Seorang Diri di Balik Sorak Sorai

“Terlalu ikhlas memberi, kadang membuat kita lupa… bahwa tak semua tangan yang menerima tahu cara menjaga apa yang diberi.”

Seorang Diri di Balik Sorak Sorai

Langit malam Jakarta menyisakan gerimis yang merintik pelan di kaca ballroom sebuah hotel bintang lima. Di dalam ruangan yang megah dan terang, suasana penuh semangat mengiringi malam apresiasi organisasi relawan paling bergengsi di kota itu. Ada gelak tawa, tepuk tangan, dan kilatan kamera. Namun, di pojok ruangan, berdiri satu sosok yang tidak ikut larut dalam kegembiraan: Roger.

Lelaki itu mengenakan jas hitam yang pas di tubuhnya, dasi gelap, dan sepatu mengilap. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya kosong. Tidak ada rasa bangga. Tidak ada rasa terharu. Yang ada hanya satu keputusan bulat yang telah ia genggam selama beberapa minggu terakhir: malam ini, ia akan pamit.

Roger dan Perjalanan Naiknya

Roger bukan tipikal orang yang mencari sorotan. Sebagai profesional sukses di bidang properti, ia telah mencapai stabilitas finansial di usia 40 tahun. Tapi jiwanya haus akan kontribusi sosial. Maka ketika seorang kolega mengajaknya bergabung dalam klub relawan eksklusif yang diisi para pebisnis dan sosialita, Roger menerima.

Mulanya ia hanya anggota biasa. Membantu mengatur acara, ikut bakti sosial, berdonasi sewajarnya. Tapi kehadirannya yang konsisten, sikap rendah hatinya, dan kesiapan membantu secara finansial saat kas menipis membuatnya cepat dikenali. Dalam waktu dua tahun, Roger didapuk menjadi pengurus, dan mulai sering menjadi donatur tunggal di balik acara besar klub.

Ia dianugerahi penghargaan “Leader of the Year”, serta menjadi wajah organisasi dalam laporan tahunan yang dikirim ke pusat. Namun, ia tidak pernah merasa besar kepala. Ia percaya, jika kita memberi, maka biarkan Tuhan yang mencatat, bukan manusia.

Ketulusan yang Dimanfaatkan

Namun kebaikan itu rupanya menjadi mata air yang terus digali tanpa henti.

Roger mulai menyadari, banyak anggota yang tidak hadir secara fisik, waktu juga donasi. Beberapa kegiatan bakti sosial Roger hadir sebagai donatur tunggal. Kegiatan dimulai dari perencanaan hingga eksekusi lapangan dengan melibatkan non-members demi suksesnya acara, pencitraan yang penting untuk organisasi dan penerima manfaat.

Tapi yang paling membagongkan bukan itu. Melainkan saat ia mulai menjaga jarak, ia dicap berubah.

“Roger sekarang beda. Dulu selalu ada, sekarang kayak asing.”

“Jangan-jangan dia punya agenda pribadi ya.”

Komentar seperti itu menghujani Roger. Awalnya ia merasa bersalah. Tapi seiring waktu, ia mulai memahami sesuatu: self-love bukan egoisme, melainkan kebutuhan.

Ia mulai berpikir, “Apakah saya ada di sini untuk dinilai terus-menerus, atau untuk memberi dengan tulus?” Dan pada akhirnya, pertanyaan itu membawa jawaban: memberi pun perlu batas. Bahkan mata air pun bisa kering jika terus disedot.

Pidato Pengunduran Diri dan Efek Domino

Rapat evaluasi tengah tahun menjadi panggung tanpa naskah bagi Roger. Ia berdiri perlahan, dengan wajah tenang namun sorot mata tajam.

“Rekan-rekan, malam ini saya menyampaikan keputusan pribadi. Pada akhir masa jabatan saya yang tinggal beberapa hari ini, saya mengundurkan diri dari keanggotaan aktif.”

Beberapa orang terdiam. Beberapa mulai saling tatap. Seolah tak percaya.

Andra, sekretaris klub sebagai salah satu pengurus muda yang paling sering ‘memanfaatkan’ Roger, langsung berkata sinis, “Serius, Rog?”

Roger menatapnya dalam.

