Hotelier Stories: Mengapa Rebranding Hotel Lebih Sulit dari Pre-Opening?
Menyulap Masa Lalu Menjadi Masa Depan
Kisah Jeffrey Wibisono V. dalam Kepemimpinan Industri Perhotelan Indonesia
Ketika berbicara tentang peran General Manager di industri perhotelan, banyak yang membayangkan glamornya meresmikan hotel baru—lengkap dengan gunting pita, senyum media, dan bangunan megah yang siap beroperasi dari nol. Tapi Jeffrey Wibisono V., seorang profesional hospitality dengan pengalaman lintas benua, justru mengajukan narasi berbeda: “Menjadi GM dalam proses rebranding jauh lebih kompleks daripada memimpin hotel baru dari awal.”
Pernyataan ini bukan sekadar opini. Ini adalah refleksi dari pengalaman riil yang ia jalani saat memimpin transisi merek (rebranding) pada sebuah butik hotel di Bali—saat brand lama dilepas, dan identitas baru belum sepenuhnya terbentuk. Dalam waktu 12 bulan tanpa otoritas penuh sebagai GM reliever yang harus melakukan serahterima tanpa disadari oleh tim kerjanya. Ia harus menjaga reputasi, pendapatan, dan kepercayaan semua pihak. Tuntutan dari pemilik perusahaan adalah reputasi brand baru harus minimal sama dengan brand yang pergi atau lebih baik.
“Pre-opening itu ibarat membangun rumah. Tapi rebranding itu seperti renovasi rumah sambil tetap ditinggali—ada debu, ada luka, tapi harus tetap hangat dan nyaman,” ujarnya.
Rebranding: Mengelola Ekspektasi, Bukan Hanya Operasional
Dalam proses pre-opening, GM bekerja dengan lembaran bersih. Namun dalam rebranding, GM justru memulai dari tumpukan warisan masa lalu, baik yang tertulis maupun yang tersembunyi dalam budaya kerja. Ada kebiasaan lama, standar layanan yang tidak konsisten, bahkan reputasi yang perlu disegarkan kembali.
“Perubahan nama hotel itu mudah. Tapi mengubah persepsi pelanggan dan pola pikir tim internal—itu tantangan terberat,” tambah Jeffrey.
Alih-alih membentuk budaya baru dari awal, GM dalam rebranding harus melakukan dekontruksi budaya lama secara elegan, lalu menanamkan semangat baru tanpa menyinggung harga diri karyawan lama.
Menjadi GM Rebranding: Antara Tabib Organisasi dan Dalang Perubahan
Jeffrey menyebut perannya kala itu sebagai “tabib organisasi”, bukan sekadar eksekutor SOP. Ia menerapkan pendekatan pitutur Jawa seperti titeni (amati), tirakati (tekun dan bersih hati), serta enteni (sabar menunggu momentum).
“Orang bilang leadership itu soal keberanian. Tapi dalam rebranding, leadership adalah tentang empati. Bagaimana kamu bisa merangkul tim lama sambil memperkenalkan nilai-nilai baru, tanpa membuat mereka merasa dibuang atau digantikan.”
Strategi 90 Hari: Meretas Jalan di Tengah Kabut
Jeffrey merancang strategi berbasis milestone 90 hari:
-
0–3 bulan: Audit budaya internal dan ekspektasi eksternal
-
4–6 bulan: Merancang ulang SOP dan melatih ulang staf
-
7–9 bulan: Memperkenalkan citra dan nilai baru secara bertahap
-
10–12 bulan: Meluncurkan identitas visual dan mengevaluasi kepuasan stakeholder
Dalam 1 tahun, meski tanpa otoritas struktural penuh, hotel tersebut mencapai GOP (Gross Operating Profit) tertinggi 58%, sekaligus mempertahankan okupansi di atas 80%.
Hypnobranding: Menjual Emosi, Bukan Sekadar Kamar
Salah satu pendekatan yang digunakan adalah hypnobranding—sebuah strategi memikat hati tamu dan mitra bisnis lewat narasi emosional yang menyentuh.
“Brand baru tidak cukup hanya terlihat. Ia harus dirasakan,” ungkapnya. Oleh karena itu, ia melatih timnya dengan narasi sederhana namun kuat:
“Kami hadir dengan wajah baru, tapi semangat kami tetap melayani Anda lebih baik dari sebelumnya.”
Narasi ini kemudian menjadi jembatan transisi, menyatukan harapan lama dengan masa depan baru.
Tantangan Tak Terucap: Ego Lama, Zona Nyaman, dan Trauma Terselubung
Selama rebranding, banyak GM harus menghadapi sabotase pasif, baik dari tim internal yang enggan berubah, vendor yang kehilangan posisi tawar, hingga tamu langganan yang merasa “kehilangan rumah.” Jeffrey menyebut ini sebagai invisible resistance.
Solusinya?
Bukan konfrontasi. Tapi coaching rutin dengan pendekatan pribadi.
“Saya jadwalkan ngobrol satu-satu dengan department head. Tidak untuk briefing, tapi untuk mendengarkan. Karena perubahan tidak bisa dipaksakan—ia butuh kesediaan, bukan sekadar perintah.”
Dari Kepemimpinan Menuju Keteladanan
Jeffrey menekankan bahwa GM dalam rebranding bukan hanya pemimpin organisasi, tapi juga simbol kepercayaan.
Ia harus bisa berjalan di depan sebagai role model, hadir di tengah saat tim butuh sandaran, dan diam di belakang ketika mereka siap bersinar sendiri.
Salah satu prinsipnya yang populer di kalangan staf adalah:
“Jangan memperbaiki hotel. Perbaiki orang-orangnya. Mereka yang akan memperbaiki hotel.”
Refleksi untuk GM dan Calon GM: Apakah Anda Siap Rebranding?
Dalam dunia yang makin cepat berubah, hotel-hotel akan semakin sering melakukan transformasi merek, identitas, dan sistem kerja. Maka, GM rebranding bukan lagi posisi eksklusif, tapi realita umum di era disrupsi dan adaptasi.
Berikut tips transformasional dari Jeffrey Wibisono V.:
-
Audit mental tim Anda sebelum audit finansial.
-
Perbaiki kepercayaan sebelum perbaiki profit.
-
Bangun narasi baru, tapi akui warisan lama.
-
Kendalikan mood hotel, bukan hanya operasionalnya.
-
Jadilah lentera, bukan peluit.
Dari Kisah Menjadi Kearifan
Pengalaman Jeffrey tidak hanya menjadi contoh keberhasilan teknis dalam rebranding, tapi juga metafora untuk kehidupan profesional itu sendiri. Bahwa memimpin tidak selalu tentang menciptakan hal baru, tapi tentang menghidupkan kembali sesuatu yang nyaris padam.
Dalam dunia perhotelan yang makin kompetitif, kisah ini menjadi inspirasi, bukan hanya bagi para GM, tapi juga para pelaku industri yang ingin menyeimbangkan antara profesionalisme dan nilai-nilai spiritual kepemimpinan.
“Kalau kamu hanya ingin memulai yang baru, kamu butuh rencana. Tapi kalau kamu ingin menghidupkan kembali sesuatu, kamu butuh hati.” – Jeffrey Wibisono V.
Jember, 26 May 2025