Setetes yang Tak Pernah Absen
“Kita tak akan pernah tahu kekuatan sebuah tetesan air, sampai ia melubangi batu. Bukan karena derasnya, tapi karena ia tak pernah absen.”
Subuh dan Langkah yang Selalu Ada
Pukul 04.30. Sunyi masih menggantung di langit Jember. Kabut tipis membelai jalanan gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Di situlah langkah Ki Wiryam terdengar pertama kali, setiap hari. Suara sendalnya menyentuh tanah basah dengan ritme tetap, seperti detak jam tua yang masih setia berdetak.
Ki Wiryam, lelaki berusia lima puluh lima tahun, berjalan membawa dua termos air panas dan satu plastik besar berisi gelas-gelas bening. Di pundaknya, sebuah handuk kecil tergantung, menyerap peluh yang bahkan belum sempat muncul. Ia tidak sedang mengejar pelanggan, tidak sedang ingin viral. Ia hanya ingin hadir. Seperti biasa.
Warungnya tidak besar. Bahkan lebih tepat disebut sudut. Hanya satu meja panjang yang sudah mulai lapuk dan empat bangku plastik yang warnanya telah pudar. Di sana, setiap pagi, ia menyeduh kopi hitam dengan air mendidih, menyajikan tempe goreng hangat, dan menyambut pagi dengan diam yang penuh makna.
Dua Bulan yang Sepi dan Sabar
Dua bulan pertama, hampir tak ada yang datang. Kecuali Mpu Slamet, tukang parkir pasar yang lewat hanya untuk menyapa, lalu melanjutkan tugasnya. Tapi Ki Wiryam tetap datang. Ia menyapu lantai, menyusun bangku, menyeduh kopi, lalu duduk. Menunggu. Tanpa keluhan.
“Kenapa Eyang buka terus, padahal sepi?” tanya Raden Iqrit, seorang pemuda yang baru saja pulang dari merantau di Surabaya. Ia kebetulan lewat, heran melihat warung itu selalu buka.
Ki Wiryam tersenyum kecil. “Karena perubahan besar, datang dari yang kecil. Dan kecil itu harus hadir dulu, meski tak dilihat siapa-siapa.”
Raden Iqrit mengangguk setengah percaya. Ia membeli segelas kopi, duduk, dan menikmati pagi yang pelan. Untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa tidak terburu-buru.
Tetesan yang Mengundang Kehadiran
Hari berganti. Minggu berlalu. Bulan mengalun perlahan. Konsistensi Ki Wiryam seperti tetesan air di atas batu. Tak tampak hebat, tapi menembus hati banyak orang.
Pelanggan pertama datang bukan karena rasa kopinya yang luar biasa, tapi karena ingin numpang duduk. Lalu yang kedua, karena ingin ngobrol. Lalu yang ketiga, karena dengar cerita bahwa di pojokan pasar ada warung yang tak pernah tutup. Dan tanpa sadar, warung kecil itu jadi ruang pulang bagi banyak orang.
Hadir Meski Hujan Menggenang
Suatu hari, hujan deras mengguyur Jember sejak malam. Pagi itu, banjir kecil menggenangi pinggir gang. Tapi tepat pukul 04.30, pintu kayu warung terbuka. Ki Wiryam datang, seperti biasa. Celananya digulung sampai lutut. Ia membawa termos dan handuk kering.
Raden Iqrit melihat dari jendela rumahnya, lalu memutuskan datang. “Eyang tetap buka?”
“Hujan itu tugasnya langit. Hadir itu tugas saya,” jawab Ki Wiryam.
Hari itu tak ada yang datang. Tapi Ki Wiryam tetap menyeduh satu gelas kopi, untuk dirinya sendiri. Karena ia percaya, membiasakan diri untuk hadir adalah bagian dari ibadah.
Tamu Tak Biasa, Tawaran Tak Terduga
Lima bulan setelah warung itu berdiri, datanglah seorang pria berjas hitam. Ia duduk, memesan kopi, dan memperhatikan sekitar. Ki Wiryam menyajikan kopi tanpa banyak tanya. Seperti biasa.
Pria itu memperkenalkan diri sebagai Adipati Aryaseta, CEO sebuah perusahaan teh premium nasional. Ia sedang mencari figur asli Indonesia untuk dijadikan ikon dalam kampanye “Setia pada Rasa”.
“Saya mengamati Eyang selama tiga minggu. Saya melihat warung ini selalu buka. Saya datang pukul 5 pagi, hujan pun Eyang tetap hadir. Saya… ingin mengabadikan itu.”
Ki Wiryam diam sejenak. Lalu berkata, “Saya bukan siapa-siapa, Nak. Saya hanya orang yang berusaha jujur pada jam bangun saya.”
Aryaseta tersenyum. “Justru itu yang kami butuhkan. Bukan pencitraan. Tapi keteladanan.”
Viral Tapi Tetap Sama
Sejak saat itu, warung kecil Ki Wiryam didokumentasikan. Tanpa skenario. Tanpa set. Hanya kamera kecil yang diam-diam merekam aktivitas sehari-hari. Tayangan itu viral. Banyak orang yang tersentuh oleh kesederhanaan Ki Wiryam. Tapi ia tak berubah.
Ia tetap membuka warung pukul 04.30. Tetap menyeduh kopi dengan takaran yang sama. Tetap menyapu lantai dan menyiapkan bangku. Ia tetap percaya bahwa yang paling penting dalam hidup adalah satu hal:
Hadir.
Kepergian yang Meninggalkan Hadir
Sampai pada suatu pagi, pintu warung tidak terbuka. Orang-orang menunggu. Jam berlalu. Tapi tak ada suara sendal, tak ada aroma kopi. Hari itu, Ki Wiryam tak datang.
Sore harinya, kabar itu menyebar. Ki Wiryam wafat dalam tidurnya. Tenang. Seperti air yang berhenti menetes setelah tugasnya selesai.
Raden Iqrit, yang kini membuka warung sendiri, datang dan menangis diam-diam di depan meja tua itu.
Warisan Tanpa Sorak
Kini, warung itu diberi nama “Satu Tetes”. Di dindingnya, tergantung foto Ki Wiryam sedang menyeduh kopi. Di bawahnya tertulis:
“Kita tak perlu jadi hebat setiap hari. Tapi jangan pernah absen untuk hadir. Karena dunia berubah bukan oleh badai besar, tapi oleh tetesan kecil yang tak pernah lelah.”
Dan setiap pukul 04.30, pintu itu tetap terbuka.
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
.
.
#CerpenInspiratif #SatuTetesSetiapHari #MotivasiPagi #KonsistensiItuKunci #CeritaKehidupan #CerpenBlog #GayaTereLiye #WarungKopi #KisahHidup #KetekunanDalamDiam