Di Atas Meja Boardroom
Cerita Tentang Keputusan, Kepercayaan, dan Bahaya Tinggi Hati
“Keputusan yang hebat tidak lahir dari siapa yang paling keras suara dan tajam argumen, tapi dari siapa yang paling bijak menjaga rasa dan kerendahan hati.”
Pukul 07.59 Pagi — Lantai 19, Kawasan SCBD
Langit Jakarta belum sepenuhnya terang. Kabut tipis menyelimuti gedung-gedung pencakar langit, menciptakan bayangan siluet yang muram di balik jendela kaca ruang rapat paling elit di gedung itu. Di tengah ruang berdinding kayu coklat tua, sebuah meja panjang bergaya mahoni dengan finishing mengilap menjadi pusat dari segalanya. Ini bukan sekadar meja—ini altar keputusan. Tempat di mana strategi bernilai ratusan miliar diputuskan dalam hitungan jam. Tempat di mana kepercayaan dibangun dan dihancurkan hanya dengan kalimat.
Pak Samuel, Presiden Direktur PT Sinergi Karya Nusantara, duduk di ujung meja. Postur tubuhnya tegap meski usia menunjukkan kepala lima. Wajahnya tenang, seolah telah menyaksikan terlalu banyak badai untuk panik akan cuaca hari ini.
Satu per satu kursi diisi. Bu Ratna, Direktur Keuangan, datang dengan langkah anggun dan aura dingin. Wajahnya datar, khas perempuan yang terbiasa mengurus angka dan risiko. Di sebelahnya, Pak Robert, Direktur Operasional, yang aroma kopinya saja cukup menggambarkan bahwa ia telah bangun sejak subuh untuk meninjau laporan lapangan.
Dan datanglah Adrian.
Tepat waktu. Seperti biasa. Setelan jasnya paling mahal di antara yang lain. Langkahnya mantap. Ia mengangguk kepada semua, lalu duduk. Tak ada senyum basa-basi. Sorot matanya menyapu ruangan dengan percaya diri yang nyaris menyentuh batas kesombongan.
Dalam rapat hari ini, Adrian akan mempresentasikan proposal akuisisi digital platform terbesar yang pernah dijajaki perusahaan. Satu keputusan yang bisa mengangkat perusahaan ini ke level baru, atau menjatuhkannya ke jurang spekulasi.
08.05 — Presentasi Dimulai
“Selamat pagi,” buka Adrian dengan nada formal. Ia berdiri. Slide pertama muncul: logo startup e-commerce yang kini sedang dibidik untuk diakuisisi.
“Proposal ini saya susun bersama tim terbaik saya selama 6 minggu terakhir. Kami telah menganalisis tren pasar, valuasi, risiko, dan potensi sinergi. Saya percaya, jika kita ingin naik kelas secara digital, ini adalah saatnya.”
Slide demi slide mengalir. Data mengesankan. Grafik menanjak. Kata-katanya tajam, seolah tidak menyisakan ruang untuk dibantah.
Namun ketika sampai pada bagian strategi integrasi pasca-akuisisi, Pak Robert mengangkat tangan.
“Adrian, saya ingin bertanya. Apakah dalam skenario ini, kamu sudah hitung waktu onboarding untuk tim operasional dan dampaknya ke lini distribusi?”
Adrian tersenyum—senyum yang lebih mirip ejekan halus.
“Pak Robert, data ini sudah kami verifikasi. Kalau saja semua unit operasional menjalankan SOP dengan konsisten, saya rasa transisi ini tidak akan menjadi isu besar.”
Seketika udara dalam ruangan terasa padat. Pak Robert menunduk sejenak. Tak menjawab. Tapi matanya menatap dingin.
Bu Ratna menyusul angkat bicara. “Proyeksi kas yang Anda tampilkan, terlalu optimis. Saya melihat margin EBITDA startup ini masih negatif.”
Adrian menoleh, masih tenang namun tajam. “Itu biasa untuk tech startup. Kita sedang bicara masa depan, bukan masa lalu. Kalau kita terus menahan langkah karena takut, perusahaan ini akan stagnan.”
Pak Samuel belum berkata apa-apa. Namun tangannya mulai mengetuk meja perlahan, seperti metronom dari pemimpin orkestra yang menahan irama agar tak meledak lebih awal.
08.50 — Gesekan yang Mengakar
Suasana rapat tak lagi hangat. Adrian terus bicara, tapi banyak telinga sudah mulai menyaring kata-katanya. Terlalu defensif. Terlalu dominan. Bahkan Sinta, Corporate Secretary yang hanya hadir sebagai pencatat, bisa merasakan ketegangan menjalar hingga ke dinding ruangan.
Beberapa hari terakhir, bisik-bisik internal juga makin ramai. Sejumlah Vice President menyampaikan ketidaknyamanan mereka. Beberapa merasa pendapatnya tak pernah diakomodasi. Sebagian merasa dikerdilkan oleh Adrian dalam forum-forum internal.
Di dalam grup kecil para eksekutif—yang bukan grup resmi—nama Adrian sering muncul. Bukan karena prestasinya, tapi karena caranya memperlakukan orang lain.
