Darlin di Antara Bintang dan Luka

“Sakitnya bukan saat kita gagal, tapi ketika keberhasilan kita tak pernah dianggap. Dan lebih perih lagi, saat kesalahan kecil kita dijadikan alasan untuk dihukum.”
— Darlin

Panggung di Balik Senyap

Pagi hari di kawasan Seminyak tak pernah benar-benar sunyi, tapi pagi itu udara terasa berat. Darlin duduk di salah satu bangku taman di area belakang resort tempatnya bekerja. Tangannya menggenggam sebuah cangkir kopi yang dingin, dan matanya menatap laut yang samar terlihat di kejauhan.

Dia baru saja menyelesaikan shift malamnya. Malam yang panjang. Malam yang membuatnya ingin menyerah untuk pertama kali setelah tujuh tahun mengabdi di dunia yang katanya penuh senyum: industri pariwisata.

Wanita Tangguh Bernama Darlin

Darlin, 33 tahun, adalah Duty Manager di sebuah luxury resort berbintang lima di Bali. Ia dikenal oleh para tamu sebagai pribadi yang hangat, tenang, dan tanggap. Bagi tim operasional, Darlin adalah sosok yang selalu bisa diandalkan—yang tak pernah mengeluh walau harus menyambung shift karena rekan kerja absen, atau menggantikan resepsionis saat overbooking tak terduga.

Ia memulai kariernya sebagai receptionist trainee, naik perlahan menjadi Front Office Supervisor, hingga akhirnya dipercaya sebagai Duty Manager malam. Tapi tak banyak yang tahu, Darlin belum pernah ambil cuti panjang sejak pandemi. Ia memilih bertahan di saat hotel hampir tutup, mengurus tamu karantina, dan menyelamatkan reputasi hotel dari komplain daring.

Malam yang Menjadi Luka

Tiga hari lalu, seorang tamu penting dari Jerman—klien langganan travel agent Eropa—datang menginap. Di malam pertama, tamu itu memesan mocktail khas Bali. Namun barista baru salah mengartikan catatan “non-alcoholic” sebagai “extra alcohol”.

Tamu itu marah. Sangat. Ia meminta bertemu manajer. Pekerja hotel yang punya jam terbang tinggi, pasti pernah menghendel tamu yang memanfaatkan “missed” dengan menghiperbolanya dengan tuntutan kompensasi yang “overwhelm”.

Darlin yang sedang piket datang menghampiri dengan sopan. Dengan segala keterampilan komunikasi dan bahasa Jerman level intermediate yang ia miliki, ia menenangkan tamu tersebut. Menyediakan complimentary upgrade, personal letter of apology, bahkan menghubungi GM yang sedang libur untuk menginformasikan.

Semua berhasil diredam. Tamu tetap bertahan. Ia bahkan menyebut Darlin sebagai “exceptional hospitality woman” dalam email feedback-nya.

Tapi esok harinya, Darlin dipanggil oleh Rooms Division Manager.

“Kamu tahu kesalahan ini bisa jadi bencana reputasi kan? Kenapa bisa sampai miss seperti ini?”

“Saya sudah tangani tamunya dengan baik, Pak. Saya ambil alih dan tangani langsung.”

“Masalahnya bukan di penyelesaian, tapi kenapa bisa terjadi. Kamu kurang kontrol staf bar malam. Kamu yang bertanggung jawab.”

Tidak ada ruang bagi pembelaan. Tidak ada apresiasi atas damage control luar biasa yang ia lakukan.

Surat yang Tak Pernah Diharapkan

Dua hari setelah insiden itu, Darlin menerima amplop putih. Mutasi internal.

Ia dipindahkan ke departemen housekeeping malam. Tanpa diskusi. Tanpa review resmi. Hanya tulisan singkat: “Rotasi kerja untuk peningkatan pemahaman lintas departemen.”

Tapi Darlin tahu. Itu bukan rotasi. Itu hukuman halus.

Sebuah keputusan yang merobek seluruh harga dirinya. Tidak karena pekerjaan housekeeping lebih rendah—tidak. Ia menghargai semua lini. Tapi karena ia tahu ini bukan soal pekerjaan. Ini soal permainan politik.

Di Bawah Cahaya yang Tak Disorot

Hari pertama di housekeeping malam adalah tamparan dingin. Ia berkeliling kamar, mengecek linen, menemani room boy yang baru belajar menyetrika baju tamu VIP. Ia membersihkan minibar checklist sambil menahan kantuk. Tapi ia lakukan semua dengan tenang.

Ia kembali menjadi murid. Belajar lagi dari awal.

Namun perlahan, ia menemukan sesuatu yang menghangatkan hati: para staf housekeeping menyambutnya seperti keluarga. Mereka tidak menilainya dari jabatan. Mereka menghormatinya karena kerjanya nyata.

Darlin mulai menyusun sistem rotasi linen agar tidak overload. Ia bantu menyusun SOP baru berbasis QR code untuk inspeksi kamar. Semua itu ia lakukan diam-diam. Tanpa spotlight. Tanpa panggung.

Hari yang Tak Disangka

Tiga bulan kemudian, General Manager yang baru datang—seorang ekspatriat dari Selandia Baru, wanita energik bernama Claire Morgan.

Claire turun ke lapangan. Ia melihat langsung sistem kamar yang lebih cepat, lebih bersih, dan feedback tamu yang lebih baik.

“Siapa yang buat sistem QR inspection ini?”

“Darlin, Bu. Duty Manager yang sekarang di housekeeping malam.”

“Saya ingin bertemu dia sekarang.”

Darlin dipanggil ke ruang meeting. Ia datang dengan seragam kerja malamnya. Claire tersenyum hangat.

“Kita butuh orang sepertimu untuk jadi Quality & Training Manager. Sistem yang kamu bangun, harus jadi standar kita. Kamu bersedia?”

Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, mata Darlin kembali berbinar. Ia tak menangis, tapi senyumnya menyimpan ribuan luka yang kini mulai terobati.

Di Antara Bintang dan Luka

Kini, Darlin duduk di ruang pelatihan yang ia desain sendiri. Di dinding terpajang kata-kata favoritnya:

“Kita tak butuh pengakuan jika karya kita cukup bicara.”

Ia tidak butuh balasan dari mereka yang dulu menghukumnya diam-diam. Ia tidak ingin dendam.

Karena di antara luka, ia menemukan misi baru: melatih generasi pekerja pariwisata agar tidak hanya hebat di depan tamu, tapi juga tangguh menghadapi sistem yang kadang tak adil.

Epilog

Jika kamu adalah Darlin—atau pernah seperti Darlin—ketahuilah:
Kamu tidak salah menjadi tulus.
Kamu tidak lemah karena tidak membalas.
Dan kamu pasti sampai di tempat yang lebih tinggi, meski lewat tangga yang tersembunyi.

 

“Dalam dunia pariwisata, kadang kamu bukan dilihat dari seragammu, tapi dari siapa yang membelamu ketika kamu tidak bisa membela diri sendiri.”
— Darlin

.

.

.

Jember 18 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#DarlinCeritaKita #CeritaHospitality #LukaYangTakTerlihat #DedikasiTanpaPanggung #CerpenEmosional

Leave a Reply