Hotelier Stories Party is Over?

Malam itu, saya baru saja meninggalkan kondangan cocktail party di beach club baru di tepi Pantai Legian. Pengundangnya adalah kelompok perusahaan media cetak dari Singapore. Yang hadir adalah para pejabat tinggi sejumlah hotel. Mereka terdiri dari para General Manager, Director of Sales & Marketing, dan pastinya juga Marketing Communications.

Setelah sekian lama saya absen dari dunia kehidupan bar dan beach club dengan DJ-nya, ternyata saya merasa nyaman berada di tengah situasi acara gathering semacam ini. Hmm… bisa bahaya nih.

Di acara kondangan tadi, banyak yang masih mengenal dan menyambut kedatangan saya. Tidak bisa pula saya menampik ajakan berfoto bersama. Heboh! Mereka ingin masuk di postingan sosial media saya #bersamaitucolourfull.

Bagaimana pula saya bisa eksis di industri pariwisata Bali ini?

Di awal karir, di awal tahun 90-an, di luar jam kerja, rupanya saya dinilai supel dan mudah berteman.

Dari hanya bergaul di lingkungan kerja, kemudian mulai berkenalan dengan makhluk-makhluk hotel lain. Lintas batas! Saya berteman dengan pekerja hotel lainnya dari area Nusa Dua sampai Seminyak. Berkembang menjadi pertemanan dengan hubungan erat dari kesamaan minat. Saya saat itu tidak memiliki kendaraan. Berteman dengan mereka-mereka yang mau mengantar dan menjemput saya di dalam jam gaul menggunakan mobil pribadi mereka. Jam gaul adalah petang hari setelah pulang kerja dan setelah makan malam. Saya ini notabene tidak bisa mengendarai sepeda gayung juga sepeda motor.

Barangkali saya orang yang memang nyaman untuk diajak berteman. Jadi pergaulan saya semakin meluas. Kumpul-kumpul setiap malam, kecuali hari Senin karena destinasi untuk berkumpul yang disebut “meeting point” tutup semua. Pekerja tempat-tempat hiburan itu pun perlu libur dan istirahat juga rupanya, ya…

Bertahun-tahun saya menjalani kegiatan seperti itu. Seolah tidak pernah tidur. Eksistensi meningkat. Popularitas di dunia malam sudah sampai kelas “dugemer” internasional.

Di pekerjaan pun saya adalah salah satu salesman hotel yang cukup diperhitungkan. Seolah-olah orang seluruh Bali mengenal saya. Hahahaha… apa iya begitu? Yang benar dan pasti tentu saja lebih banyak penduduk pulau ini yang tidak mengenal saya. Hanya terbatas pada pekerja pariwisata dan praktisi penikmat dunia malam saja yang mengenal saya.

Saya teringat, suatu pagi begitu masuk lobby saya dicegat oleh pemilik hotel di mana saya bekerja dengan jabatan Operations Manager, yang juga bertanggung jawab terhadap penjualan.

“Jeffrey, saya tunggu di kantor sekarang. Bawa saja tasnya sekalian,” begitu tegur bapak owner.

Saya pun menguntit di belakang tanpa syak wasangka.

Tiba di ruang kantor, bapak owner memulai pertanyaannya, “Kamu semalam tidur di mana?”

“Di kost, Pak,” jawab saya.

“Tidak!” sela bapak owner, “kamu pasti semalam menginap di tempat yang jauh, karena pagi ini datang dengan mengendarai mobil.”

Belum lagi saya menjawab, bapak owner melanjutkan dengan nasihat, “Kamu kan punya tempat tidur sendiri, jangan dibiasakan tidur di tempat orang lain. Hati-hati dengan akibatnya.”

Waks…, saya spontan menimpali, “Waduh… bapak saya saja tidak pernah menasihati begini, Pak.”

