Melayani Dunia, Menyelamatkan Diri: Belajar dari Thomas Bernhard dan Pitutur Jawa

Di balik senyum profesional industri pariwisata, banyak hati lelah yang tak terlihat. Filsafat Thomas Bernhard dan kebijaksanaan Jawa menawarkan panduan mental untuk tetap utuh dalam dunia kerja yang penuh paradoks.

Dalam industri yang menjual keramahan, justru banyak pekerja kehilangan dirinya. Dunia perhotelan dan pariwisata menuntut senyum tanpa cela, padahal seringkali hati sedang perih, pikiran lelah, dan jiwa letih menahan beban yang tak sempat diproses. Di ruang inilah, filosofi kelam Thomas Bernhard menemukan relevansi: ia bicara tentang absurditas sosial, kemunafikan sistemik, dan getirnya eksistensi manusia modern—tanpa basa-basi.

Bernhard, sastrawan Austria yang dikenal dengan gaya repetitif dan hipnotik, menyuguhkan kritik sosial dengan nyali. “Kita hidup dalam sistem yang pura-pura,” tulisnya dalam berbagai karya. Paradoks inilah yang—secara mengejutkan—mirip dengan realitas keseharian staf frontliners hotel, pemandu wisata, hingga GM profesional.

Namun, jika Bernhard menawarkan cermin yang menyakitkan, pitutur luhur Jawa datang sebagai penawar. “Rame ing gawe, sepi ing pamrih” bukanlah sekadar nasihat moral, tapi resep mental untuk tetap berjalan tanpa menjadi beban bagi dunia maupun diri sendiri. Di saat Bernhard mengajak kita jujur dalam luka, filsafat Jawa menawarkan cara elegan untuk menyembuhkannya.

 

Pelayanan dan Kepalsuan yang Tak Terelakkan

Dalam wawancara dengan karyawan perhotelan di beberapa kota besar Indonesia, ditemukan pola serupa: tekanan untuk tetap tampil baik, meskipun secara emosional hancur. “Tamu marah, saya tetap harus senyum. Padahal habis dimarahi atasan juga,” ujar R, seorang front office di hotel bintang lima.

Thomas Bernhard akan menyebut ini sebagai ‘sistem busuk yang dilanggengkan atas nama profesionalisme’. Tapi filsafat Jawa justru mengajarkan ngeli nanging ora keli—ikut arus, tanpa hanyut kehilangan jati diri.

“Justru di situlah letak keutamaan,” ujar Jeffrey Wibisono V., praktisi industri hospitality dan konsultan branding. “Kita bukan menyembunyikan luka, tapi menata hati agar tak jadi sumber luka baru.”

Meramu Filosofi Bernhard ke Dalam Kehidupan Kerja

Alih-alih menjadikan filsafat Bernhard sebagai dalih untuk pesimisme, Jeffrey menawarkan pendekatan yang menyembuhkan. “Bernhard itu bukan nihil. Ia justru mengajarkan: berhentilah berpura-pura agar bisa mulai menyusun ulang makna.”

Dari sudut pandang profesional hospitality, berikut tiga penerapan filosofis Bernhard dan pitutur Jawa secara praktis:

  1. Sadar Akan Peran, Tapi Jangan Hilang Dalam Peran
    “Jangan menjadikan senyum sebagai topeng, tapi sebagai pilihan sadar untuk memberi harapan.”

  2. Pelayanan Tanpa Pamrih Adalah Spiritualitas Tertinggi
    Saat Bernhard menyindir kemunafikan, pitutur Jawa menawarkan jalan: layani bukan untuk dipuji, tapi sebagai laku spiritual.

  3. Kritik Sebagai Cermin, Bukan Senjata
    Dunia kerja penuh tekanan. Alih-alih membenci sistem, jadikan kritik sebagai cara memperbaiki diri dan lingkungan kerja.

Tips Menyelamatkan Diri dalam Dunia yang Tidak Mau Diselamatkan

Dunia perhotelan bukan tempat yang sunyi. Ia ramai oleh ekspektasi, target, dan tekanan. Namun para profesional bisa membangun ruang damai batin dengan beberapa trik sederhana:

  • Ritual Sepi: Luangkan 10 menit tiap hari dalam keheningan. Tak ada ponsel, tak ada suara. Cukup sunyi untuk mendengar suara hati sendiri.

  • Affirmasi Reguler: Latih otak untuk membangun kekuatan batin. Kalimat seperti, “Hari ini saya memberi, bukan mengemis validasi,” bisa mengubah energi kerja secara signifikan.

  • Berjejaring secara spiritual: Bangun komunitas kecil dalam tim yang saling mendengarkan tanpa menghakimi.

  • Refleksi Harian Bernuansa Jawa: Gunakan prinsip nglakoni urip kanthi legawa—menjalani hidup dengan keikhlasan tanpa menyerah.

Mengapa Penting Dibahas Sekarang?

Di era pascapandemi, saat industri pariwisata mulai bangkit, terjadi tekanan masif terhadap SDM untuk mengejar kembali kejayaan masa lalu. Sayangnya, hal ini justru menciptakan burnout massal. Banyak yang bertahan hanya demi gaji. Namun jika kondisi batin tidak dibenahi, hospitality bisa berubah menjadi industri yang merusak manusia di dalamnya.

Artikel ini adalah ajakan, bukan rengekan. Sebuah upaya untuk menyeimbangkan kembali tubuh, jiwa, dan profesi. Seperti kata Bernhard: “The best thing is not to be born. But if you are born, act as if you were not.” Sebuah ironi yang menggelitik, tapi justru membangkitkan kesadaran untuk menjalaninya dengan penuh makna.

Hospitality adalah Laku Jiwa, Bukan Sekadar Kerja

Hospitality sejati bukan sekadar menjamu tamu. Tapi tentang menjamu makna, memberi ruang untuk hidup yang lebih bernilai. Thomas Bernhard mengajari kita keberanian untuk berhenti pura-pura. Pitutur Jawa mengajarkan cara bertahan dengan anggun. Keduanya tidak bertentangan, justru saling melengkapi.

Jika Bernhard adalah tamu yang selalu mengeluh tentang dunia, maka pitutur Jawa adalah pelayan yang tetap menyajikan teh hangat—tanpa banyak kata, tapi penuh cinta.

“Pelayanan yang tulus bukan berasal dari SOP, tapi dari jiwa yang utuh.”
– Jeffrey Wibisono V.

Jember, 18 May 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Leave a Reply