Merangkul Cara Berpikir yang Beragam

6 + 3 = 9, tapi begitu juga 5 + 4. Cara yang berbeda bisa menghasilkan hasil yang sama. Hormatilah cara berpikir orang lain.

Ketika Angka Mengajarkan Arti Hidup

Hidup ini kadang terlihat sederhana seperti matematika dasar. Tapi dalam kesederhanaan itulah terkandung makna yang dalam. Bayangkan angka “9”. Ia bisa dicapai dari 6 + 3, tapi juga dari 5 + 4, 2 + 7, dan berbagai kombinasi lain. Maka pertanyaannya: apakah satu-satunya cara yang benar hanya 6 + 3?

Dalam dunia kerja, dalam keluarga, bahkan dalam relasi sosial, kita sering terjebak dalam ilusi kebenaran tunggal. Kita menganggap bahwa cara kita—karena terbukti berhasil—adalah satu-satunya cara. Padahal, sebagaimana dalam matematika, banyak jalan menuju hasil yang sama. Yang kita butuhkan adalah hati yang terbuka dan sikap batin yang mampu menerima keberagaman cara berpikir.

Kebenaran Bukan Milik Satu Sudut Pandang Seperti angka 9 yang bisa didapat dari banyak jalan, hasil yang baik dalam kehidupan pun bisa lahir dari berbagai pendekatan.

Pitutur Jawa: Urip Kudu Bisa Nampa

Dalam budaya Jawa, terdapat pepatah: “Urip iku kudu bisa nampa.” Hidup itu harus bisa menerima. Menerima kenyataan, menerima perbedaan, dan terutama: menerima bahwa kita tidak selalu benar. Bahwa kebenaran bisa bersifat relatif tergantung pada posisi kita melihatnya.

Kita belajar dari filosofi ini untuk tidak memaksakan cara kita sendiri. Bahwa dalam interaksi sosial maupun profesional, menerima cara berpikir orang lain adalah bentuk tertinggi dari penghormatan. Ini bukan soal debat siapa yang benar, tapi bagaimana kita membangun jembatan di antara perbedaan.

Perspektif Global: Empati sebagai Bentuk Pengetahuan Tertinggi

Bill Bullard berkata, “The highest form of knowledge is empathy.” Empati, bukan hanya kemampuan untuk merasakan, tapi juga memahami cara orang lain berpikir, adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Dalam konteks industri pariwisata dan perhotelan, ini menjadi keahlian utama: membaca kebutuhan tamu, memahami rekan kerja, dan melayani dengan hati.

Pemimpin yang bijak bukanlah mereka yang paling keras bersuara, tapi mereka yang paling tenang dalam memahami dan paling jernih dalam menyelaraskan. Seorang manajer hotel yang bisa memahami perbedaan pendapat antar staf dan menjadikannya kekuatan tim, itulah pemimpin sejati.

Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Ali melihat angka itu sebagai 6, Budi melihatnya sebagai 9. Keduanya duduk bersila, saling menyapa, dan bertukar pandangan. Bukan saling menyalahkan. Mereka tahu: sudut pandang menentukan persepsi, dan persepsi bukanlah dosa.

Sikap seperti ini dibutuhkan dalam tim kerja. Dalam dunia yang makin plural, kita dituntut untuk tidak hanya profesional, tapi juga personal. Membangun ruang aman untuk saling bicara tanpa penghakiman. Karena dalam kolaborasi, yang dicari bukan siapa yang menang, tapi bagaimana semua bisa tumbuh bersama.

Tips Praktis Menumbuhkan Sikap Menghargai Cara Berpikir Orang Lain
  1. Tunda Penilaian: Belajarlah mendengar tanpa terburu-buru menyimpulkan.
  2. Latih Diri untuk Bertanya “Mengapa?”: Temukan akar dari cara berpikir seseorang.
  3. Validasi Tanpa Harus Setuju: Anda bisa mengatakan, “Saya mengerti mengapa kamu berpikir begitu,” tanpa harus menyetujui.
  4. Berlatih Refleksi Harian: Tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang saya pelajari dari sudut pandang orang lain hari ini?”
  5. Ciptakan Budaya Dialog, Bukan Debat: Dalam forum diskusi, dorong saling tukar pandangan, bukan adu pendapat.
Solusi Kolaboratif untuk Dunia Kerja dan Kehidupan Sosial
  • Dalam rapat, mintalah semua anggota menyampaikan pandangannya sebelum keputusan diambil.
  • Gunakan metode “round table” untuk brainstorming, agar semua merasa dilibatkan.
  • Dokumentasikan ide-ide berbeda dan evaluasi dari berbagai sisi.
  • Jadikan diversity of thought sebagai nilai organisasi.
Kebenaran Bukan Milik Satu Sudut Pandang

Seperti angka 9 yang bisa didapat dari banyak jalan, hasil yang baik dalam kehidupan pun bisa lahir dari berbagai pendekatan. Tugas kita bukan untuk menentukan siapa yang paling benar, melainkan bagaimana kita bisa menghargai perbedaan itu, menyelami alasannya, dan mengambil hikmahnya.

Dalam dunia yang kompleks dan penuh ketidakpastian, yang kita butuhkan bukan ego yang membesar, tapi empati yang meluas. Bukan debat yang melelahkan, tapi dialog yang meneduhkan.

Dan di atas semua itu, seperti pesan Jawa: “Urip iku kudu bisa nampa.”

 

Jember 24 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Perhotelan dan Konsultan

 

Leave a Reply