Dengan ketus bapak owner menjawab, “Maka dari itu, karena orangtuamu jauh, saya yang di depan mata ini merasa bertanggung jawab terhadap karyawan saya sendiri.” Kemudian beliau melanjutkan dengan pertanyaan, “Jeffrey, kamu keluar malam hari apa?”

“Rabu, Pak.”

“Terus…”

“Kamis, Jumat…”

“Terus…,” kejar beliau dengan nada tanya yang mulai meninggi.

“Ya…, Sabtu dan Minggu, Pak,” jawab saya pelan.

Bapak owner melongo. “Loh…, berarti tiap hari, dong?!”

Masih dengan polosnya saya menjawab, “Senin, kan tidak, Pak…”

Sambil geleng-geleng kepala, sesi penasihatan pun kembali dilanjutkan bapak owner. “Jeffrey…, kamu harus mengurangi hura-hura party-mu setiap malam itu. Mulai dari cukup seminggu sekali, kemudian dua minggu sekali, kemudian satu bulan sekali. Dan kalau perlu, tidak usah sama sekali.”

Dasar mbandel, saya langsung menjawab, “Pak…, ini kan bagian dari profesi saya. Saya keluar malam bawa kartu nama, juga menggunakan uang gaji saya sendiri. Kalau tidak, kan hotel tempat kerja saya ini tidak terkenal…”

“Pintar menjawab kamu!” sembur bapak owner. “Maksud saya itu…, kamu harus mulai menabung. Tidak bisa uang harus habis setiap bulan hanya untuk yang kamu bilang bergaul itu…”

Demikianlah akhir pembicaran kami pagi itu. Lantas, apakah saya berhenti bergaul dan tidak ada di dunia malam, setelah acara tukar pikiran dan teguran pagi itu? Tentu saja tidak. Saya tetap ajojing dan mandi keringat sampai pagi.

Kehidupan malam di Bali di tempat yang disebut diskotek, baru buka pukul 2 pagi. Happening-nya mulai pukul 4 pagi. Jadi, sudah biasa saya pulang ke kost pukul 6 pagi, bahkan terkadang setelah matahari terbit.

Tidak bisa dipungkiri, ini adalah salah satu prestasi saya. Membangun eksistensi dan network. Hasil pekerjaan saya didukung oleh teman-teman bergaul saya. Hiburan dunia malam tidak mengganggu konsentrasi kerja saya di pagi hari yang mulai pukul 8 pagi sampai seselesainya. Target setiap hari adalah, pekerjaan selesai hari itu juga. Bukan target pulang tepat waktu.

Inilah yang disebut gaya hidup pekerja hotel yang hura-hura, hedonis, live in luxury with empty pocket. Spesifik, kami adalah pekerja di lingkup Sales & Marketing, dan pastinya yang paling berperan adalah para senior saya dengan jabatan Public Relations.

Hingga saat ini saya sering tersenyum sendiri dengan cerita-cerita dugem kami dulu itu. Cerita tentang teman yang mengunci toilet lobby hotel selama satu jam di siang hari, dan tidur duduk di atas closet, karena kelelahan dugem malam sebelumnya. Tentunya sang teman harus mengompaki petugas public area housekeeping supaya toilet itu ditempeli tulisan out of order. Ada teman dugem juga yang harus melakukan KKN alias mengompaki suster di klinik hotel hanya supaya dapat mencuri tidur satu jam di tempat tidur pasien.

Itu dulu. Dan malam ini, bukanlah titik balik saya untuk kembali ke dunia hiburan malam seperti itu. Saya telah mencukupkan dari 10 tahun lalu. Saya kembali menginjakkan kaki di Bali bulan Desember 2005, tepat dua tahun setelah saya memutuskan untuk mengambil dan menggunakan kesempatan menjadi General Manager untuk pertama kalinya. General Manager sebuah pre-opening boutique hotel dengan konsep entertainment di Jakarta Kota. Saya direkrut atas rekomendasi teman dekat waktu itu karena prestasi saya sebagai penikmat dunia hiburan malam yang penuh warna.

