Strategi Sukses Jago di Masa Pensiun
Perihal Kopi, Kompas, dan Komitmen
“Jangan sibuk menciptakan solusi untuk masalah yang tidak ada. Dengarkan pelanggan. Di sanalah peluang yang sesungguhnya.”
— Jago
Senja jatuh lembut di Kota Solo.
Matahari yang tadinya benderang, kini meredup, memantulkan bias jingga ke dinding kaca sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan Slamet Riyadi.
Di sana duduk seorang pria paruh baya, rambutnya sudah dihiasi uban, wajahnya teduh, namun sorot matanya masih setajam dulu.
Dialah Jago—pemilik Jago Coffee, sebuah brand kopi Nusantara yang tengah naik daun, mewakili Indonesia di berbagai ajang internasional.
Di hadapannya, cangkir kopi hitam mengepulkan aroma hangat. Ia menyeruput pelan, matanya menerawang pada pengunjung-pengunjung muda yang asyik berdiskusi di pojok kedai.
“Siapa sangka, di usia pensiun, aku justru menapaki babak baru dalam hidup ini,” gumamnya dalam hati.
Si Jago
Jago, 68 tahun.
Seorang mantan manajer HRD di perusahaan tekstil besar.
Sepanjang kariernya, ia dikenal sebagai pribadi yang teratur, pendiam, teliti, dan yang paling penting—pendengar yang baik.
Ia tidak pernah punya ambisi menjadi pengusaha besar. Baginya, masa pensiun adalah masa untuk beristirahat.
Namun segalanya berubah saat ia memutuskan menghidupkan kembali kedai kopi warisan ayahnya—Asli Koffie—yang sudah lama tutup.
Rani, sang istri.
Wanita lembut dan sabar, support system utama Jago.
Pernah berkata,
“Pak, hidup bukan soal berhenti atau lanjut, tapi soal tetap memberi arti.”
Bayu, mahasiswa 23 tahun, pelanggan muda.
Sosok yang tanpa sadar membuka mata Jago tentang esensi bisnis kopi masa kini.
Di kemudian hari, Bayu menjadi teman diskusi yang berarti.
Kebimbangan
Tahun pertama pensiun, Jago dilanda kegelisahan.
Setelah puluhan tahun bekerja teratur, kini ia merasa kosong. Hari-hari terasa panjang, tak ada rutinitas, tak ada target.
Suatu sore, ia berdiri di depan kedai tua Asli Koffie milik almarhum ayahnya.
Debu tebal menyelimuti etalase kaca. Dindingnya kusam. Di sana tertulis samar: Sejak 1949.
“Apakah aku masih bisa menghidupkannya?”
Rani menggenggam tangannya,
“Cobalah, Pak. Tidak usah muluk-muluk. Lakukan dengan hati.”
Dengan penuh semangat, Jago merenovasi kedai.
Namun di sinilah kesalahan besar terjadi.
Ia terlalu banyak meniru tren kedai modern.
Ia membeli peralatan mahal, mengundang live music, mendesain interior industrial ala kafe-kafe kekinian.
Biaya renovasi membengkak.
Namun apa yang terjadi?
Pelanggan lama kabur.
Pelanggan muda datang, tapi hanya sebentar. Mereka bilang,
“Tempatnya sih oke, Pak. Tapi rasa kopinya… biasa saja.”
Di satu malam yang sepi, Jago termenung. Kedai nyaris kosong.
Ia bahkan sempat terpikir menutup kembali kedai itu.
Saat itulah Bayu datang, duduk di depan bar.
“Pak Jago, boleh bicara jujur?”
“Tentu.”
“Dulu saya suka ke sini karena rasa kopinya beda, karena Bapak suka cerita tentang kopinya. Sekarang semua malah kayak kafe lain. Kalau cuma soal tempat keren, di mall banyak, Pak.”
Ucapan itu menusuk hati Jago.
Ia tersadar:
“Aku lupa. Aku sibuk menciptakan sesuatu yang tidak mereka butuhkan.”
Breakthrough
Keesokan harinya, Jago memutuskan berbalik arah.
Ia kembali ke prinsip dasar yang diajarkan almarhum ayahnya:
“Dengarkan pelanggan. Bukan menebak kebutuhan mereka. Dengarkan.”
Ia mulai berkomunikasi langsung dengan pelanggan.
Ia bertanya:
“Apa yang kamu cari di kopi?”
“Apa yang membuatmu datang ke sini?”
Dari situ, ia menyusun ulang strategi:
-
Kualitas dari hulu ke hilir
Ia bekerja sama langsung dengan petani kopi di Gayo, Toraja, dan Bali.
Ia sendiri datang ke kebun, memastikan proses panen dan pengolahan sesuai standar. -
Roasting premium
Ia membeli mesin Probat, dan belajar sendiri teknik roasting yang tepat. -
Kopi dengan cerita
Setiap menu diberi kisah: tentang asal bijinya, tentang petani yang memanennya, tentang proses di balik rasa yang mereka seruput. -
Ruang diskusi
Ia membuat sudut khusus di kedai: tanpa musik keras, tanpa hiasan berlebihan.
Tempat di mana orang bisa berdiskusi, belajar, dan menikmati kopi dengan tenang.
“Jangan berlomba siapa yang paling murah. Berlombalah siapa yang paling bermakna di hati pelanggan.” — Jago
Perkembangan
Perlahan, pengunjung kembali berdatangan.
Bukan sekadar untuk nongkrong, tapi untuk mencari pengalaman otentik.
Bayu bahkan mengajak teman-temannya ke sana.
Media lokal mulai meliput Jago Coffee sebagai kedai kopi berjiwa.
Pelanggan lama kembali, merasa “rumah” mereka telah hadir lagi.
Pelanggan muda datang, karena penasaran dengan cerita di balik secangkir kopi.
Peluang Sesungguhnya
Dua tahun berlalu.
Kini, Jago Coffee telah memiliki 15 cabang di berbagai kota besar.
Kopi mereka dipamerkan di ajang internasional di Singapura, Dubai, dan Berlin.
Jago kini sering diundang untuk berbicara di seminar bisnis.
Ia selalu membagikan satu pesan sederhana:
“Banyak pebisnis muda gagal karena mencoba menciptakan solusi untuk masalah yang tidak ada. Dengarkan pelanggan. Di situlah peluang sesungguhnya.”
Suatu sore, di kedai pusat, Jago kembali duduk di sudut favoritnya.
Ia menatap Bayu yang kini membawa adik dan teman-temannya.
Bayu menghampirinya.
“Pak, Bapak ngajarin saya bahwa bisnis itu bukan soal siapa yang cepat, tapi siapa yang tulus.”
Jago tersenyum hangat.
“Kopi terbaik memang berasal dari kebun terbaik. Tapi kedai terbaik, berasal dari hati yang mau mendengar.”
Di luar, langit kembali merona jingga.
Hidup di masa pensiun, bagi Jago, ternyata justru menjadi babak paling bermakna dalam hidupnya.
“Strategi sukses bukan soal berapa besar modalmu, tapi seberapa besar telingamu mau mendengar, hatimu mau belajar, dan langkahmu mau bertahan.”
— Jago
.
.
.
Jember, 12 Juni 2025
#StrategiSuksesPensiun #BisnisKopi #CeritaInspiratif #Entrepreneurship #JagoCoffee #DifferentWhy #BrandBuilding #PebisnisMuda #KopiNusantara #CeritaBisnis