“Orang licik akan dendam.”
“Orang kuat akan melawan.”
“Orang pintar akan melumpuhkan.”
“Orang lemah akan mengadu domba.”
Dan di ruang direksi, semua orang memiliki salah satu dari kekuatan itu.
09.20 — Panggilan Pribadi
Setelah rapat ditutup tanpa konklusi, Pak Samuel memanggil Adrian secara pribadi ke ruangannya.
Ruang direktur utama tidak mewah, tapi menenangkan. Dindingnya penuh lukisan pegunungan dan kutipan bijak dari para pemimpin besar.
Pak Samuel menyilangkan tangan, lalu memulai dengan nada rendah.
“Adrian, kau tahu aku menghargai kecerdasanmu. Tapi kecerdasan tanpa kerendahan hati adalah bencana dalam ruang kolektif.”
Adrian terdiam.
“Kau mungkin benar dalam banyak hal. Tapi setiap kalimatmu seperti tembok yang memisahkan, bukan jembatan yang menghubungkan. Di ruang BOD, kita tidak sedang lomba pintar. Kita sedang mengelola rasa percaya.”
Adrian masih diam, tapi wajahnya berubah. Pertahanan mulai retak. Untuk pertama kalinya, ia mendengarkan—bukan untuk membalas, tapi untuk memahami.
09.45 — Kesadaran yang Terlambat, Tapi Tidak Terlalu Terlambat
Di dalam mobilnya, Adrian duduk lama, bahkan setelah sopir menyalakan mesin. Tangannya menggenggam ponsel, memutar ulang catatan suara rapat tadi. Ia mendengar ulang suaranya sendiri—nada tinggi, argumentatif, seperti tak memberi ruang bernapas pada lawan bicara.
Di momen itu, Adrian mengingat mendiang ayahnya, seorang dosen hukum. “Nak, jangan hanya jadi orang yang benar. Jadilah orang yang bisa membuat kebenaran itu diterima tanpa melukai siapa pun.”
Entah mengapa, kalimat itu begitu menghantam hari ini.
Hari Berikutnya — Perubahan Sikap
Pagi hari, Adrian datang lebih awal dari biasanya. Ia meminta waktu presentasi ulang di hadapan Board.
Ruang yang sama. Meja yang sama. Tapi hari ini, Adrian berdiri tanpa layar presentasi.
“Sebelum kita bahas angka, izinkan saya bicara sebagai rekan. Saya ingin minta maaf.”
Mata-mata mengangkat. Ruangan mendadak tenang.
“Saya sadar, beberapa waktu terakhir, saya terlalu keras dalam menyampaikan ide. Saya terlalu percaya diri. Dan saya lupa, bahwa di ruangan ini, bukan hanya otak yang bekerja, tapi hati dan kepercayaan yang saling bertaut.”
Ia menarik napas.
“Proposal ini tetap saya yakini. Tapi hari ini, saya bukan minta kalian untuk percaya pada ide saya. Saya minta kita bahas ini bersama—sebagai satu tubuh.”
Pak Robert mengangguk kecil. Bu Ratna tersenyum tipis. Pak Samuel tak berkata apa-apa, tapi sorot matanya hangat.
Diskusi berikutnya terasa berbeda. Lebih sehat. Lebih dewasa. Lebih merangkul.
Meja yang Sama, Jiwa yang Baru
Sore hari, keputusan diambil. Akuisisi disetujui dengan beberapa catatan tambahan dan pengawalan ketat dari semua direktorat. Tapi lebih dari itu, budaya diskusi di ruang direksi berubah.
Adrian tetap brilian. Tapi kini ia lebih berhati.
Pak Robert tetap kritis, namun tanpa curiga.
Bu Ratna tetap kaku, tapi kini lebih terbuka.
Pak Samuel? Ia tetap seperti gunung—diam, tapi kokoh.
Sinta, dalam catatan risalah rapatnya, menulis satu kalimat terakhir:
“Ruang Board bukan tentang siapa paling tinggi, tapi siapa yang paling sanggup merendah tanpa kehilangan harga diri.”
Epilog
Dalam dunia profesional, kesombongan bisa muncul dari posisi, dari prestasi, bahkan dari niat baik yang tidak dikomunikasikan dengan bijak.
Di atas meja Boardroom, semua adalah pengambil keputusan. Tapi tidak semua adalah pembangun kepercayaan.
Maka hati-hatilah.
Karena orang licik akan dendam.
Orang kuat akan melawan.
Orang pintar akan melumpuhkan.
Orang lemah akan mengadu domba.
Dan jika engkau tetap tinggi hati, tak ada strategi yang akan menyelamatkanmu dari kehancuran perlahan-lahan.
“Makin tinggi pohon tumbuh, makin lembut angin harus dipahami. Karena bukan badai yang merobohkan, tapi kesombongan yang membusukkan dari dalam.”
.
.
.
Jember, 15 Juni 2025
#CerpenKorporat #BoardroomDrama #Leadership #CorporateTrust #RapatDireksi #CeritaInspiratif #MindfulLeadership