n-JAWA-ni: Bicara Tanpa Tata, Melangkah Tanpa Arah
Mengurai Pitutur Jawa: Guguk karsaning priyonggo, nora nganggo peparah lamun angling. Lumo engaran balilu. Uger guru aleman sak karepe dewe.
“Artinya secara bebas: Anjing pun bisa menjadi mulia jika ia tunduk pada tuannya, tapi manusia yang bicara sembarangan tanpa aturan hanya akan menjadi perusak. Jika seseorang hanya menjadikan pujian sebagai pedoman, dan hidup semaunya sendiri, maka itu awal dari kebodohan.
“Wise men speak because they have something to say; fools because they have to say something.” – Plato
“Wong meneng durung mesthi ora ngerti. Nanging wong rame durung tentu bener.”
Mutiara dari Lisan, Bencana dari Ucapan
Di tengah arus komunikasi yang kian deras dan spontan, seringkali suara kita lebih cepat meluncur dibanding pikiran yang mematangkan. Di zaman serba instan ini, berbicara dianggap hak, tetapi sedikit yang menyadari bahwa berbicara juga merupakan tanggung jawab.
Pitutur luhur Jawa yang mengangkat tema “guguk karsaning priyonggo…” adalah cermin halus, namun tajam. Ia menegur manusia yang bicara tanpa kerangka etika, bertindak tanpa disiplin nilai, dan hidup semata mengikuti kehendak diri.
Pitutur ini bukan sekadar nasihat kuno, melainkan warisan kebijaksanaan yang luar biasa relevan—terutama di industri pariwisata dan perhotelan, di mana perilaku dan tata tutur adalah wajah dari institusi dan budaya kerja.
1. “Guguk karsaning priyonggo”: Menghargai Tunduk, Memuliakan Loyalitas
Seekor anjing yang setia, dalam budaya Jawa, dipandang bukan sebagai makhluk rendah, melainkan simbol dari pengabdian, ketulusan, dan kepatuhan pada tatanan. Bila seekor guguk mampu menunjukkan penghormatan pada tuannya, mengapa manusia justru sering abai pada nilai-nilai yang luhur?
“Integrity is doing the right thing, even when no one is watching.” – C.S. Lewis
Dalam konteks profesional, terutama di bidang pelayanan, loyalitas tidak berarti tunduk membabi buta. Loyalitas yang dimaksud adalah kesetiaan pada visi bersama, pada nilai-nilai luhur perusahaan, dan pada prinsip kerja yang berlandaskan hormat.
Tips Inspiratif:
-
Kenali siapa yang Anda layani: bukan hanya pelanggan, tetapi juga integritas institusi.
-
Bangun loyalitas berbasis nilai, bukan sekadar gaji atau posisi.
-
Tunjukkan kepatuhan melalui disiplin dan tanggung jawab, bukan basa-basi.
2. “Nora nganggo peparah lamun angling”: Lisan Tanpa Tata, Akar Malapetaka
Lisan adalah anugerah. Tetapi jika tak dikendalikan, ia menjadi alat penghancur yang lebih kejam daripada senjata. Ucapan yang tergesa, komentar yang tanpa empati, atau pernyataan yang menyesatkan—dapat menghancurkan kepercayaan yang telah dibangun bertahun-tahun.
“Apa sing metu saka tutukmu, iku gambaran saka atimu.”
(Yang keluar dari lisanmu adalah cerminan dari hatimu.)
Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, kita bekerja dengan banyak kepentingan, kultur, dan emosi. Maka kepekaan dalam berkata menjadi aset penting. Profesional sejati tahu bahwa diam dalam momen tertentu adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan emosi.
Solusi Praktis:
-
Terapkan “The Golden Pause”: jeda 5 detik sebelum bicara.
-
Latih empati dalam dialog—cobalah pahami, sebelum berharap dipahami.
-
Gunakan nada yang meneduhkan, bukan meninggikan.