“Bukan tentang dana. Tapi tentang nilai. Saya tak lagi menemukan niat mulia yang dulu membuat saya jatuh cinta pada klub ini. Saya hendak menyerahkan kembali susunan pengurus untuk periode selanjutnya kepada founder klub ini.”

Andra bereaksi—”Saat ini saya belum bisa aktif di klub sebab dapat mandat tugas lain di pekerjaan. Waktu saya menjadi sangat terbatas untuk bisa menjadi ketua klub, saya belum bisa fokus.” Ia menambahkan, tanpa memperhatikan apa yang baru saja dikatakan Roger, “Menurut saya untuk satu tahun ke depan ketuanya tetap Roger saja.”

Pak Erwan—senior sekaligus salah satu pendiri klub—hanya terdiam. Tak membela. Tak menyanggah. Hanya membisu dalam kebekuan yang menyesakkan.

Malam itu rapat evaluasi tengah tahun ditutup tanpa keputusan. Ambigu. Gantung.

Gemuruh Sunyi di Balik Layar WA

Beberapa hari kemudian, grup WhatsApp klub menjadi medan sunyi yang bergemuruh. Andra mengirim pesan singkat:

“Saya izin undur diri dari klub untuk hal yang tidak bisa saya sebut alasannya.”

Tak sampai sepuluh menit, muncul pesan dari Pak Erwan:

“Idem.”

Namun yang membuat dada Roger tercekat adalah pesan japri dari salah satu anggota senior:

“Klub dibubarkan juga gpp.”

Darah Roger terasa dingin. Bukan karena klub bubar. Tapi karena betapa rapuhnya pondasi yang selama ini ia bantu bangun. Ia menyadari, pondasi itu berdiri di atas ekspektasi satu orang: dirinya.

Lahirnya Klub Baru, Jiwa Baru

Roger pergi tanpa amarah. Ia meninggalkan klub itu dengan damai. Dalam waktu dua bulan, ia membentuk komunitas baru bernama Satu Persen—filosofi bahwa setiap orang hanya perlu memberi 1% dari waktu, tenaga, atau hartanya secara konsisten.

Klub kecil itu perlahan tumbuh. Tak megah, tapi sehat. Tak mewah, tapi tulus. Dan yang paling penting: semua kontribusi dicatat transparan, tanpa glorifikasi.

Roger tidak lagi jadi donatur tunggal. Setiap orang diberdayakan. Setiap kegiatan disiapkan bersama, dijalankan bersama, dan dirayakan bersama.

Satu Surat yang Menguatkan

Pada ulang tahunnya yang ke-41, Roger tidak mendapat standing ovation. Tapi ia menerima satu surat dari anak panti asuhan yang mereka bantu.

“Om Roger, terima kasih sudah bantu renovasi atap kamar kami. Sekarang malam-malam tidak bocor lagi pada saat hujan. Semoga Om selalu sehat.”

Surat itu, jauh lebih berarti dibandingkan dari penghargaan klub yang kini tinggal kenangan.

Roger tersenyum. Ia tahu, kali ini, ia memberi bukan hanya uang—tapi hidup yang lebih berarti.

Ia belajar bahwa tidak semua kebaikan perlu diumumkan. Tidak semua bantuan perlu nama besar. Kadang, kebaikan paling murni adalah yang lahir tanpa tanda tangan.

Mereka yang Ikhlas Bukan Untuk Dipecundangi

“Orang baik bukan untuk dimanfaatkan. Ia hadir untuk memberi arti, bukan untuk diminta tanpa batas sampai hancur diri.”

Roger tidak menyesali apa yang ia beri. Tapi ia juga belajar untuk menyayangi dirinya. Karena pada akhirnya, memberi tak harus selalu menunggu sampai diri sendiri terluka.

Kini, setiap senyum dari mereka yang terbantu, menjadi bagian dari syukur hidupnya.

Dan malam itu, saat ia menatap langit Jakarta yang masih menyisakan gerimis, Roger tahu satu hal: ia telah menaruh jiwanya di tempat yang tepat.

.

.

.

Jember, 15 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

#CerpenDewasa #Leadership #ManipulasiOrganisasi #CerpenInspirasi #KepemimpinanRelawan #RelawanMapan #CeritaRoger #PerjuanganIntegritas

Leave a Reply