n-JAWA-ni: “Ngerti Roso, Baru Bisa Cerito” Kecerdasan Pelayanan di Industri Pariwisata dan Perhotelan

“Yen gur mung sinau moco, akhire yo mung pinter cerito. Ning yen gelem sinau roso, mesti ngerti piye carane cerito.”
– Pitutur Jawa

Kita hidup di era di mana ilmu mudah diakses, tapi kebijaksanaan tetap harus dipetik. Banyak dari kita pandai membaca, fasih berbicara, bahkan lihai menyampaikan teori. Namun, berapa banyak yang sungguh-sungguh memahami makna di balik interaksi, menyelami rasa, dan hadir secara utuh saat melayani sesama?

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan—industri yang sangat bergantung pada hubungan antar-manusia—pitutur Jawa di atas mengajarkan satu hal yang sangat mendasar, namun sering terlupakan: roso.

Jadilah pribadi yang dipahami ceritanya oleh orang lain karena kita mampu menghadirkan rasa. “Live your story, feel your work, and let your service speak the language of the soul.”

1. Moco: Ilmu Sebagai Fondasi

Dalam bahasa Jawa, moco berarti membaca. Ini simbol dari proses mencari ilmu, memahami teks, menelusuri data, dan menyerap teori. Dalam konteks industri hospitality, moco adalah ketika kita memahami SOP, mengenal standar pelayanan, dan mempelajari produk destinasi.

“Moco” memberi kita struktur, bekal awal yang penting untuk bekerja. Namun jika berhenti di situ, maka pelayanan kita hanya akan berwujud teknis. Kita mungkin akan terlihat profesional, tetapi belum tentu berjiwa.

“Knowing the book is not the same as living the wisdom.”

2. Roso: Menyentuh yang Tak Terlihat

Roso adalah rasa. Ia hadir saat seseorang belajar merasakan, memahami perasaan orang lain, membaca bahasa tubuh, mengelola emosi, dan memberi pelayanan bukan sekadar karena pekerjaan, tapi karena panggilan batin.

Dalam praktiknya, roso muncul saat petugas front office menyambut tamu yang kelelahan dengan senyum penuh ketulusan. Atau saat seorang room attendant diam-diam meninggalkan catatan kecil yang menghibur di meja tamu yang tampak sedang berkabung.

Roso tidak diajarkan lewat slide PowerPoint. Ia dipelajari lewat kepekaan, ketulusan, dan waktu.

3. Dari Rasa Menuju Cerita yang Berarti

Pitutur tadi menegaskan: orang yang hanya belajar membaca, pada akhirnya hanya pandai bercerita. Tapi orang yang belajar rasa, pasti tahu bagaimana seharusnya bercerita. Di sinilah cerita bukan sekadar narasi, melainkan energi, nilai, dan kebenaran yang dirasakan.

Dalam pariwisata, storytelling bukan sekadar menyampaikan sejarah atau legenda. Cerita yang menyentuh hati lahir dari pemandu wisata yang mencintai tanah kelahirannya, dari pelayan restoran yang menyajikan makanan dengan bangga, dari staf hotel yang memanggil tamu dengan nama—bukan nomor kamar.

“People forget what you said, but they remember how you made them feel.” – Maya Angelou

4. Praktik Menumbuhkan Roso di Industri Layanan

Belajar rasa tak bisa dipaksa, tapi bisa difasilitasi. Berikut beberapa pendekatan praktis:

Tips & Trik:

  1. Latihan Empati Harian: Biasakan bertanya pada diri sendiri, “Kalau aku jadi tamu ini, aku ingin diperlakukan seperti apa?”

  2. Story Sharing Session: Buat sesi rutin di mana staf berbagi pengalaman layanan paling menyentuh—bukan paling mewah.

  3. Refleksi Harian 5 Menit: Cukup tanyakan, “Interaksi mana hari ini yang paling berkesan? Mengapa?” Tulis dalam jurnal pribadi.

  4. Shadowing Pemimpin Berjiwa Roso: Biarkan staf baru mengikuti mentor yang telah terbukti memiliki pelayanan berbasis hati.

  5. Latih Pujian & Apresiasi Sesama Tim: Bukan hanya tamu yang perlu dihargai. Sesama rekan kerja pun perlu dirasakan keberadaannya.

“Hospitality without humanity is just business. With heart, it becomes legacy.”

5. Leadership Berbasis Roso: Bukan Sekadar Mengatur

Banyak pemimpin berpikir bahwa cukup menjadi pintar dan tegas untuk membawa timnya berhasil. Tapi dalam dunia pelayanan, seorang pemimpin yang memahami roso tahu bahwa keteladanan adalah bahasa yang paling kuat.

  • Ia tahu kapan bicara, dan kapan cukup mendengarkan.

  • Ia bisa melihat lelah di balik senyum staf.

  • Ia hadir bukan hanya di briefing, tapi di saat-saat krusial yang tak terlihat kamera.

Pemimpin seperti ini membangun budaya. Bukan lewat poster motivasi, tapi lewat sikap yang menginspirasi.

6. Output Bisnis: Diam Tapi Dalam

Secara kasat mata, roso mungkin tak muncul di laporan bulanan. Tapi dampaknya sangat nyata:

  • Loyalitas tamu meningkat.

  • Reputasi hotel menyebar dari mulut ke mulut.

  • Turnover staf menurun karena merasa dihargai.

  • Atmosfer kerja jadi lebih ringan dan menyenangkan.

“Feelings are the new currency of brand loyalty.”

7. Integrasi “Moco” dan “Roso”: Model Pembelajaran Holistik

Sukses dalam dunia hospitality bukan tentang memilih antara moco atau roso, tapi menyelaraskan keduanya. Inilah pendekatan pelatihan yang bisa dikembangkan:

 

Tahap Moco (Ilmu) Roso (Hati)
Awareness Pelatihan SOP dan teknik pelayanan Menonton video kisah nyata yang menyentuh
Practice Simulasi pelayanan Roleplay dengan skenario emosional
Reflection Evaluasi kinerja Jurnal pribadi “apa yang saya pelajari dari rasa hari ini?”
Mentoring Supervisi teknis Pendampingan oleh senior berjiwa ngemong
Sharing Forum ide Forum pengalaman menyentuh hati

8. Menjadi Pribadi yang Ceritanya Layak Dikenang

Pelayanan sejati bukan soal apa yang kita katakan, melainkan apa yang kita rasakan dan bagikan. Dalam setiap senyum, ada cerita. Dalam setiap sapa, ada nilai. Dan dalam setiap roso, ada warisan kemanusiaan yang tak ternilai.

Mari kita tidak sekadar menjadi pencerita. Jadilah pribadi yang dipahami ceritanya oleh orang lain karena kita mampu menghadirkan rasa.

“Live your story, feel your work, and let your service speak the language of the soul.”

Jember, 18 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Leave a Reply