Lilin yang Tak Pernah Padam di Rumah Cantik yang Penuh Luka

“Bertambahnya usia bukan jaminan bertumbuhnya jiwa. Kadang tubuh menua, tetapi ego tetap berkuasa. Maka, siapa yang mampu melepaskan beban ego, dialah yang sungguh dewasa.”

 

Di usia hampir 70 tahun, Cantik bukan sekadar nama. Ia cantik luar dalam. Wajahnya berseri tanpa polesan berlebih, hatinya bening meski sering diremukkan keadaan. Ia aktif di pelayanan gereja, dikenal ramah, ringan tangan, dan selalu menjadi sumber penghiburan bagi banyak jemaat yang lebih muda. Seakan-akan, usia hanya bilangan — semangat hidupnya tetap menyala seperti lilin yang tak pernah padam.

Namun, di balik senyuman tulus dan langkah lincahnya, rumah tempat ia pulang adalah medan pengujian yang tak henti-henti. Tampan, suami yang dulu ia cintai sepenuh hati, kini menjadi bayang-bayang masa lalu yang membuat langkah Cantik sering terseok.

Rumah Tanpa Agenda

Dulu, Cantik jatuh cinta pada Tampan karena sosoknya yang hangat dan mudah bergaul. Tidak banyak yang tahu, Tampan putus sekolah di SMA. Namun berkat jaringan keluarganya, ia sempat bekerja di perusahaan swasta. Di awal pernikahan, mereka tampak harmonis — sampai Cantik mengetahui kebiasaan berjudi suaminya.

Kecewa? Tentu. Tapi Cantik berusaha bertahan, meyakinkan diri bahwa cinta dan doa bisa mengubah siapa saja. Namun justru setelah kehilangan pekerjaan tetap, Tampan memilih hidup tanpa arah. Tidak merasa bertanggung jawab, malas berusaha, dan lebih senang menghabiskan waktu di rumah milik Cantik, menuntut hak tanpa menjalankan kewajiban.

Mulutnya penuh sumpah serapah, terutama kepada Cantik. Ia tidak punya nyali menegur Ragil, adik bungsu Cantik yang sudah empat tahun tinggal menumpang, juga hidup tanpa agenda jelas. Ironis, dua pria dewasa dalam rumah yang sama-sama tak mau bertanggung jawab, dan saling membiarkan ketidakteraturan menjadi norma.

Nena dan Luka Tua yang Tak Sembuh

Di sudut rumah itu, ada sosok lain: Nena, ibu kandung Cantik. Usianya hampir 90 tahun. Masa mudanya diliputi trauma: keluarga terpecah saat penjajahan Jepang dan Belanda. Ia tumbuh tanpa ibu, diasuh nenek dalam kerasnya adat Jawa lama. Luka-luka batin yang tak pernah disembuhkan kini membuat Nena sangat demanding pada usia senjanya.

Ia ingin selalu diperhatikan, mudah tersinggung, sering memperkeruh suasana, terutama ketika terjadi gesekan dengan menantunya, Tampan. Pertengkaran kecil bisa membesar, dan di tengah badai itu, Cantik lagi-lagi menjadi penengah, penenang, penjaga harmoni.

“Orang tua itu keras kepala seperti remaja yang terjebak di usia 15,” gumam Cantik dalam hati, mengingat kutipan yang pernah ia baca. Benar adanya. Waktu fisik dan waktu jiwa memang tak selalu berjalan seiring.

Lilin yang Terus Menyala

Di tengah semua kekacauan itu, Cantik tetap berusaha menjadi lilin. Setiap pagi, ia memulai hari dengan doa dan membaca Kitab Suci. Setiap akhir pekan, ia tetap aktif di gereja, melayani tanpa pamrih. Banyak yang mengira hidupnya bahagia — padahal di balik itu, ia nyaris tidak punya tempat bercerita.

“Aku memilih menjadi baik, meski hidupku tidak selalu diperlakukan dengan baik,” begitu keyakinannya.

Ia tahu bahwa Tampan terjebak di fase ego — fase 1 dan 3 sekaligus. Masih ingin membuktikan diri meski usianya kian senja, dan terus merasa belum cukup. Nena terjebak di fase luka lama, mencari cinta yang tak kunjung utuh. Sementara Ragil, adiknya, seolah hidup dalam ruang hampa, enggan bertanggung jawab.

Cantik tahu: “Aku tak boleh larut di dalam energi mereka. Aku harus bertumbuh, meski sendiri.”

Jalan Menuju Kelegaan

Ada hari-hari di mana Cantik ingin menyerah. Tapi setiap kali hendak runtuh, ia mengingat kembali bahwa fase tua seharusnya adalah fase keemasan jiwa.

“Aku ingin mati dalam damai. Aku ingin pulang sebagai jiwa yang utuh, bukan jiwa yang tertahan oleh ego.”

Ia mulai lebih banyak memeluk keheningan, lebih sering ke kapel, duduk diam di depan altar, melepaskan segala ambisi duniawi.

Di rumah, ia belajar memaafkan masa lalu, termasuk suaminya yang tak kunjung berubah. Ia berhenti menuntut Ragil yang tak kunjung beranjak dewasa. Pada ibunya, ia pelan-pelan belajar untuk menerima luka lama yang tak ia bisa sembuhkan, hanya bisa ia dekapi dengan kasih.

Dan perlahan, Cantik merasa lebih ringan. Bukan karena dunia di sekelilingnya berubah, tapi karena hatinya belajar melepaskan.

Inspirasi Diam-diam

Tanpa disadari, perubahan batin Cantik mulai memancar ke luar. Di gereja, banyak anak muda kagum pada keteguhan hatinya. Di rumah, meski mulut Tampan masih kotor, intensitas pertengkaran mulai berkurang. Nena, meski tetap demanding, mulai merasa lebih damai ketika melihat putrinya begitu tenang. Bahkan Ragil, yang selama ini pasif, mulai pelan-pelan membantu pekerjaan rumah tanpa diminta.

Itulah kekuatan jiwa yang dewasa: bukan mengubah orang lain lewat paksaan, tetapi mengundang lewat keteladanan.

Menjadi Penjaga Api

Hari itu, dalam sebuah sharing pelayanan, Cantik mengutip satu kalimat:

“Jiwa yang matang adalah jiwa yang bisa pulang ke dalam dirinya sendiri, tanpa perlu dikagumi atau diakui siapa pun.”

Ia tersenyum. Kini, di usia hampir 70, ia sudah berhenti ingin membuktikan diri. Ia tidak lagi ingin mengubah suaminya, atau memaksa adiknya bertanggung jawab, atau berharap ibunya sembuh dari luka lama.

Ia hanya ingin menjadi penjaga api, menjadi lilin yang terus menyala — bukan untuk membakar, melainkan untuk menghangatkan.

Dan itu cukup.

 

“Ada jiwa yang tidak pernah dewasa karena takut membuka luka. Ada jiwa yang tetap menyala karena berani memaafkan masa lalu.”

.

.

.

Jember, 11 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

 

Leave a Reply