Saat Kita Tak Lagi Bicara Tapi Mengerti
Baca dulu Part 2 dari Trilogi ini: Surat yang Tidak Pernah Sampai
“Ada saatnya kita tidak lagi butuh penjelasan. Karena kedewasaan mengajarkan: yang paling dalam, tak selalu bisa diucapkan.” — Pelajaran dari Sebuah Keheningan
Prolog
Kisah yang tidak selesai bukan berarti gagal. Kadang, itu hanya cara semesta memberi ruang untuk kita belajar satu hal: diam pun bisa menjadi bentuk cinta paling dewasa.
Festival Buku dan Waktu yang Berlalu
Tiga bulan setelah surat tak terkirim itu ditulis, Zea mengikuti festival buku di Jakarta Selatan. Ia mengisi sesi talkshow kecil untuk membahas buku kumpulan esai reflektifnya—kumpulan catatan yang tak lain adalah lembaran kehidupannya sendiri.
Buku itu laris. Bukan karena Zea terkenal, tapi karena tulisannya jujur. Satu bab bahkan berjudul “Sepotong Langit di Meja Kopi”—cerita fiksi yang sejujurnya bukan fiksi. Tentang seorang perempuan yang ditinggal tanpa pamit, lalu menemukan dirinya kembali lewat satu surat yang tak pernah dikirim.
Di sudut ruang pameran, seseorang berdiri. Tidak mendekat. Tidak memotret. Hanya menatap dari kejauhan.
Zea tidak perlu mendekat untuk tahu. Itu Arka.
Tidak Bicara, Tapi Mengerti
Setelah sesi selesai, Zea turun panggung dan berjalan ke arah luar. Matanya sengaja tidak menoleh ke kanan, ke arah tempat Arka berdiri. Tapi hatinya tahu: langkah itu dipantau, tidak dengan rasa bersalah, tapi dengan hormat.
Di lorong parkir, hujan gerimis turun. Zea membuka payung.
Lalu terdengar langkah cepat dari belakang. Bukan mengejar. Hanya sejajar.
Tanpa kata, Arka membuka payungnya sendiri. Berjalan di sisi yang berlawanan arah. Tak ada sapa. Tak ada pelukan.
Namun saat mata mereka bersitatap, ada yang disampaikan tanpa suara:
-
“Terima kasih, karena tidak membenciku.”
-
“Terima kasih, karena sudah tumbuh dengan utuh.”
Setelah itu, mereka berbelok ke arah berbeda.
Dan itulah momen ketika Zea sadar: kadang, pengampunan tak butuh kata.
Karena saat dua orang sama-sama bertumbuh, mereka tidak lagi butuh kejelasan. Mereka saling mengerti, bahkan saat tak lagi bicara.
Ruang yang Tetap Kosong
Zea tidak pernah lagi bertemu Arka setelah itu. Tidak juga bertukar kabar di media sosial. Tapi ruang yang dulu penuh luka, kini telah bersih. Bukan karena seseorang datang dan memperbaikinya, tapi karena Zea sendiri yang memilih membersihkan.
Ia kembali menulis.
Tapi kali ini, bukan tentang perpisahan. Ia menulis tentang ketenangan.
Ia tidak lagi mengejar siapa yang harus tinggal. Ia hanya menjaga siapa yang tidak pergi: dirinya sendiri.
Tumbuh Diam-Diam
Beberapa bulan kemudian, buku kedua Zea rilis: “Surat-Surat yang Tidak Dikirim.” Isinya bukan lagi curahan hati, tapi pemikiran matang dari seseorang yang telah melampaui kecewa.
Dalam wawancara media, seorang jurnalis bertanya:
“Apakah semua tulisan Anda berdasarkan kisah nyata?”
Zea tersenyum, lalu menjawab:
“Beberapa memang nyata. Tapi semuanya ditulis dengan tenang. Karena saya percaya, tulisan terbaik lahir bukan saat kita sedang marah, tapi saat kita sudah berdamai.”
Kita Pernah, dan Itu Cukup
Zea kini tinggal di kota lain. Membuka kelas menulis kecil untuk remaja perempuan yang ingin bercerita tanpa takut dinilai.
Di dinding ruang kelasnya, ia tempelkan kutipan favoritnya:
“Yang tidak selesai tidak selalu menyakitkan. Karena jika kita bisa memaknainya dengan benar, ia akan tetap menjadi bagian yang indah dari perjalanan.”
Ia tidak menyesal pernah mencintai Arka. Ia hanya tidak ingin mengulang cerita yang sama, dengan luka yang sama.
Dan mungkin, Arka juga begitu.
Mereka tidak bersama.
Tapi mereka sama-sama tahu:
Saat kita tak lagi bicara tapi mengerti, itulah tanda bahwa cinta pernah ada—dan telah selesai dengan baik.
.
.
.
Penutup Reflektif
Kadang kita terlalu sibuk menuntut akhir yang indah, sampai lupa bahwa tidak semua yang indah harus berakhir bersama.
Ada cinta yang tujuannya bukan untuk dimiliki, tapi untuk menjadikan kita lebih dewasa. Ada perpisahan yang bukan karena benci, tapi karena sama-sama ingin pulih.
Dan saat dua hati bertumbuh tanpa saling menyakiti lagi, bahkan dalam diam pun… keduanya bisa saling menghormati.
.
.
.
Jember, 4 Juni 2025
#CerpenSepotongLangit #SaatTakLagiBicara #CerpenReflektif #HealingStory #KisahKedewasaan #BlogCintaRealistis