Matahari dari Timur
“Kadang bukan hidup yang menyakitimu, tapi cara pandangmu yang terlalu sempit untuk memahami maknanya.”
Ketika Perubahan Tak Kunjung Datang
Di sebuah desa yang terletak di lereng timur Pegunungan Argopuro, hiduplah seorang pemuda bernama Arya Wiramenggala. Dalam legenda Menak Jawa, Arya dikenal sebagai ksatria muda yang bijak, namun kali ini ia hadir dalam tubuh seorang pria biasa di masa kini—seorang guru honorer yang hidupnya nyaris tak pernah berubah.
Setiap pagi, Arya menempuh perjalanan dua puluh lima kilometer dengan sepeda motor tua ke sekolah dasar tempat ia mengajar. Gaji minim, fasilitas terbatas, dan status sebagai guru kontrak yang tak kunjung diangkat menjadi ASN membuat semangatnya pelan-pelan keropos. Ia mulai mempertanyakan: Apakah pengabdian memang layak diperjuangkan, jika dunia tak pernah mengakui?
Namun suatu hari, hidupnya berubah. Bukan karena gajinya naik, atau karena panggilan CPNS. Tapi karena satu kejadian kecil—dan cara dia memandangnya.
Perjumpaan Takdir di Warung Kopi
Malam itu hujan turun deras. Arya mampir ke warung kopi sederhana di pinggir jalan. Di sana, ia bertemu dengan lelaki tua berpakaian lusuh namun bermata tajam. Namanya Ki Patra Reksonegoro, mantan dosen filsafat yang kini hidup sederhana di pengasingan.
“Kau terlihat lelah, Nak,” ucap Ki Patra sambil menyeruput kopi tubruknya. Arya hanya tersenyum getir.
“Saya hanya sedang berusaha mengerti hidup ini, Pak,” jawab Arya.
Ki Patra tertawa kecil. “Hidup bukan untuk dimengerti. Tapi untuk dijalani. Kalau kau terlalu sibuk bertanya kenapa, kau lupa menikmati bagaimana.”
Malam itu mereka berbincang panjang. Tentang rasa cukup, tentang keikhlasan, dan tentang satu kutipan yang terus menempel di kepala Arya setelahnya:
“Jika kau tak bisa mengubah keadaan, maka ubahlah cara pandangmu terhadap keadaan itu.”
Dari Mengeluh ke Mengelus Dada
Esoknya, Arya kembali ke sekolah. Tapi kali ini, ia membawa pandangan baru. Ia tidak lagi melihat murid-muridnya sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk mengukir sejarah. Ia tidak lagi mengeluh tentang tembok kelas yang retak, tapi mulai mengajari murid-muridnya cara memperbaikinya bersama-sama.
Saat seorang murid, Intan, menangis karena dimarahi ibunya yang stres akibat ekonomi, Arya tidak menasihati dengan teori. Ia duduk, mendengarkan, dan berkata:
“Tidak semua luka harus dijelaskan. Tapi semua luka bisa diobati—kalau kita mau memandangnya sebagai proses, bukan hukuman.”
Perlahan, suasana sekolah berubah. Guru-guru lain yang semula pesimis mulai tergerak. Bahkan kepala sekolah, Pak Tumenggung Satriatama, mulai mengajukan proposal perbaikan sekolah yang sebelumnya tertunda.
Ujian Terbesar: Banjir dan Duka
Namun ujian datang. Awal tahun itu, desa mereka diterjang banjir bandang. Sekolah rusak parah, rumah Arya hanyut separuh. Ibunya sakit karena kedinginan. Bantuan lambat datang. Arya nyaris menyerah.
Di tengah lumpur dan reruntuhan, ia kembali teringat Ki Patra. Ia mencarinya, hanya untuk mendapati kabar bahwa lelaki tua itu telah meninggal dunia tiga hari sebelumnya karena serangan jantung.
Di meja kecil warung kopi itu, tersisa surat tulisan tangan.
“Nak Arya, hidup bukan tentang menghindari badai, tapi tentang menari di tengah hujan. Bila engkau membaca ini, maka ingatlah: Engkau adalah matahari dari timur. Tetaplah bersinar, walau mendung tak kunjung reda.”
Air mata Arya tumpah. Untuk pertama kalinya, ia tidak menolak luka. Ia memeluknya.
Bangkit dan Menjadi Pelita
Dari puing-puing sekolah, Arya memimpin perbaikan. Ia mengajak murid, guru, bahkan warga membangun kembali ruang kelas dari papan dan seng bekas. Ia membuat penggalangan dana daring. Media mulai meliput. Pemerintah akhirnya memperhatikan.
Namun bukan karena viral ia merasa menang, tapi karena ia bisa berkata dalam hatinya:
“Aku tidak mengubah dunia, tapi aku mengubah diriku. Dan itu cukup untuk membuat dunia sedikit lebih baik.”
Kini Arya masih tetap mengajar, masih dengan gaji minim. Tapi hatinya tak lagi sempit. Ia belajar bahwa kesedihan bukan musuh, melainkan jendela untuk melihat ke dalam.
Matahari dari Timur
Tahun-tahun berlalu. Arya Wiramenggala kini dikenal sebagai guru inspiratif. Ia tak pernah lupa mengajak murid-muridnya menulis jurnal harian. Bukan sekadar PR, tapi terapi jiwa.
Salah satu muridnya menulis:
_”Pak Arya mengajarkan kami bukan hanya membaca buku, tapi membaca hati kami sendiri.”
Pada sebuah seminar pendidikan, ia diundang menjadi pembicara. Di akhir sesi, ia mengutip kalimat lama:
“If you can’t change the situation, then change your perception to it. Remember, most of your stress comes from the way you respond, not the way life is.”
Ia lalu menambahkan:
“Karena kadang, cara terbaik untuk bertahan… adalah menerima dan merangkul. Bukan melawan.”
Dan tepuk tangan pun mengalun, bukan untuk prestasinya, tapi untuk hatinya yang tak lagi keras.
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
Jeffrey Wibisono V.
.
.
#CerpenIndonesia #KisahHaru #MotivasiHidup #MenakJawa #FilosofiJawa #PerubahanPersepsi #GuruInspiratif