Di Balik Wajah yang Kita Tunjukkan
Cerita tentang Luka yang Tak Terucapkan, Kesepian yang Tak Terdengar, dan Keinginan Dihargai dalam Diam
“Setiap orang punya cerita yang tak kita tahu. Kadang di balik tawa ada air mata, di balik amarah ada luka yang lama menganga.”
Awal Sebuah Pertemuan
Namanya Alun.
Perempuan lajang, usia 29 tahun. Ia seorang freelancer di bidang desain grafis. Dari luar, hidup Alun tampak seperti mimpi yang diidamkan banyak orang—jadwal kerja fleksibel, klien yang datang dari berbagai kota besar, akun Instagram penuh foto kopi cantik dan kucing Persia berbulu putih yang manja.
Namun siapa sangka, di balik layar ponsel, hidup Alun sunyi.
Sungguh sunyi.
Ada malam-malam di mana ia berbicara sendiri di dalam pikiran.
“Kenapa semua ini terasa kosong ya?”
Ia sering berbicara tentang orang lain, mencoba memenuhi ruang kosong di hatinya. Mencari makna di sela rutinitas yang tampak glamor.
Di Antara Riuh Komunitas
Pada sebuah Sabtu sore, Alun menghadiri acara komunitas kreatif. Acara itu penuh warna. Banyak wajah-wajah baru. Musik jazz pelan mengalun di sudut ruangan.
Di tengah keramaian, ia bertemu seorang lelaki berusia awal 30-an bernama Jagir. Lelaki itu tampak berbeda. Tidak ikut dalam riuh tawa. Tidak terlalu dekat dengan lawan jenis. Ia memilih duduk di sudut, menyesap kopinya perlahan.
Mata mereka sempat beradu pandang. Hanya sebentar.
Saat sesi diskusi kelompok dimulai, tanpa sengaja mereka duduk bersebelahan.
“Aku suka pantai,” ujar Alun tiba-tiba, entah kenapa.
Jagir tersenyum samar.
“Aku suka gunung. Diam itu kadang lebih menyembuhkan daripada kata-kata.”
Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuat Alun tertegun.
Percakapan yang Membuka Luka
Pertemuan itu tak berakhir di situ. Entah bagaimana, setelah acara usai, mereka berjalan berdua menuju parkiran. Langit sudah gelap, angin malam terasa lembut.
“Aku suka pantai,” ulang Alun lirih. “Karena di sana aku bebas menangis. Ada kenangan yang tak bisa kulupakan.”
Jagir menatap lurus ke jalan. “Aku ke gunung… untuk menghindari kebisingan dunia. Dulu aku mudah marah. Sekarang aku memilih diam. Kalau aku bicara panjang lebar, mungkin aku malah sedang membohongi diriku sendiri.”
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah lama, Alun merasa didengar tanpa dihakimi.
Manusia dan Topeng yang Dipakai
Hari-hari berlalu. Alun dan Jagir mulai rutin bertemu, bukan dalam konteks pacaran. Hanya dua jiwa yang merasa nyaman dalam keheningan satu sama lain.
Suatu kali, di tengah acara komunitas, Alun berbisik pada Jagir.
“Lihat mereka. Ramai sekali bicara tentang orang lain.”
Jagir mengangguk pelan.
“Mereka mungkin kesepian.”
Alun terdiam. Ia tahu. Ia pun pernah melakukannya. Berbicara tentang orang lain agar tak merasa sepi.
Di balik wajah ramah yang sering ia kenakan, ada hati yang lelah.
Luka Lama yang Terkuak
Suatu sore, Alun dan Jagir duduk di warung kopi kecil pinggir kota.
“Aku dulu dekat sekali dengan seseorang,” ujar Alun pelan. “Dia meninggal tenggelam… di pantai itu.”
Jagir mendengarkan tanpa menyela.
“Sejak itu, setiap kali aku ke pantai, aku menangis. Bukan karena lemah. Tapi karena ada bagian dalam diriku yang belum selesai.”
Jagir menatap Alun.
“Kita semua punya pantai masing-masing. Tempat di mana kita membiarkan air mata jatuh tanpa malu.”
Kata-kata itu menusuk lembut ke hati Alun.
Memahami Orang Lain
Hari demi hari, Alun mulai belajar melihat orang lain dengan mata baru.
Teman yang banyak diam? Mungkin ia lelah secara psikologis.
Teman yang marah-marah di grup? Mungkin sedang terjebak dalam luka lama.
Teman yang bicara panjang berbelit-belit? Mungkin sedang berusaha menutupi kecemasan.
Jagir pernah berkata:
“Orang yang marah, sering punya sisi manipulatif. Tapi di balik itu, ada rasa tak berdaya yang tersembunyi.”
Alun mulai paham. Dunia ini bukan soal siapa yang benar atau salah. Tapi siapa yang mau belajar memahami.
“Kita semua pejuang dalam senyap. Jangan iri pada tawa orang lain, sebab kita tak tahu air mata yang pernah mereka telan.”
Refleksi di Pantai
Suatu malam, Alun memutuskan pergi ke pantai seorang diri. Di sana, ia menulis di jurnal:
“Aku suka pantai karena di sini aku diizinkan jujur. Aku tak perlu tersenyum palsu. Aku tak perlu bicara berbelit. Aku hanya perlu menjadi manusia biasa yang pernah terluka.”
Air mata jatuh. Kali ini tak ditahan.
Di kejauhan, ombak tetap bergulung, seolah berkata:
“Tak apa, manusia. Menangislah. Lalu bangkitlah lagi.”
Percakapan di Tengah Hujan
Beberapa hari kemudian, hujan deras mengguyur kota. Alun dan Jagir terjebak di sebuah kedai kecil.
Di sela bunyi rintik hujan, Alun berkata:
“Aku ingin belajar setia pada diriku sendiri. Bukan sekadar pada orang lain.”
Jagir menatap cangkir kopinya.
“Aku ingin belajar membuka hati. Tidak semua orang datang untuk melukai.”
Malam itu, keheningan di antara mereka terasa begitu hangat. Dua jiwa yang tak sempurna, namun saling menguatkan.
Melepas Topeng
Di sebuah pertemuan komunitas akhir tahun, Alun memandang sekeliling.
-
Mereka yang banyak bicara tentang orang lain, mungkin hanya butuh didengar.
-
Mereka yang suka pantai, mungkin sedang berdamai dengan kenangan.
-
Mereka yang suka gunung, mungkin sedang belajar berdamai dengan sunyi.
-
Mereka yang marah, mungkin tak tahu cara menyampaikan luka.
-
Mereka yang diam, mungkin lelah secara psikologis.
Di balik wajah yang ditunjukkan, semua orang membawa cerita masing-masing.
Penutup yang Menguatkan
Malam itu, Alun menulis di media sosial:
“Setiap orang menyimpan sesuatu yang tak kita tahu. Jangan cepat menilai. Lebih baik hadir, mendengar, dan memeluk dengan empati.”
Jagir membalas:
“Di dunia yang ramai, kita semua butuh tempat untuk diam dan dimengerti. Terima kasih sudah jadi teman perjalanan.”
Alun tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu—ia telah belajar satu hal penting:
Memahami lebih penting daripada sekadar tahu.
.
.
.
Jember, 11 Juni 2025
#CerpenInspiratif #CeritaKehidupan #SelfHealing #PsikologiManusia #PelajaranHidup #CerpenBlog #MotivasiDiri #BelajarMemahami