Melejitkan Revenue Hotel Lewat Sinergi Sales, PR, Marketing, dan Frontliner di Era E-Commerce 2025
Sebuah Transformasi Filosofis dan Strategis Menuju Hospitality Digital yang Memikat
Dunia perhotelan kini tak lagi berdiri megah hanya di lobby, kamar, dan ballroom. Di tengah derasnya arus digitalisasi, medan pertarungan sesungguhnya justru berada di genggaman tangan para tamu—di layar ponsel mereka. Tahun 2025 menandai babak krusial bagi industri hospitality untuk merevolusi cara kerja dan cara pikir, khususnya bagi empat peran kunci: salesman, public relations, marketer, dan front liner.
Dengan makin dominannya e-commerce dan social commerce, keempat fungsi ini tak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. Mereka harus menyatu dalam orkestra digital yang selaras, intuitif, dan penuh empati. Seperti dikatakan dalam pitutur Jawa:
“Becik ketitik, ala ketara. Nanging kabecikan ora cukup menunggu ketara, kudu aktif dititik lan ditularkan.”
(Kebaikan akan terlihat, namun jangan menunggu terlihat; harus aktif ditunjukkan dan ditularkan.)
Dari Penjaja Kamar Menjadi Arsitek Pengalaman
Dalam pola lama, salesman adalah ujung tombak revenue—tapi kini mereka dituntut lebih dari sekadar mengisi okupansi. Mereka adalah engineer of experience. Menjual bukan cuma kamar, tapi narasi. Mereka wajib melek kanal WhatsApp Business API, live selling TikTok, hingga penguasaan emotional pricing dalam komunikasi.
Sementara itu, PR hotel tak lagi cukup dengan press release dan media lunch. Mereka kini bertanggung jawab atas citra digital, manajemen reputasi daring, hingga kolaborasi dengan nano influencer lokal. Mereka adalah digital diplomat, penjaga kepercayaan publik.
Marketer? Perannya lebih tajam dari sebelumnya. Ia adalah soul interpreter dari brand—menggabungkan data, psikologi pasar, dan estetika konten. Ia harus ahli dalam memaknai metrik engagement, heatmap behavior website, hingga algoritma carousel Instagram.
Dan front liner? Kini mereka adalah living content creator. Gesture ramah, improvisasi jawaban, dan solusi cepat tak hanya berfungsi secara operasional, tapi juga bisa menjadi aset konten dan bukti nyata brand experience. “Senyumanmu bisa jadi video pendek yang viral, bukan hanya pelengkap SOP,” demikian kutipan dalam modul pelatihan internal Java Lotus Hotel Jember.
Integrasi: Tak Cukup Kompatibel, Harus Cair
Integrasi jabatan bukan hanya soal sistem digital atau pelatihan. Ini soal pembentukan shared culture—kesadaran lintas fungsi bahwa keberhasilan revenue kini adalah hasil dari simfoni, bukan solo vokal.
Implementasi praktis yang mulai diterapkan di beberapa hotel progresif Indonesia meliputi:
-
Hybrid role: Sales yang juga bisa bikin konten video.
-
Omnichannel coordination: PR mengelola TikTok sekaligus menyambut VVIP.
-
Real-time marketing: Marketer merespons tren yang viral sebelum pesaing mengambil alih.
-
Hospitality in action: Front liner dilatih menggunakan kamera untuk membuat guest reaction reel.
Semua ini dilakukan dalam satu tujuan: menciptakan daya jual, daya sebar, dan daya ingat yang kuat secara emosional dan digital.
Social Commerce: Kanal Baru untuk Revenues yang Relevan
Dari Shopee Live hingga Tokopedia Now, TikTok Shop hingga YouTube Shorts, dunia social commerce bukan lagi sekadar milik fashion dan kuliner. Hospitality harus masuk ke sana, dengan pendekatan humanis dan bukan hard selling.
“Don’t sell the room. Sell the reunion, the romance, the relief.”
Begitulah diksi hypnoselling yang kini mulai diadopsi oleh tenaga sales dan front liner modern. Mereka menyisipkan narasi empatik di tiap penawaran, seperti:
“Bayangkan merayakan anniversary Anda dengan matahari terbenam di rooftop kami.”
Bukan lagi:
“Harga kamar Rp1.200.000 sudah termasuk breakfast.”
Tantangan & Transformasi: Dari Mental Lama Menuju Hospitality Baru
Adakah tantangan? Tentu. Banyak hotel masih terpaku pada struktur kerja usang. Kurangnya literasi digital, ketakutan terhadap konten negatif, dan minimnya kolaborasi lintas divisi jadi hambatan. Namun justru di situlah peran pelatihan transformasional berfungsi.
Program seperti “Digital Hospitality Hour”, “Cross-Skill Daily Challenge”, dan “Storytelling for Sales” menjadi solusi praktis yang bisa diterapkan dengan cepat dan berdampak nyata.
Pitutur Jawa dan Strategi Global
Dalam menghadapi semua ini, filosofi Jawa bisa menjadi pemandu etis:
“Ngerti, ngrasa, nglakoni.”
(Memahami, merasakan, lalu melakukan.)
Sementara dari perspektif global, kita bisa menyerap inspirasi dari Simon Sinek:
“People don’t buy what you do, they buy why you do it.”
Hospitality harus menunjukkan “why”-nya—bukan sekadar harga, tapi nilai. Bukan hanya diskon, tapi pengalaman. Bukan sekadar fasilitas, tapi kehangatan yang hidup.
Revenue Bukan Akhir, Tapi Efek Samping dari Relevansi
Memasuki sisa semester 2025, kita tak hanya bicara target bulanan atau okupansi tahunan. Kita berbicara tentang eksistensi. Hotel yang mampu menyatukan kekuatan salesman, PR, marketing, dan front liner ke dalam semangat digital dan narasi otentik, akan tetap hidup dan bahkan memimpin.
Revenue bukan tujuan utama. Ia adalah buah dari harmoni internal dan impresi tamu yang autentik.
Sebagaimana pepatah bijak modern mengatakan:
“Don’t wait for the market to find you. Be so relevant, the market can’t ignore you.”
Jember, 26 May 2025