Di awal 2006, saya masih dekat dengan teman-teman sepergaulan di masa saya di Bali sebelumnya. Malam itu saya sedang berdua bersama sahabat saya yang pramugari perusahaan penerbangan nasional. Kami memulai malam di bar terkenal di Seminyak. Masih terbilang kesorean pukul 10 malam itu. Bar belum ramai dengan musik “chill out”– nya sebagai latar belakang. Kami berdua berdiri di depan bar dan bertemu dengan teman lama pula di situ. Beberapa saat kemudian, di tengah keriaan itu, saya merasa lemas dan dengan masih mendengar suara keramaian di telinga, badan rasanya melayang dan saya berusaha berpegangan pada bar counter di mana saya berdiri. Penglihatan menghilang dan dalam hitungan detik saya merasakan kepala membentur lantai. Saya segera tersadar dan bangkit dengan mandi keringat, basah kuyup.

Rupanya saya kehilangan kesadaran dan pingsan sesaat.

Ketika saya mampu bangkit berdiri dengan kesadaran yang belum pulih benar, saya mendengar suara teman bule dalam bahasa Inggris dengan suaranya yang keras dalam nada panik.

“Where is your drink?”

 Saya menunjuk gelas di hadapannya, dan dia langsung mencoba minuman saya.

 “What do you need?”

Saya bilang, “I need oxygen.”

Dan digandenglah saya keluar dari kerumunan, lantas didudukkan di udara terbuka samping kolam renang.

Seorang perempuan bule menghampiri saya sambil menyodorkan segelas minuman. “If you were tipsy this orange juice should be good,” katanya.

 Baik sekali perempuan bule yang tidak saya kenal itu. Dan segelas orange juice yang diberikan pun langsung amblas melewati kerongkongan saya.

 Inilah titik balik saya untuk tidak menjadi penikmat dunia hiburan larut malam lagi. Dua tahun saya meninggalkan Bali. Tinggal di ruangan ber-AC setiap saat di Jakarta, Palembang, dan Bandung. Saya pingsan karena tidak tahan panasnya udara malam itu, dan kurangnya asupan oksigen yang saya hirup di bar.

 Ya, malam itu barulah gelas pertama yang saya pesan, dan itu pun fruit punch, minuman campuran tanpa alkohol.

 Jadi benarlah kata-kata bijak yang mengatakan, “wisdom come with age”. Bijaksana itu datang bersama bertambahnya usia. Keterlambatan suplai oksigen ke otak karena kelelahan, jadilah saya pingsan. Saya teringat nasihat dokter perempuan seorang senior yang berteman dengan saya selama belasan tahun. Ia berpesan, “Sudahlah Jeff, tidak usah dugem-dugem lagi dan berhenti minum minuman beralkohol. Bahaya, ini loe sudah kena gejala hipoksia, aliran oksigen ke otak terputus. Akibatnya loe kehilangan kesadaran dalam waktu sepuluh detik tadi malam.”

 Saya pun menuruti pesan bu dokter teman saya itu. Keputusan untuk mengakhiri hari dari segala kegiatan sampai sebatas selesai makan malam, adalah untuk menghindari resiko penyakit. Saya memilih untuk menjalani hidup sehat. Dan semenjak itu berat badan saya pun ikut meningkat, termasuk wajah nampak kelihatan lebih segar.

Itulah buah dari pertobatan saya dari dunia malam yang kebangetan.

 

Penulis: Jeffrey Wibisono V.
Buku: Hotelier Stories Catatan Edan Penuh Teladan

Diterbitkan pertama kali oleh
PT.Percetakan Bali
Denpasar- Bali-Indonesia
Email : Jeffrey@Jeffreywibisono.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seijin penulis dan penerbit.
ISBN : 978-602-1672-686

Leave a Reply