Sepotong Langit di Meja Kopi
“Ada pertemuan yang tidak ditakdirkan untuk menjadi perjalanan. Tapi cukup untuk menjadi alasan kita bertumbuh.” — Catatan Hati yang Tidak Lagi Sama
Meja Nomor Tujuh
Zea menghela napas panjang. Hujan baru saja berhenti ketika ia masuk ke kedai kopi kecil di bilangan Blok M. Sebuah tempat yang sejak lama menjadi pelariannya setiap kali hidup terasa terlalu berisik.
Dia memilih duduk di meja nomor tujuh—meja yang sama saat ia pertama kali bertemu Arka, dua tahun lalu. Barista yang menyambutnya masih mengenalinya, bahkan tanpa bertanya ia sudah membuatkan pesanan khasnya: hot latte tanpa gula.
Zea membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Di dalamnya, selembar polaroid terlipat rapi. Ia menatap foto itu lama. Potret dirinya dan Arka, sedang tertawa dengan latar belakang mural tua di Kemang.
Bukan karena ingin mengenang. Tapi karena hari ini… ia butuh keberanian untuk mengingat, agar bisa benar-benar melupakan.
Dua Tahun Lalu
Mereka bertemu di pameran seni jalanan. Arka saat itu sedang memotret keramaian. Zea lewat begitu saja, sampai terdengar bunyi kamera memotret dirinya tanpa izin.
Zea mendekat. “Mas motret saya, ya?” tanyanya santai.
Arka agak kikuk. “Iya, maaf. Tadi ekspresinya bagus banget.”
Mereka tertawa.
Satu hal membawa ke hal lain. Mereka ngobrol, lalu bertukar akun Instagram. Dua minggu kemudian, Arka mengajak Zea ngopi. Tiga bulan kemudian, mereka sudah seperti pasangan yang tak terpisahkan.
Tidak pernah ada pernyataan jadian. Tidak ada panggilan sayang. Tapi semua orang tahu, mereka punya sesuatu.
Zea selalu bilang, “Aku nggak butuh status, aku cuma butuh kita konsisten.”
Dan Arka, dengan gayanya yang tenang, mengiyakan semuanya.
Tanda-Tanda yang Tak Terbaca
Semuanya berubah perlahan. Bukan dengan pertengkaran. Bukan dengan drama. Tapi dengan diam.
Arka mulai sulit dihubungi. Ia sering pergi untuk proyek fotografi, katanya. Kadang ke luar kota. Kadang ke luar negeri. Zea selalu mencoba percaya, sampai akhirnya ia sendiri lelah menebak.
Suatu malam, Arka menghilang dari semua percakapan. Tidak membaca pesan. Tidak mengangkat telepon. Seminggu kemudian, hanya ada satu pesan WhatsApp:
“Jangan tunggu aku, Zea. Aku nggak tahu aku ini siapa sekarang.”
Dan sejak saat itu, Arka tidak pernah kembali.
Mengendapkan Luka
Zea tidak menangis saat itu. Ia hanya diam. Menatap langit malam dari jendela kamarnya yang terbuka.
Lalu hidup berjalan. Hari berganti minggu. Minggu menjadi bulan. Zea mulai menulis lagi, tapi tidak lagi menulis puisi untuk Arka. Ia menulis tentang dirinya sendiri. Tentang apa rasanya ditinggalkan tanpa kejelasan. Tentang luka yang tidak menganga, tapi menyelinap diam-diam ke sela-sela hati.
Zea belajar mencintai rutinitas kecil: menyeduh kopi sendiri, menyiram tanaman, menonton film dokumenter, dan berjalan kaki saat hujan rintik-rintik turun. Semua hal sederhana yang membuatnya tetap utuh.
Dan tanpa sadar, ia mulai sembuh.
Pertemuan Ulang
Hari itu, Zea tidak berencana bertemu siapa-siapa. Ia hanya ingin menulis di kedai favoritnya, melewati sore seperti biasanya.
Tapi semesta punya rencana lain.
Pintu kedai terbuka. Seseorang masuk. Rambutnya kini lebih pendek. Jaket kulitnya masih sama. Dan langkahnya… masih tenang, seperti dulu.
Itu Arka.
Zea terdiam. Tidak gugup. Tidak panik. Hanya terdiam.
Arka melihatnya. Lalu menghampiri dengan ragu. “Boleh duduk?”
Zea mengangguk pelan.
Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata. Hanya diam yang menjelaskan lebih banyak dari kata-kata.
Setelah menyeruput kopinya, Arka akhirnya berbicara. “Aku minta maaf.”
Zea tidak menjawab.
Arka melanjutkan, “Waktu itu, aku lagi jatuh. Semuanya terasa kosong. Aku bahkan nggak tahu siapa diriku, dan aku takut kamu ikut rusak kalau terus di dekatku.”
Zea menatap matanya. Lama. Tapi bukan dengan amarah, melainkan kelelahan yang sudah disimpan terlalu lama.
“Aku nggak butuh penjelasan, Ka. Waktu sudah menjelaskannya cukup baik.”
Tidak Semua yang Datang, Harus Dimiliki Lagi
Mereka ngobrol. Bukan untuk kembali, tapi untuk memahami.
Zea bercerita tentang tulisan-tulisannya. Tentang perjalanannya ke Ubud, sendiri. Tentang betapa akhirnya ia belajar bahwa melepaskan bukan berarti kalah.
Arka bercerita tentang proyek yang ia jalani, terapi yang ia ikuti, dan momen ketika ia sadar—bahwa kehilangan Zea adalah salah satu pukulan paling telak dalam hidupnya.
Tapi keduanya tahu, mereka sudah bukan orang yang sama.
Dan pertemuan ini, bukanlah awal dari kisah baru.
Hanya penutup yang tertunda.
Sebelum pergi, Arka berkata, “Terima kasih sudah pernah jadi rumah. Meski sekarang aku harus tinggal di tempat lain.”
Zea tersenyum tipis. “Dan terima kasih karena pernah memberi langit paling biru dalam hidupku. Meski sekarang aku harus melihatnya sendirian.”
Sepotong Langit di Meja Kopi
Zea pulang sore itu tanpa beban. Ia menulis di blog-nya:
“Ada pertemuan yang tidak harus dimiliki, cukup dikenang. Ada luka yang tidak harus dibalas, cukup dimengerti. Dan ada cinta yang tidak harus selesai bahagia, cukup untuk menjadikan kita manusia yang lebih bijak.”
Meja nomor tujuh kini jadi tempat favorit untuk menulis. Bukan karena kenangan, tapi karena dari sanalah Zea belajar: bahwa kita tidak selalu bisa mengendalikan siapa yang datang dan pergi.
Tapi kita selalu punya kuasa untuk tetap menjadi baik, meski pernah ditinggalkan
Tidak semua kisah cinta butuh akhir yang jelas. Kadang, yang kita butuhkan hanyalah satu sore yang diam—untuk menyadari bahwa tidak semua yang kita tunggu… harus datang kembali.
.
.
.
Lanjut Part 2: Surat yang Tidak Pernah Sampai
.
.
.
Jember, 4 Juni 2025
#CerpenZea #CerpenTereLiyeStyle #CeritaPerpisahan #CintaTakSelesai #BlogEmosi #JakartaDalamCerita