Surat yang Tidak Pernah Sampai

Baca dulu Part 1 dari Trilogi ini: Sepotong Langit di Meja Kopi

 

“Ada surat yang tidak dikirim, bukan karena tidak penting, tapi karena akhirnya kita sadar—kita menulisnya bukan untuk dia, tapi untuk diri sendiri.” — Sepucuk Surat, Sebuah Perpisahan

 

Prolog

Zea tidak menghapus foto itu dari dompetnya. Ia tidak membuang kenangan. Tapi sore itu, ia menulis. Bukan status. Bukan pesan. Tapi surat—surat panjang yang tidak pernah ia kirim.

Meja yang Sama, Perasaan yang Berbeda

Dua minggu setelah pertemuan singkat itu, Zea kembali ke meja nomor tujuh. Kali ini tanpa polaroid, tanpa kopi, tanpa alasan.

Ia hanya membawa satu hal: selembar kertas kosong dan pena.

Angin sore bertiup ringan, dan kedai tidak terlalu ramai. Barista tidak menyapa, tidak juga bertanya. Mereka sudah tahu: jika Zea datang sendiri dan tidak langsung memesan, berarti dia sedang dalam misi penting—menyusun kembali hatinya.

Zea membuka lembaran pertamanya.

Isi Surat

Arka,

Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu. Mungkin tidak. Dan aku rasa, itu bukan hal yang penting lagi.

Aku menulis ini bukan karena aku berharap kau kembali. Aku juga tidak sedang merindukanmu. Aku hanya ingin mengeluarkan sesuatu yang tertahan terlalu lama.

Waktu kita pernah indah, dan aku bersyukur untuk itu. Tapi kepergianmu—caramu menghilang, caramu memilih diam tanpa kejelasan—itu mengajarkan aku sesuatu: bahwa seseorang bisa sangat mencintai, tapi tetap tidak bisa memiliki.

Aku pernah bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya? Di aku? Di kamu? Atau di semesta? Tapi sekarang, aku tidak lagi mencari siapa yang salah. Aku hanya ingin belajar menerima bahwa memang tidak semua hal harus dimiliki untuk bisa dikenang.

Setelah kamu pergi, aku belajar menyeduh kopi dengan takaran yang pas. Aku belajar bangun pagi tanpa berharap ada notifikasi dari namamu. Aku belajar menyembuhkan luka tanpa meminta penjelasan dari orang yang melukai.

Dan kini, aku baik-baik saja.

Terima kasih karena pernah membuat hatiku penuh. Dan terima kasih juga, karena pernah membuatnya hancur. Tanpa itu, aku tidak akan pernah tahu, betapa kuatnya aku bisa bertahan.

Jika nanti kita bertemu lagi di tempat yang berbeda, dalam hidup yang berbeda, aku harap kita bisa saling tersenyum—bukan karena ingin kembali, tapi karena kita pernah saling memilih… meski tidak sampai akhir.

—Zea

Mengirim atau Menyimpan?

Zea melipat surat itu rapi. Menaruhnya dalam amplop. Ia menulis nama Arka di sudut kiri, lalu menatapnya lama.

Ia sempat berpikir untuk mengirimkannya.

Namun ia tahu—ini bukan tentang Arka. Ini tentang dirinya. Tentang membereskan ruang yang pernah berantakan, dan tidak harus diberitahukan siapa pun bahwa ia telah berhasil membereskannya.

Surat itu ia simpan di dalam buku hariannya. Diletakkan di laci, bersama pulpen, bersama damai.

Hujan di Luar Jendela

Hujan mulai turun.

Zea tersenyum. Tidak ada rasa sesak. Tidak ada air mata. Ia tahu, kali ini tidak akan ada yang masuk lewat pintu dengan jaket kulit dan kamera di leher.

Dan itu tidak apa-apa.

Dia sudah tidak menunggu.

Kadang, menunggu yang paling menyakitkan bukanlah menanti seseorang kembali. Tapi menanti keberanian untuk berdamai dengan apa yang tidak akan pernah kembali.

Zea kini tidak lagi menulis untuk didengar. Ia menulis untuk mengingatkan diri sendiri: “Aku baik-baik saja.”

Surat Itu Tetap Di Sana

Surat itu tidak pernah dikirim. Tapi Zea membacanya sesekali—bukan karena masih mencintai Arka, tapi karena ia ingin terus mencintai dirinya sendiri.

Surat itu adalah titik balik. Sebuah tanda bahwa ia pernah terluka, dan tidak membalas dengan kemarahan. Ia memilih tenang. Ia memilih tumbuh.

Dan dari pilihan itulah, ia menemukan dirinya kembali.

.

.

.

Lanjut Baca Part 3: Saat Kita Tak Lagi Bicara

.

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

#SuratYangTidakSampai #CerpenReflektif #PerpisahanTanpaAmarah #HealingMelaluiTulisan #CeritaCintaRealistis

 

 

Leave a Reply