Saat Semua Salah Bernama Istri
“Di balik foto keluarga sempurna yang kau lihat di media sosial, sering tersembunyi istri yang lelah menangis di kamar mandi dan suami yang lupa bagaimana cara pulang ke rumah.”
Foto yang Retak
Di feed Instagram, keluarga mereka seperti keluarga impian.
Lingga — pengusaha muda sukses, baru saja masuk dalam daftar 40 Under 40.
Lumpang — influencer lifestyle, mantan marketing manager yang kini memilih fokus di rumah.
Dua anak mereka — Kayan dan Lara — tampil manis dalam balutan baju seragam desainer.
Rumah mewah mereka di kawasan BSD sering jadi latar berbagai endorsement.
Namun, tak satu pun dari 250 ribu followers Lumpang tahu bahwa di balik foto-foto itu, ada retakan yang makin lebar.
Malam itu, seperti biasa, jam makan malam terlewatkan.
Lingga pulang larut, sisa aroma wine menempel di jasnya.
“Maaf, meeting dadakan,” katanya singkat, melempar tas ke sofa.
Lumpang menahan napas. Bukan soal jam pulang. Bukan soal meeting. Tapi tentang rasa yang perlahan hilang.
Saat Semua Salah Bernama Lumpang
Keesokan paginya, komentar baru masuk di postingannya.
“Wah, keluarga impian banget Mbak!”
“Pengen deh jadi kayak Mbak, anak-anaknya terurus, suami sukses, rumah cakep.”
Lumpang membaca sambil tersenyum getir.
Yang tak mereka tahu:
-
Anak-anak lebih sering ditemani pengasuh.
-
Ia makin sering merasa hampa di rumah mewah itu.
-
Suami yang dulu partner diskusi, kini lebih banyak sibuk sendiri.
Dan yang paling menusuk: di balik semua ini, dirinyalah yang selalu dianggap salah.
Anak mogok makan? “Ibu harusnya lebih sabar ngajarin.”
Anak tantrum? “Coba kalau ibu gak sibuk sama endorse-endorse itu.”
Rumah kurang rapi? “Katanya udah resign biar bisa fokus, kok begini?”
Suami stres? “Kamu jangan bikin suasana rumah makin gak enak dong.”
Dan saat akhirnya Lumpang sendiri yang burnout, kelelahan mengurus semuanya, komentar yang datang adalah:
“Lah, kamu aja gak bisa ngurus diri sendiri, gimana mau ngurus rumah?”
Cinta yang Bergeser
Dulu, saat masih jadi marketing manager di Jakarta, Lingga justru yang mendorongnya berhenti kerja.
“Supaya kita punya quality time, kamu fokus ke rumah ya. Aku support kok.”
Awalnya Lumpang percaya. Ia rela mundur. Tapi setelah resign, dunianya mengecil drastis.
Bukan hanya ruang fisik. Tapi ruang batin.
Lingga makin sibuk.
Di rumah, ia makin jarang bercengkerama.
Kalaupun ada, topiknya hanya seputar angka, aset, investasi.
“Kamu tuh beruntung lho, gak perlu pusing mikirin uang. Aku kerja keras, kamu tinggal nikmatin hidup,” ujar Lingga di suatu malam, saat Lumpang curhat soal rasa lelahnya.
Kalimat itu menusuk lebih dari apa pun.
Karena di balik rumah berlantai tiga itu, Lumpang merasa seperti orang asing yang menumpang hidup.
Suara yang Dipendam
Di grup arisan, Lumpang makin jarang bicara.
Di ruang-ruang pertemanan online, ia hanya jadi pengamat.
Tiap kali ingin mengeluh, muncul suara di kepalanya:
“Malu ah, udah enak hidupnya kok masih ngeluh.”
Padahal, setiap malam, ia menangis sendirian di kamar mandi.
Bukan hanya karena lelah fisik, tapi lelah mental — lelah merasa selalu jadi pihak yang salah.
Dan diam-diam, ia mulai membaca artikel-artikel tentang pernikahan toxic, tentang emotional neglect.
Ia baru sadar, yang ia alami bukan hal remeh.
Titik Balik
Sampai suatu hari, saat ulang tahun pernikahan ke-9, semua memuncak.
Lingga lupa. Pulang jam 2 pagi, mabuk.
Di meja, Lumpang sudah menyiapkan cake kecil — kini meleleh.
Anak-anak sudah tertidur.
Saat Lingga masuk, Lumpang hanya berkata lirih:
“Aku capek. Aku gak mau lagi jadi boneka di rumah ini. Aku istri, bukan bayangan di sudut ruangan.”
Lingga kaget. Untuk pertama kali, ia melihat mata istrinya penuh air mata — bukan sekadar marah, tapi lelah hingga ke tulang sumsum.
Seminggu setelah itu, atas desakan adik Lumpang, mereka mencoba konseling.
Mencari Ruang Baru
Di ruang konseling, kalimat ini menggema:
“Kalau suami miskin, istri dianggap beban. Saat suami kaya, istri dianggap menumpang. Maka, jangan ukur cinta dan harga diri lewat harta, tapi lewat penghargaan yang tak pernah lekang oleh waktu.”
Untuk pertama kali, Lingga terdiam lama.
Ia mulai mengakui bahwa selama ini, ia memang ikut culture yang memuja peran laki-laki sebagai breadwinner, tapi lupa bahwa pernikahan adalah soal partnership.
Proses itu panjang. Tidak instan. Banyak luka yang belum sembuh.
Namun, satu hal berubah:
Lingga mulai hadir.
Ia mulai berkata, “terima kasih,” bukan hanya “kamu harus.”
Dan Lumpang mulai belajar kembali mencintai dirinya sendiri — bukan sekadar sebagai istri atau ibu, tetapi sebagai individu yang berharga.
Pelan-pelan Pulih
Kini, di Instagram, feed mereka tetap cantik.
Tapi Lumpang lebih berani jujur.
“Pernikahan itu bukan cuma soal pesta dan rumah indah. Tapi tentang dua orang yang terus belajar saling menghargai. Aku masih belajar. Kami masih belajar.”
Di DM-nya, ratusan perempuan mengirim pesan:
“Mbak, aku juga ngalamin. Terima kasih udah mau cerita.”
Dan Lumpang sadar:
Di balik jutaan rumah indah, banyak istri yang menangis di kamar mandi.
Banyak perempuan yang dipersempit, disalahkan, dituntut untuk sempurna.
Pesannya sederhana:
“Kamu bukan robot. Kamu perempuan yang berhak bahagia. Berhak dihargai. Jangan diam. Jangan biarkan rasa bersalah yang bukan milikmu merenggut jiwamu.”
“Di dunia yang mengukur perempuan dari seberapa rapi rumahnya, seberapa bahagia suaminya, dan seberapa patuh anaknya — ingatlah, nilai dirimu jauh melampaui semua itu.”
.
.
.
Jember, 10 Juni 2025
#KisahIstriModern #PernikahanMapan #PerempuanDipersempit #KeluargaIdealRetak #BelajarMenghargai #KeadilanDalamRumahTangga