukulin orang…..😀😀😀

Kalo orang cerdas intelektual tinggi dan cerdas fisik rendah, maka perilakunya akan sehari kerja seminggu di rumah sakit…..😀😀😀

Kalo orang cerdas sosial tinggi tapi cerdas intelektual rendah, seringkali ditipu orang.  Orang baik tapi bodoh…..😀😀😀

Kalo orang cerdas intelektual tinggi tapi cerdas sosial rendah, akan cenderung meremehkan orang lain, atau bahkan menipu yang lemah…..😀😀😀”

Jawab saya kemudian

“Nah lo – Aku loh iki… Bolak balik kena tipu uang. Gampang percoyo, Gak tegoan. Mostly utang personal”

Timpal si teman dan pastinya ini tendangan telak buat saya.

“Berarti kecerdasan sosial *peno dominan tinggi, dengan resiko mengorbankan kecerdasan intelektual bro….. *Peno sepertinya sering terjebak dgn kebaikan semu *cak……😀😀😀” (*bahasa Surabaya/ Jawa-Timuran *Peno= Kamu *Cak = seperti Mas dalam bahasa Jawa yang lain)

Sayapun membatin, si teman ini bener banget. Saya ini stres ketika saya tidak mampu menolong orang lain. Lebih sering sebenarnya terhadap orang yang hendak meminjam uang, bahkan minta. Setelahnya saya kepikiran dan itu bisa berhari-hari. Pendek kata saya mikirin orang lain yang tidak mikirin saya. Sepertinya saya sudah terbiasa juga dengan orang ngutang yang kemudian ngilang. Uang saya yang dibilang dipinjam beberapa hari atau paling lambat akan dikembalikan awal bulan, kemudian tidak kembali sampai saat ini.

Ingat sebagian besar stres pada diri kita berasal dari cara kita masing-masing merespons suatu kejadian dan bukan karena sewajarnya hidup ini. Menyikapi dengan bijak tentunya akan membuat sirna semua stres-stres tersebut. Ya, pastinya Keputusan saya tidak selalu benar. Sangat situasional.

Balik lagi, ini Quote dan Pitutur Jawa  yang sangat erat dengan kehidupan saya. Copy-paste-nya:

 “The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well. –  Ralph Waldo Emerson”

 Terjemahannya

Tujuan hidup bukanlah untuk bahagia. Tetapi menjadi manfaat, menjadi terhormat, berbelas kasih, dengan itu semua untuk membuat perubahan bahwa Anda telah hidup dan hidup dengan baik. – Ralph Waldo Emerson

Dan Pitutur Jawanya

Migunani Tumraping Liyan yang artinya sekecil apapun tindakan kita, haruslah bermanfaat dan berguna untuk orang lain.

Semuanya baik dan untuk dijalankan.

Belajar dari pengalaman hidup saya sendiri, kita harus menjalankannya secara seimbang. Memikirkan diri sendiri adalah sangat penting sebelum memikirkan orang lain. Tindakan menjadi manfaat bagi orang lain dan makhluk lain harus logis dan tidak merugikan diri sendiri.

 

 

Bali, 15 October 2019

Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku

Hospitality Consultant Indonesia in Bali –  Telu Learning Consulting – Commercial Writer – Copywriter – Jasa Konsultan Hotel

Leave a Reply