Langkah Ayunda Episode 3: Di Balik Cermin Konseling
“Perempuan sering kali terlalu sibuk menyelamatkan semua orang… sampai lupa menyelamatkan dirinya sendiri.”
— Catatan harian Ayunda, setelah sesi konseling keempat
.
.
Ayunda menatap pantulan wajahnya di cermin toilet ruang konseling. Wajah itu tampak lelah, tapi tidak kalah. Matanya menyimpan gelombang panjang yang tak pernah sempat reda, namun pagi itu ia memilih datang ke ruang yang tak dihakimi.
Ruangan kecil itu wangi lavender. Di atas meja, tisu diletakkan berdampingan dengan camilan dan teh hangat. Di depannya duduk seorang perempuan paruh baya dengan mata teduh—Bu Tania, psikolog yang sudah tiga kali menemaninya berbicara.
“Silakan dilanjutkan, Bu Ayunda…” suara Bu Tania lembut, seperti tangan yang menyentuh luka tanpa menyakiti.
Ayunda menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita.
Anak Perempuan yang Selalu Kuat
“Aku anak pertama, Bu. Sejak kecil sudah harus ngerti. Harus bantu jaga adik, bantu ibu jualan. Aku nggak pernah boleh nangis.”
Kata-kata itu meluncur seperti air bah. Ayunda membuka luka lama yang sudah bertahun-tahun ia bungkus dengan senyum.
“Aku nikah karena ingin merasa aman. Tapi ternyata… aman itu bukan dari status. Aman itu dari perlakuan yang benar.”
Bu Tania mengangguk, mencatat. Ia tahu, luka terdalam Ayunda bukan hanya soal suaminya. Tapi soal kebutuhan akan validasi dan cinta yang tak pernah tuntas sejak kecil.
“Aku dulu kira jadi istri itu harus selalu sabar. Harus tahan. Harus bisa ngertiin. Tapi kenapa nggak pernah ada yang ngajarin cara menjaga diri sendiri?”
— Ayunda, sesi ketiga
Takut Meninggalkan, Takut Kehilangan Diri
“Apa yang Ibu takutkan jika meninggalkan pernikahan ini?” tanya Bu Tania.
Ayunda diam cukup lama sebelum menjawab, “Bukan takut ditinggal… tapi takut jadi orang yang gagal.”
Tiba-tiba suaranya lirih. “Takut anak-anak kehilangan ayah. Takut aku kehilangan harga diri. Takut dianggap nggak bisa jaga rumah tangga.”
Bu Tania menatapnya dalam-dalam. “Jadi Ibu memilih bertahan… meski sakit?”
Ayunda menatap tangannya sendiri. “Aku bertahan karena belum siap melepaskan. Tapi sekarang aku mulai menyiapkan perisai.”
Dari Bertahan Menjadi Menyiapkan Jalan
Setelah beberapa sesi, Ayunda mulai membangun rutinitas kecil:
-
Menulis afirmasi tiap pagi: “Aku layak dicintai dengan sehat. Aku pantas bahagia.”
-
Menyusun budget mandiri, mengelola pendapatan les privat.
-
Memulai podcast kecil tentang “Ibu Waras” — cerita healing dari perempuan untuk perempuan.
-
Membuat jadwal “me time” tanpa merasa bersalah.
Ia tidak mengancam akan meninggalkan Reza. Ia juga tidak membenci ayah dari anak-anaknya. Tapi kini, Ayunda memilih tidak kehilangan dirinya sendiri hanya karena ingin mempertahankan sesuatu yang sudah lama tidak utuh.
“Ternyata tidak semua perpisahan butuh langkah pergi. Kadang cukup dengan berhenti berharap dan mulai berdiri lebih tegak.”
— Dari salah satu episode podcast-nya
Kebenaran Tanpa Kebencian
Suatu sore, Aliya bertanya sambil menggambar di dekat meja kerja Ayunda.
“Mama, kenapa Papa nggak suka ngobrol kayak dulu?”
Ayunda tersenyum, menatap lembut.
“Karena Papa juga manusia, sayang. Kadang orang dewasa capek, tapi lupa cara cerita.”
Aliya mengangguk. Lalu bertanya lagi, “Mama sedih nggak?”
“Sedih, iya. Tapi Mama belajar… sedih itu bukan akhir. Sedih itu tanda Mama masih hidup, dan masih bisa berubah.”
Anak kecil itu mengangguk sambil memeluk ibunya. Di pelukan itu, Ayunda merasa cukup.
Cermin yang Tak Lagi Retak
Pulang dari sesi konseling keempat, Ayunda kembali menatap cermin. Kali ini, ia tidak lagi merasa asing. Ia tersenyum pada pantulan dirinya sendiri.
“Aku bukan korban,” katanya pelan. “Aku perempuan yang memilih untuk sembuh.”
.
.
Baca Episode 4: Ayunda dan Aliya, Belajar Bahagia Lagi
.
.
.
Jember, 26 Juni 2025
Jeffrey Wibisono V.
.
.
#CerpenHealing #LangkahAyunda #CerminKonseling #PerempuanSembuh #MentalWaras #CeritaIstriTegar