Langkah Ayunda Episode 2: Satu Rumah, Dua Dunia
“Kadang yang paling menyakitkan bukan karena ditinggalkan… tapi karena tetap tinggal, tapi tak dianggap.” — Ayunda, dalam sunyi yang tak pernah reda
.
.
Meja makan di rumah Ayunda tak pernah benar-benar kosong. Selalu ada nasi hangat, lauk sederhana, dan buah potong untuk anak-anak. Tapi kursi di hadapan Ayunda… sudah lama kosong. Ditinggalkan oleh suami yang dulu mengisi rumah ini dengan tawa—yang kini lebih sering mengisi ruang dengan dingin, sunyi, dan tatapan tajam.
Pagi itu, Ayunda menyuguhkan teh hangat. Suaminya hanya menatap tanpa bicara, lalu duduk sambil menggulir ponsel.
“Selamat pagi,” sapa Ayunda, lirih.
Tak ada jawaban. Hanya denting sendok pada gelas yang menjawabnya.
Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada pertengkaran. Karena Ayunda tahu: suaminya masih di rumah, tapi jiwanya sudah pergi entah ke mana.
Pria yang Dulu dan yang Sekarang
Nama suaminya Reza. Dulu ia lucu, rajin salat, suka menggoda Ayunda dengan puisi-puisi receh. Tapi sejak kena PHK dan gagal bisnis, Reza berubah. Ia mudah marah, kehilangan gairah, dan mulai menyalahkan Ayunda atas segalanya.
“Kalau kamu dulu kerja kantoran, mungkin aku nggak perlu mikir semuanya sendirian!”
Itu salah satu kalimat yang masih mengendap di kepala Ayunda. Padahal saat Reza jatuh, Ayunda yang menanggung semuanya. Bahkan kebutuhan rumah mereka terpenuhi dari hasil les privat dan blog parenting kecil yang Ayunda jalankan dengan susah payah.
Namun sejak saat itu, Reza seperti musuh di rumah sendiri.
Tatap Muka yang Tak Pernah Menyentuh
Sore itu, saat anak-anak tidur siang, Ayunda memberanikan diri membuka percakapan yang tertunda selama bertahun-tahun.
“Kita bisa bicara, Reza?”
Laki-laki itu menoleh. Kali ini menatap. Tapi bukan dengan kasih. Melainkan… curiga.
“Bicara apa lagi? Hidup udah cukup ribet tanpa perlu drama.”
Ayunda menahan napas. Ia belajar dari psikolognya untuk tetap tenang. Ia tidak menyerang. Ia hanya ingin didengar.
“Aku capek, Za. Bukan karena kamu nggak punya uang, bukan. Tapi karena kita ini serumah, tapi serasa orang asing.”
Tatapan Reza berubah tajam.
“Kamu kurang apa, sih? Masih bisa makan, masih tinggal di rumah ini, anak-anak sekolah. Kamu tuh terlalu banyak nuntut!”
Ayunda menggigit bibirnya. Ia bisa saja membalas. Tapi yang ia cari bukan pertengkaran. Yang ia cari… adalah jawaban. Atau setidaknya, pengakuan.
Namun percuma. Reza berdiri, membanting gelas, dan pergi keluar rumah tanpa sepatah kata.
Satu Dunia yang Patah Dua
Malamnya, Ayunda menulis dalam notes-nya:
“Aku tidak marah, aku hanya tidak paham… bagaimana mungkin seseorang bisa tidur nyenyak di samping orang yang hatinya penuh luka, dan tak pernah bertanya: kamu baik-baik saja?”
Ia merasa seperti tinggal di dunia yang berbeda. Reza hidup dalam dunianya yang penuh ketidakpuasan. Ayunda hidup dalam dunia bertahan—untuk anak, untuk kewarasan, dan untuk harga diri terakhir yang tersisa.
Dan yang paling menyakitkan? Dunia itu tadinya dibangun bersama.
Ayunda Tidak Akan Bertengkar Lagi
Esoknya, Reza pulang larut malam. Ayunda masih bangun. Tapi kali ini tidak menyambut, tidak bertanya, tidak menyiapkan makanan.
Ia hanya duduk membaca buku di meja belajar.
Ketika Reza lewat, mereka bertatapan. Tak ada senyum. Tapi juga tidak ada ketakutan.
Dan untuk pertama kalinya, Ayunda sadar:
ia tidak perlu menang dalam pertengkaran… ia hanya perlu tidak kalah dari dirinya sendiri.
Akhir Episode
Anak-anak datang memeluk Ayunda keesokan harinya.
“Mama hebat,” kata Aliya tiba-tiba.
Ayunda mengerutkan dahi, bingung. “Kenapa kamu bilang begitu?”
Aliya menjawab dengan polos, “Karena Mama tetap sayang walau nggak disayang.”
Air mata Ayunda jatuh. Tapi kali ini… bukan karena sakit. Tapi karena ia tahu, meski hidup bersama lelaki yang salah, ia tidak kehilangan arah. Karena ia masih punya alasan untuk bangkit: anak-anaknya.
.
.
Baca Episode 3: Di Balik Cermin Konseling
.
.
.
Jember, 25 Juni 2025
.
.
#CerpenEmosional #LangkahAyunda #SatuRumahDuaDunia #PerempuanKuat #KonflikPernikahan #CeritaIstriTegar