3. “Lumo engaran balilu”: Pemimpin Tanpa Nalar, Masyarakat Tanpa Arah
Lumo berarti liar, balilu berarti bingung, tak tahu arah. Pitutur ini menggambarkan individu yang, meski memiliki suara atau jabatan, tidak memiliki kepekaan nilai. Dalam dunia kerja, ini adalah figur yang bersuara lantang namun miskin tanggung jawab, penuh arahan tetapi miskin teladan.
“Leadership is not about being in charge. It’s about taking care of those in your charge.” – Simon Sinek
Sebagai pemimpin, kita dituntut untuk memberi arah, bukan sekadar memberi perintah. Kita harus menjadi mercusuar nilai, bukan kompas yang rusak.
Remedi Etis:
-
Tanamkan code of honor dalam tim kerja: aturan yang bukan hanya ditulis, tetapi dihayati.
-
Evaluasi diri: apakah kata-kata kita memberi inspirasi, atau hanya sekadar instruksi?
4. “Uger guru aleman sak karepe dewe”: Bila Guru Hanya Dipuja, Maka Murid Jadi Buta
Puji-pujian yang berlebihan terhadap sosok guru, pemimpin, atau tokoh—jika tak disertai kritik yang membangun—akan melahirkan budaya semu. Di sinilah ujian terbesar seorang pemimpin: apakah ia bersedia ditegur?
“True greatness is not how much you are admired, but how well you accept feedback.”
Ketika seseorang hanya dikelilingi oleh sanjungan dan tidak memiliki ruang untuk dikoreksi, maka ia akan hidup dalam ruang gema (echo chamber)—mengira semua baik-baik saja, padahal ia sedang tersesat.
Solusi Bijak:
-
Bangun sistem feedback 360: atasan bisa dikritik oleh bawahan secara sehat.
-
Hargai orang yang berani memberi masukan, bukan hanya yang pandai menyenangkan.
-
Renungkan: lebih baik disalahkan oleh orang jujur, daripada dipuji oleh penjilat.
Latihan Reflektif untuk Workshop dan Pelatihan
Sesi 1: “Cermin Lisan”
Tuliskan 3 hal yang Anda sesali pernah katakan di tempat kerja.
Renungkan: apakah itu muncul dari ego, emosi, atau ketidaktahuan?
Bagaimana Anda seharusnya bertindak?
Sesi 2: “Pitutur Board”
Buat papan kecil pribadi dengan 4 komponen:
-
Pitutur Jawa pilihan Anda
-
Kutipan global inspiratif
-
Kalimat korektif yang ingin Anda dengar
-
Afirmasi diri dalam bekerja
Sesi 3: Roleplay “Suara yang Meneduhkan”
Simulasi situasi konflik—antara tamu dan staf, antara atasan dan bawahan.
Tantangan: selesaikan konflik tanpa memanaskan situasi.
Tujuan: mengasah ketajaman emosional dan komunikasi berbasis etika.
Bicara yang Mencerminkan Jiwa
Pitutur Jawa ini seakan menyentil kita dengan cara yang halus namun mendalam. Bahwa dalam kehidupan profesional, kita tidak dinilai hanya dari kemampuan dan penampilan, tetapi dari cara kita menjaga tutur, menghormati tatanan, dan berani merangkul teguran.
“Ucapmu adalah panah, nilaimu adalah busurnya.”
Jangan remehkan kekuatan ucapan. Ia bisa menjadi pembuka pintu rezeki, atau justru penutup semua peluang. Jadilah pribadi yang tutur katanya mencerminkan kejernihan batin, dan tindakannya selaras dengan nilai luhur.
Mari, kita jaga lisan kita. Kita tata langkah kita. Dan kita hidup sebagai insan profesional yang tidak sekadar pintar bicara, tetapi piawai dalam mendengarkan, belajar, dan bertumbuh.
“Guguk karsaning priyonggo, nora nganggo peparah lamun angling. Lumo engaran balilu. Uger guru aleman sak karepe dewe.”
Hidup bukan tentang menjadi paling keras suaranya, melainkan paling dalam maknanya.
Jember, 21 April 2025