Saat Bahumu Jadi Tempat Pulang

“Ada orang yang datang bukan untuk mengubah dunia kita. Cukup untuk duduk di sebelah, mendengarkan, dan perlahan meluruhkan segala beban yang kita simpan rapat-rapat.”

.

Sebuah Awalan yang Lelah

Malam itu, Jakarta seperti tenggelam dalam kelap-kelip lampu yang tak lagi menghibur. Di sudut kafe kecil bernuansa kayu tua di Kemang, Wiramenggala duduk seorang diri. Di hadapannya, secangkir kopi hitam yang nyaris dingin. Ponsel dibiarkan terbalik, seakan semua notifikasi dunia luar hanya akan menambah beban batin.

Sudah dua bulan berlalu sejak ibunya meninggal. Dan hanya beberapa minggu setelah itu, kekasihnya, seorang perempuan yang bersamanya selama lima tahun, pergi tanpa banyak kata. Retna Sekar Ningrum, nama itu masih terpatri, namun kini hanya menyisakan kekosongan.

Wiramenggala merasa hidupnya berhenti. Ia bekerja seperti robot, bicara seadanya, tidur dengan gelisah, dan bangun tanpa semangat. Di dunia yang hiruk-pikuk, ia sunyi. Dan kesunyian itu menyakitkan.

Hujan turun perlahan membasahi kaca jendela kafe. Saat itulah ia melihat seorang perempuan masuk, membawa ransel lusuh, rambut sebahu yang basah oleh gerimis, dan mengenakan sweater abu-abu. Ia duduk di meja seberang, memesan teh panas, dan hanya memandangi hujan. Matanya teduh, ada luka yang tertahan tapi juga ketenangan.

Entah mengapa, Wiramenggala merasa ingin bicara. Tapi ia tahu, bukan percakapan yang ia butuhkan malam itu. Ia hanya ingin… hadir bersama seseorang yang mengerti diam.

.

Pertemuan Tanpa Rencana

Beberapa menit berlalu. Tak ada kata yang diucap. Hanya iringan jazz pelan yang mengalun dari speaker tua kafe.

Wiramenggala memanggil pelayan dan berkata, “Mas, tolong buatkan satu kopi hangat lagi. Antar ke meja sebelah, untuk Mbaknya.”

Pelayan mengangguk. Tak lama kemudian, perempuan itu menoleh dan tersenyum kecil, lalu berdiri dan berjalan ke meja Wiramenggala.

“Terima kasih untuk kopinya,” katanya lembut. “Boleh saya duduk di sini?”

Wiramenggala mengangguk. “Silakan. Nama saya Wiramenggala.”

Rengganis,” jawabnya sambil menjabat tangan pelan.

Mereka duduk lama dalam diam.

“Kadang, diam itu cukup, ya?” ucap Rengganis pelan, matanya menatap ke luar jendela.

Wiramenggala tak menjawab dengan kata, hanya mengangguk. Kalimat itu membongkar tembok batinnya. Malam itu, ia bercerita. Tentang ibunya, tentang kehilangan, tentang Sekar, tentang rasa gagal yang menghimpit dadanya setiap pagi.

Dan Rengganis… ia hanya mendengar. Tanpa nasihat, tanpa interupsi, tanpa ekspresi kasihan. Hanya mendengar, dengan tatapan teduh yang seolah berkata, “Lanjutkan. Aku di sini.”

Itu pertama kalinya dalam waktu lama Wiramenggala merasa lega. Seperti lumpur yang perlahan mengendap dari air keruh.

.

Sosok yang Tak Diundang, Tapi Membawa Damai

Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka berulang. Tanpa rencana. Kadang di kafe yang sama, kadang di taman kota, atau toko buku senyap yang menyimpan aroma kertas tua.

Rengganis bukan seseorang yang banyak tanya. Ia hadir seperti bayangan sore, tak menyilaukan tapi menenangkan. Dan kehadirannya membuat Wiramenggala mulai merasa hidup lagi.

Suatu sore, mereka duduk di taman. Rengganis datang membawa dua gelas cokelat panas.

“Kamu boleh cerita. Atau kita diam saja. Tak masalah,” ujarnya dengan suara selembut kabut pagi.

Hari itu, Wiramenggala menangis. Tangis yang tertunda. Tangis yang ia tahan selama berbulan-bulan. Ia merasa aman untuk rapuh.

Rengganis tak banyak bicara, hanya menepuk punggungnya pelan dan berkata, “Kamu tak harus melupakan mereka. Tapi kamu berhak untuk sembuh.”

Kalimat itu seperti doa. Sederhana, tapi menenangkan.

.

Saat Kehadiran Mengubah Segalanya

Waktu berjalan. Wiramenggala mulai pulih. Ia kembali menulis—hobi lama yang ia tinggalkan. Ia mulai memperbaiki hubungan dengan adiknya, yang dulu sempat retak karena urusan warisan ibu. Bahkan, ia mulai bisa tersenyum pada kenangan.

Dan Rengganis tetap hadir. Tanpa pamrih.

Di suatu malam yang gerimis, selepas makan malam sederhana di warung tenda, Wiramenggala bertanya pelan.

“Rengganis, boleh aku tahu… kenapa kamu selalu ada untukku? Padahal kita tak punya masa lalu. Kamu bukan siapa-siapaku.”

Rengganis menghela napas.

“Aku pernah berada di tempat yang sama. Terpuruk. Hancur. Waktu itu, ada seseorang yang mendengarkan aku, tanpa menghakimi. Sekarang, aku hanya ingin meneruskan kebaikan itu.”

Dan sejak saat itu, dalam hatinya, Wiramenggala tahu—Rengganis adalah humepenthe-nya. Sosok yang membuat luka menjadi pelajaran, bukan beban. Yang hadir bukan untuk mengubah hidupnya, tapi membuatnya melihat kembali cahaya.

.

Akhir yang Tak PErlu Diungkapkan

Hubungan mereka tak pernah diberi label. Tak pernah dibahas akan ke mana. Tapi hati tahu, ada keterikatan.

Rengganis pernah berkata, “Tak semua hubungan harus memiliki. Ada yang cukup untuk menjadi bahu, tempat pulang sejenak.”

Dan Wiramenggala mengangguk.

Suatu pagi, pesan dari Rengganis masuk.

“Hari ini aku harus ke luar kota. Mungkin lama. Aku harap kamu sudah cukup kuat untuk jalan sendiri. Jangan lupa… hidup bukan tentang siapa yang tinggal, tapi bagaimana kita terus berjalan. Aku percaya kamu bisa.”

Wiramenggala memandangi pesan itu lama. Ada haru yang menggumpal. Tapi juga kedewasaan yang kini tumbuh dalam dirinya.

Hari itu, ia kembali ke taman tempat biasa mereka duduk. Ia menatap langit yang cerah.

“Terima kasih, Rengganis. Kamu adalah humepenthe-ku. Sekarang, izinkan aku melanjutkan hidupku.”

Dan ia pun melangkah. Tidak lagi sendirian, karena hatinya sudah utuh kembali.

.

“Tak semua pertemuan harus berujung pada kepemilikan. Ada yang cukup menjadi bahu sejenak, lalu pergi, meninggalkan kita yang lebih kuat dari sebelumnya.”

.

.

.

Jember, 3 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Humepenthe #Wiramenggala #Rengganis #CerpenJawaModern #CerpenHealing #KisahInspiratif #PelipurLara #CintaTanpaKepemilikan #MenakJawa

Leave a Reply