Sepotong Waktu yang Tak Perlu Terbakar Amarah

“Setiap kali kau marah pada sesuatu, tanyakan pada dirimu: jika besok aku tiada, apakah marah ini pantas menghabiskan waktuku yang tersisa?”

“Setelah semua yang kulalui, aku belajar: hidup bukan tentang siapa yang benar atau salah, melainkan tentang memahami… dan menerima.”

Prolog

Setelah apa yang terjadi dalam hidupku, aku memandang dunia dengan mata yang berbeda.

Bukan lagi tentang benar atau salah.
Bukan lagi tentang siapa yang menang dalam perdebatan.
Bukan lagi tentang membuktikan bahwa aku lebih pintar, lebih benar, lebih unggul.

Hidup adalah perjalanan sunyi.
Di dalam sunyi itulah aku belajar: memahami, menerima, melepaskan.

Dan satu pelajaran paling berharga yang kupeluk erat sejak itu:

“Setiap kali kau marah, tanyakan dirimu: jika esok tiada, apakah marah ini pantas?”

Sebuah Kota, Seorang Pria

Namaku Dewangga.
36 tahun. Seorang bujangan yang tinggal di apartemen studio di Jakarta.

Pekerjaanku?
Copywriter freelance. Aku menulis untuk banyak brand, dari kosmetik sampai otomotif.
Gaya hidup?
Minimalis. Aku suka kopi hitam, buku bagus, dan berjalan kaki sendirian di tengah kota.

Aku bukan anti-sosial. Aku punya teman, kadang nongkrong, kadang nonton konser.
Tapi, ada satu kelemahan yang menempel erat di dalam diriku: mudah marah.

Bukan marah meledak-ledak.
Tapi marah yang halus, yang terpatri dalam pikiran. Yang diam-diam menggerogoti hati.

Saat pesanan ojek online datang terlambat.
Saat teman lupa membalas chat.
Saat deadline molor karena revisi tak jelas.
Saat orang bicara seenaknya di media sosial.

Aku mengumpulkan semua itu dalam hati.
Aku marah. Aku kesal. Aku bawa sampai tidur.

Seolah-olah dunia harus selalu berjalan sesuai dengan keinginanku.

Ketika Hidup Memberi Pelajaran

Titik balik datang ketika aku kehilangan seseorang.

Dia bukan pasangan, bukan pacar.
Dia teman baikku sejak kuliah: Gilang.

Kami sering berbagi kopi di kedai favorit, diskusi hal-hal absurd sampai jam tutup.
Gilang adalah sosok yang santai, tenang, dan selalu melihat hidup dengan tawa.

Suatu malam, kami bertemu setelah lama tidak nongkrong.
Aku datang dengan segudang amarah: proyekku di-cancel sepihak, ada klien brengsek, aku habis bertengkar dengan admin apartemen soal parkir.

Saat aku menceritakan semua itu dengan suara tinggi, Gilang hanya tersenyum.

Kalimatnya sederhana:

“Dewa… kalau besok lu mati, marah lu hari ini worth it enggak?”

Aku tertawa sinis saat itu.
Tapi kata-katanya menempel di benakku.

Sebuah Pagi yang Sunyi

Dua minggu setelah obrolan itu, aku dapat kabar: Gilang meninggal karena serangan jantung mendadak.

Usianya baru 37.
Dia baru saja memulai bisnis baru.
Aku datang ke pemakamannya dalam keadaan kosong. Tidak ada yang bisa kukatakan.

Yang ada hanya gema pertanyaannya:

“Kalau besok aku mati, marahku hari ini… worth it enggak?”

Hari itu aku pulang ke apartemen dalam diam.
Aku duduk di sudut ruangan, memandangi laptop, menatap tembok.
Lama sekali.

Menelusuri Diri Sendiri

Sejak kepergian Gilang, aku jadi lebih sering berkontemplasi.
Tanpa sadar, aku mulai mencatat:

  • Berapa kali aku marah hari ini?

  • Apa penyebabnya?

  • Apa dampaknya?

Aku mulai sadar betapa banyak waktu terbuang hanya untuk merasa kesal.
Banyak hari yang terasa berat hanya karena aku menyimpannya sendiri.

Pelan-pelan, aku mulai belajar:

  • Menarik napas.

  • Memilah mana hal yang pantas untuk diperjuangkan.

  • Melepaskan sisanya.

Sebuah pelajaran besar muncul:
Kita bukan mesin yang harus selalu benar.
Kita manusia yang justru tumbuh ketika tahu kapan harus diam, kapan harus melepas.

Proses Panjang

Perubahan tidak terjadi dalam sehari.
Masih ada hari-hari aku terpancing emosi.
Masih ada momen marah yang muncul tanpa aba-aba.

Tapi aku belajar menyadarinya.
Aku belajar mengajukan pertanyaan itu di kepala sebelum marah meluas:

“Kalau besok aku mati… apa marah ini layak?”

Dan sembilan dari sepuluh kali… jawabannya tidak.

Pelan-pelan, hidup terasa lebih ringan.
Aku jadi lebih menghargai hal-hal kecil: aroma kopi pagi, jalan kaki di trotoar, obrolan ringan dengan teman.

Aku lebih hadir dalam hidupku.
Bukan hidup dalam kemarahan yang tak perlu.

Dunia yang Lebih Luas

Satu hal lagi yang aku sadari: dunia ini terlalu luas untuk diisi dengan amarah.

Aku mulai memperhatikan wajah-wajah di jalan:
Orang tua yang tersenyum ramah.
Anak kecil yang tertawa di pelukan ibunya.
Pasangan muda yang saling menggenggam tangan.

Mereka semua juga punya masalah.
Tapi mereka tetap berjalan. Tetap hidup. Tanpa membiarkan amarah menguasai hari-hari mereka.

Dan aku… aku ingin seperti itu.

“Pilihlah pertempuran yang penting. Jangan sia-siakan hidup untuk hal remeh. Setiap marah yang tak penting adalah waktu hidup yang terbuang percuma.”

Epilog

Kini, aku masih bujangan.
Masih menulis. Masih berjalan kaki di kota yang hiruk-pikuk.
Tapi hatiku jauh lebih tenang.

Aku tidak sempurna.
Tapi aku sudah lebih baik dari diriku yang kemarin.

Setiap pagi, sebelum membuka laptop, aku menuliskan di post-it:

“Kalau besok aku mati, marahku hari ini… worth it enggak?”

Dan kalimat itu, entah bagaimana, membuat hariku lebih damai.

.

.

.

Jember, 12 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

#ManajemenEmosi #Mindfulness #BujanganBijak #CeritaInspiratif #LifeLesson #HidupLebihBahagia #RefleksiHidup

Leave a Reply