Harga Diri yang Terlambat Disadari
“Kejenuhan itu sebentar, tapi penyesalan bisa sepanjang usia. Maka hargailah apa pun dalam hidupmu. Jangan hanya karena banyak yang memujamu, lalu kamu hidup seenaknya sendiri.”
.
Panggung Digital yang Meriah, Tapi Kosong
Malam itu, di sebuah kafe hits daerah Jakarta Selatan, suasananya ramai. Lampu-lampu temaram, live music, kopi kekinian, dan… ya, tentu saja: kamera. Semua berlomba tampil kece di story, update feed, dan upload TikTok.
Di pojok kafe itu, duduk seorang cowok bernama Rongga. Umur 29 tahun. Bukan orang sembarangan. Followers-nya sudah ratusan ribu. Dulu kontennya selalu viral. Ngomongin self-love, gaya hidup sehat, kerja sesuai passion, dan semua yang bikin kita bilang: “wah, keren ya hidupnya.”
Tapi malam itu, ada yang beda. Rongga cuma duduk sendiri. Pandangannya kosong. HP-nya nyala, tapi jarinya nggak geser apa-apa. Kopinya tinggal dingin.
“Ketika dunia memujamu, jangan lupa siapa yang menegurmu. Kadang cinta datang bukan dari mereka yang bertepuk tangan, tapi dari mereka yang mengingatkan diam-diam.”
Dulu Semuanya Terasa Mudah
Dua tahun lalu, Rongga bukan siapa-siapa. Anak rantau yang kerja kantoran di startup logistik. Tapi dia ngerasa: ini bukan hidup yang dia mau. Target kerja numpuk, gaji pas-pasan, hidup rasanya kayak hamster lari di roda.
Akhirnya dia resign. “Gue mau hidup sesuai passion!” katanya ke temen-temennya. Banyak yang ngatain nekat. Tapi dia cuek. Mulai bikin konten. Awalnya curhat sambil ngopi. Lalu makin serius. Beli mic, ring light, tripod. Bikin video motivasi dengan gaya khasnya: santai, tapi dalem.
Lama-lama viral. Brand mulai ngelirik. Undangan seminar datang. Orang-orang mulai manggil dia “Coach Gga”.
Tapi dari situ juga, Rongga mulai berubah.
“Kita boleh terkenal, boleh dikagumi. Tapi jangan sampai kehilangan harga diri hanya karena mabuk akan pujian.”
Pilihan yang Bikin Rumit
Suatu hari, brand minuman diet nawarin kerjasama gede. Fee-nya nggak main-main. Tapi produknya… jujur aja, kontroversial. Belum jelas izin BPOM-nya.
Rongga mikir keras. Tapi akhirnya dia terima. Toh, katanya cuma endorse. Tanggung jawab di produsen, bukan dia.
Eh, beberapa minggu kemudian, viral berita orang sakit gara-gara konsumsi produk itu. Komentar negatif langsung membanjiri akun Rongga. “Influencer sampah!” “Cuma peduli duit!”
Brand putus kontrak. Followers anjlok. Temen-temen sesama konten kreator ngejauh. Parahnya, keluarga pun ikut kecewa.
“Yang paling menyakitkan bukan dihina orang lain, tapi saat menyadari bahwa kejatuhan kita disebabkan oleh kesalahan sendiri.”
Sunyi yang Menyadarkan
Rongga menghilang. Dia pulang ke kampung halamannya di Salatiga. Nggak update apa-apa. HP-nya lebih sering mati. Akunnya dia nonaktifkan sementara.
Di sana, dia kembali jadi anak biasa. Bantuin bapaknya ngurus kebun. Ngantar ibunya ke pasar. Nggak ada kamera, nggak ada lighting. Cuma keringat dan ketulusan.
Setiap malam, dia duduk di serambi, merenung. Kadang nulis di buku kecil. Kadang cuma melamun. Tapi perlahan, dia mulai bisa bernapas lagi.
“Waktu bisa menyembuhkan luka, tapi tidak bisa menghapus penyesalan yang kamu ciptakan sendiri.”
Ketemu Sahabat Lama
Di satu sore hujan, Rongga ketemu Jaya, temen kuliah yang dulu sering ia remehkan. Jaya kerja di BUMN, hidupnya biasa aja. Tapi kelihatan stabil dan tenang.
“Lo ke mana aja, Gga?”
“Ngilang dulu, Jay. Lagi muak sama diri sendiri.”
Jaya nggak nge-judge. Malah ngajak ngobrol santai. Mereka duduk di warung kopi pinggir sawah, obrolin hidup.
“Gue nggak pernah iri sama lo,” kata Jaya, “Tapi waktu lo berubah, gue sedih. Kayak lo bukan lo yang dulu.”
Rongga diem. Mikir. Nggak bisa bantah.
“Berhati-hatilah saat kau jadi pusat perhatian. Karena yang paling banyak tertawa bersamamu, belum tentu bertahan saat kamu jatuh.”
Bangkit, Tapi Bukan Jadi Orang Lama
Pelan-pelan, Rongga balik ke media sosial. Tapi kali ini, dengan cara berbeda. Dia nggak lagi jual motivasi instan. Tapi cerita jujur soal kegagalannya, soal rasa malu, soal belajar dari nol.
Dia bilang:
- Pujian itu candu. Belajarlah mendengarkan kritik.
- Jangan hidup hanya buat nyenengin orang. Tapi juga jangan hidup seenaknya.
- Yang instan, biasanya nggak tahan lama.
- Lo nggak harus viral buat berarti. Cukup jadi orang yang nggak ngerugiin orang lain.
“Jangan tunggu tua untuk sadar bahwa integritas lebih berharga daripada popularitas.”
Kontennya sekarang nggak heboh. Tapi komentar-komentarnya lebih dalam. “Thank you udah jujur,” tulis seorang netizen. “Akhirnya ada juga influencer yang nggak sok sempurna.”
Lega dan Lurus Aja
Rongga tetap di Salatiga. Sesekali ke Jakarta kalau ada undangan. Tapi lebih sering bikin video dari rumah, dengan suara jangkrik dan pohon mangga di belakang.
Di salah satu podcast, dia bilang:
“Lo tahu nggak? Gue dulu ngerasa dunia butuh gue. Tapi sekarang gue sadar… yang paling penting itu bukan dunia tahu siapa kita, tapi kita tahu siapa diri kita.”
Di bio Instagram-nya, cuma ada satu kalimat:
“Urip iku mung mampir ngombe, tapi ojo nganti ninggalin rasa pait nang gelas wong liya.”
Dan dari situ, banyak orang belajar. Tentang diam. Tentang malu. Tentang bangkit.
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
.
.
Hashtags: #CerpenIndonesia #PituturJawa #SelfGrowth #HargaDiri #Penyesalan #CeritaMengharukan