Sepatu yang Menyakitimu, Mungkin Bukan Ukuranmu
Membaca Ulang Jalan Karier, Jabatan, dan Pilihan Hidup Lewat Falsafah yang Sederhana Namun Mencerahkan
Ketika banyak orang berlomba terlihat pas di mata dunia, hanya sedikit yang jujur pada ukuran diri. Artikel ini mengajak pembaca menemukan kembali kenyamanan dalam karier, peran hidup, dan mimpi—dengan bahasa reflektif, praktis, dan penuh solusi.
Tak Semua Sepatu Harus Dipakai, Meski Terlihat Menawan
Di tengah hingar-bingar dunia kerja dan pencitraan sosial, ada satu kebenaran yang tak banyak dibicarakan: tidak semua hal yang terlihat baik di luar, akan terasa nyaman di dalam. Dalam karier, jabatan, relasi kerja, bahkan dalam impian yang kita kejar, seringkali kita memaksakan diri untuk ‘muat’ dalam sesuatu yang sejatinya menyakiti.
Filosofi sederhana ini menyapa kita:
“Kalau itu menyakitimu, mungkin bukan ukurannya.”
Analogi sepatu membawa pesan mendalam—bahwa dalam hidup, kita seharusnya tidak memaksakan sesuatu hanya karena ingin terlihat cocok di mata orang lain. Karena kenyamanan yang dipaksakan lambat laun berubah jadi luka yang tak kasatmata.
Ketika Sepatu Menjadi Simbol Peran Hidup
Dalam industri pariwisata dan perhotelan—yang lekat dengan kesan visual dan tuntutan pelayanan prima—banyak pelaku profesi secara tidak sadar memakai “sepatu” yang bukan miliknya: jabatan yang terlalu besar, mimpi yang disalin dari orang lain, atau gaya hidup yang memaksa.
Pitutur Jawa memberi kita arahan:
“Urip iku kudu ngerti papan, ngerti sapa, lan ngerti ngelmu.”
(Hidup itu harus tahu tempat, tahu siapa diri kita, dan tahu ilmunya.)
Sayangnya, banyak yang terjebak dalam peran yang tak sesuai kapasitas. Akibatnya? Burnout, kehilangan arah, bahkan krisis identitas profesional.
Menakar Kaki Sebelum Mengenakan Sepatu
Sama seperti sepatu, setiap jalan hidup memiliki ukuran. Kita tak bisa memakai ukuran orang lain dan berharap bisa berjalan dengan percaya diri.
Tiga refleksi sederhana sebelum memilih ‘sepatu hidup’:
-
Apakah jalan ini membuatku lebih baik, atau lebih lelah setiap hari?
-
Apakah aku mengenali diri sendiri, atau hanya meniru rute orang lain?
-
Apakah aku berani mengubah arah saat tahu ini menyakitiku?
Jawaban dari ketiganya akan menuntun kita menuju langkah yang lebih ringan.
Kenyamanan Adalah Strategi Jangka Panjang
Dalam dunia kerja, terutama yang penuh persaingan, banyak orang diajarkan untuk bertahan walau sakit. Padahal, sepatu yang menyakitimu bukan tanda kamu lemah—itu tanda kamu sedang tumbuh. Dan dalam pertumbuhan, melepaskan sesuatu yang tidak lagi cocok adalah bagian dari kecerdasan emosional.
Falsafah kerja modern tidak lagi menuntut kita untuk selalu ‘tough’.
Kini, yang dibutuhkan adalah alignment: antara potensi, peran, dan kenyamanan.
Ketika Karier Menjadi Panggung Pencitraan
Kita hidup di zaman di mana keberhasilan dilihat dari angka—jumlah followers, gelar, title pekerjaan. Tapi kita lupa, bahwa nilai sejati seseorang bukan pada sepatu apa yang ia pakai, tapi bagaimana ia berjalan.
Hospitality teaches us:
“It’s not about the suit you wear, it’s about the soul you serve.”
Bukan tentang seragam kerja, tapi seberapa tulus niat pelayananmu.
Solusi Praktis: Melangkah dengan Sepatu yang Tepat
-
Lakukan audit diri minimal dua kali setahun.
Tanyakan: “Apakah aku masih bahagia dalam pekerjaanku?” -
Jangan ragu berhenti sejenak.
Rehat bukan berarti menyerah. Tapi memberi kesempatan bagi diri untuk memilih ulang. -
Minta pandangan dari mentor terpercaya.
Orang yang lebih dahulu berjalan sering bisa melihat luka yang belum kita sadari. -
Ganti arah bila perlu.
Kita tidak perlu menunggu terluka parah untuk sadar sepatu kita salah ukuran.
Bukan Tentang Kecepatan, Tapi Ketahanan
Banyak yang mengira mereka sedang berlomba dalam hidup. Padahal sejatinya, kita semua sedang mencari ritme terbaik untuk berjalan jauh—bukan untuk terlihat cepat, tapi untuk tetap utuh.
Karier bukan sprint, melainkan marathon.
Dan tidak ada pelari yang bisa bertahan lama dalam sepatu yang melukai.
Sepatu yang Pas Membawamu Lebih Jauh
Dalam kehidupan, bukan yang paling hebat yang menang. Tapi yang paling nyaman saat melangkah, paling tulus dalam menjalaninya, dan paling sadar saat harus berhenti untuk memilih ulang jalan.
Karena hidup ini bukan soal jadi yang pertama. Tapi soal jadi yang tetap waras dan bahagia saat mencapai garis akhir.
Dan itulah kemenangan sejati.
Jember, 18 Mei 2025