Mungkin Anda Belum Punya ‘Keberanian’ yang Ini…
Filsafat Rollo May dan Makna Pelayanan Sejati di Dunia Perhotelan
Di tengah gempuran digitalisasi, tuntutan rating, dan tekanan target yang nyaris tak henti, dunia perhotelan dan pariwisata menyimpan pertanyaan mendalam: Masih adakah ruang bagi jiwa manusia untuk benar-benar hadir, bukan sekadar bekerja?
Bagi Rollo May, filsuf dan psikolog eksistensialis asal Amerika, jawaban itu bergantung pada satu hal: keberanian. Bukan keberanian yang heroik dalam pengertian militeristik, tetapi keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri—utuh, otentik, dan penuh kesadaran—di tengah arus komersialisasi dan keseragaman.
Pelayanan sebagai Ruang Eksistensial
Rollo May menekankan bahwa keberadaan manusia tidak lepas dari kecemasan, ketidakpastian, dan pencarian makna. Dalam industri hospitality, situasi ini sangat kentara: pekerja dituntut untuk selalu ramah, efisien, dan sigap, bahkan ketika emosi pribadi sedang rapuh. Namun di balik senyum yang ditawarkan pada tamu, seringkali tersembunyi pergumulan eksistensial yang sunyi.
“Keberanian untuk hadir seutuhnya, meski lelah dan tak dimengerti, adalah bentuk pelayanan tertinggi,” tulis May dalam The Courage to Be. Inilah keberanian yang dibutuhkan para profesional hospitality hari ini: bukan sekadar bertahan dalam sistem, tapi tetap menjadi manusia dalam setiap tindakan pelayanan.
Dari Ketakutan Menuju Kreativitas
May tidak memandang kecemasan sebagai musuh. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai panggilan menuju kebebasan yang lebih besar. Kecemasan yang muncul karena perubahan manajemen, tekanan pelanggan, hingga ketidakpastian masa depan adalah alarm jiwa yang meminta untuk didengar.
Dalam konteks pariwisata, kecemasan bisa diolah menjadi sumber kreativitas. Misalnya, alih-alih merasa tertekan oleh kehadiran teknologi dan otomatisasi, seorang pelaku industri bisa memilih menciptakan pengalaman yang lebih humanis, personal, dan bermakna bagi tamunya—sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mesin mana pun.
Pelajaran dari Pitutur dan Perspektif Global
Menariknya, filsafat Rollo May sejalan dengan pitutur luhur budaya Jawa. Nilai seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe (bekerja keras tanpa pamrih) dan nglakoni kanthi tulus (menjalani hidup dengan keikhlasan) memperkuat pentingnya pelayanan bukan sekadar sebagai profesi, melainkan sebagai praktik spiritual.
Dalam dunia yang semakin bising oleh target dan KPI, pendekatan ini menawarkan oase. Pelayanan sejati lahir dari keberanian untuk tetap tulus, bahkan ketika dunia tidak mengapresiasi.
Praktik Humanistik dalam Dunia Kerja
Beberapa organisasi hospitality terkemuka di dunia telah mulai menerapkan pendekatan ini. Mereka mengadopsi sesi “mindfulness check-in” sebelum shift kerja dimulai, mengadakan refleksi mingguan bagi para karyawan, serta menciptakan ruang dialog terbuka antara manajemen dan staf lapangan.
Di Indonesia, praktik semacam ini mulai muncul dalam bentuk pelatihan berbasis nilai. Pendekatan hypnowriting, hypnoselling, dan hypnobranding menjadi cara baru untuk menghidupkan kembali semangat kerja dengan pendekatan yang menyentuh batin.
“Jualan itu bukan soal produk, tapi tentang niat baik. Branding bukan soal logo, tapi tentang nilai yang dipercaya dan dijalani,” kata penulis artikel ini dalam pelatihan hospitality di berbagai daerah.
Menuju Hospitality yang Membekas
Melayani dengan hati adalah bentuk perlawanan terhadap budaya kerja yang mekanistik. Hospitality bukan hanya tentang kamar dan menu, tetapi tentang menciptakan ruang yang membuat orang merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Filsafat Rollo May mengingatkan kita bahwa dunia bisa berubah, algoritma bisa terus diperbarui, tetapi satu hal yang tidak bisa digantikan adalah kehadiran manusia yang otentik. Ia menulis:
“Human freedom involves our capacity to pause, to choose the one response toward which we wish to throw our weight.”
Dan dalam bahasa budaya kita, pesan ini seakan diterjemahkan ulang:
“Urip iku ojo mung mlaku, tapi kudu ngerti arep menyang endi lan ngapa.”
(Hidup bukan hanya berjalan, tapi harus tahu ke mana dan untuk apa.)
Dari Ruang Kerja ke Ruang Jiwa
Keberanian untuk menjadi diri sendiri yang otentik dan utuh adalah panggilan universal. Di industri hospitality, keberanian ini menjelma dalam bentuk kesabaran saat melayani tamu yang marah, ketulusan saat menyambut pendatang baru, dan komitmen untuk tetap hadir sebagai manusia utuh meski tekanan pekerjaan tak pernah berhenti.
Jika ada satu hal yang perlu kita jaga, bukan hanya SOP atau performa—tapi juga kemanusiaan dalam pelayanan. Karena pada akhirnya, yang paling membekas dari sebuah hotel atau destinasi bukan hanya kemewahannya, tapi siapa yang menyambut, dan bagaimana perasaan itu tinggal dalam ingatan.
Dan itulah hospitality yang sejati: seni menjadi manusia bagi manusia lain.
Jember, 19 Mei 2025