Langkah Ayunda Episode 1: Rumah Tanpa Pintu
“Ada luka yang tidak bisa diobati dengan pelukan. Ada kelelahan yang tidak bisa dihapus dengan janji. Dan ada perempuan yang memilih waras… bukan karena ia lemah, tapi karena ia kuat.” — Ayunda, 38 tahun
Ayunda yang Lembut Sekaligus Kuat
Ayunda bukan perempuan yang cerewet. Ia tidak pandai berkata kasar. Bahkan ketika hatinya tercabik oleh kata-kata suaminya yang dingin seperti batu es, ia tetap diam. Tapi dari matanya, kau bisa tahu: perempuan itu menyimpan hujan badai dalam dadanya.
Di balik tenangnya, Ayunda menyimpan ribuan ombak. Ia adalah istri dari seorang lelaki yang dulu begitu manis—sebelum berubah menjadi makhluk asing setelah tahun ketiga pernikahan.
Kini usia pernikahan mereka masuk tahun ke-12. Seharusnya sudah matang. Tapi yang matang hanyalah Ayunda. Bukan rumah tangganya.
“Laki-laki akan terlihat sifat aslinya setelah menikah, sedangkan perempuan akan terlihat nasibnya setelah menikah…”
— Dari sepotong status Facebook yang ia baca diam-diam, di malam yang sepi.
Mati Rasa adalah Level Tertinggi
Ayunda kini tak lagi peduli jika suaminya pulang larut tanpa kabar. Tidak lagi menangis jika dibentak di depan anak-anak. Tidak lagi merayu jika diberi tatapan sinis.
Ia… sudah mati rasa.
Mereka tak lagi bertengkar hebat seperti dulu. Bukan karena sudah damai, tapi karena sudah tidak ada lagi harapan. Mereka hanya sekadar serumah. Tidak satu rasa, tidak satu cerita.
Ia tak peduli apakah suaminya membawa nafkah atau tidak. Apakah hari itu gaji turun atau hilang di meja judi. Ayunda hanya peduli satu hal: anak-anaknya.
“Mama, kok Papa nggak ikut makan?” tanya si bungsu, Aliya, 6 tahun.
“Papa capek kerja, sayang,” jawab Ayunda dengan senyum tipis.
Padahal, ia tahu suaminya sedang menonton sinetron di kamar sambil memaki-maki isi grup WhatsApp.
“Level tertinggi dari pernikahan adalah ketika istri tidak lagi menangis saat didiamkan suaminya. Ia sudah terlalu lelah. Ia tidak lagi berharap—ia hanya bertahan agar tidak gila.”
— Catatan harian Ayunda, ditulis di Notes HP-nya
Pilihan Tanpa Pilihan
Keluarga besar Ayunda tidak tahu apa-apa. Mereka pikir hidupnya sempurna. Ayunda terlalu malu untuk mengaku bahwa suaminya berselingkuh dua tahun lalu dan terus melanjutkan kebiasaan itu seperti rutinitas rokok pagi.
Ia punya pekerjaan paruh waktu sebagai guru privat. Uangnya cukup untuk makan dan membelikan buku-buku anaknya. Tapi untuk membayar rumah, listrik, dan biaya sekolah—ia masih bergantung pada suaminya.
Meninggalkan? Bukannya tidak bisa. Tapi ia takut. Takut anak-anak kehilangan figur ayah. Takut dicap durhaka. Takut tidak kuat berdiri sendiri.
Tapi… bertahan? Juga menyakitkan.
Setiap malam, Ayunda berbicara sendiri di kamar mandi. Kadang ia menangis hingga pundaknya terguncang. Tapi begitu keluar, ia tersenyum dan berkata, “Ayo, sikat gigi ya…”
Itulah level tertinggi keberanian seorang perempuan: memilih waras demi anak-anak.
“Mau dinafkahi syukur. Nggak juga, nggak perlu ngemis-ngemis. Sebab seorang ibu memilih waras, demi menjaga anak-anak ketimbang jadi gila.”
— Tulisan anonim yang ia print dan tempel di belakang pintu kamar.
Pertemuan di Balik Meja Konseling
Ayunda akhirnya mendaftar ke sesi konseling gratis di balai kota. Di sana ia bertemu dengan bu Tania, psikolog senior yang berkata pelan:
“Bu Ayunda, kadang bertahan itu bentuk cinta… tapi kepada siapa? Anak-anak? Diri sendiri? Atau justru trauma?”
Ayunda tak menjawab. Tapi malam itu, ia menangis dengan cara yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Tangis yang melegakan.
Semenjak itu, Ayunda pelan-pelan mulai menyusun langkah. Ia tidak meninggalkan rumah—tapi membangun pintunya sendiri. Ia menyulap kamar belakang jadi ruang kerja dan bimbingan belajar. Ia menulis blog parenting. Ia menabung diam-diam.
Dan ia mulai berkata “tidak” jika suaminya mulai melempar cercaan. Bukan dengan teriakan. Tapi dengan diam yang berani. Dan pandangan mata yang tegak.
“Perempuan bisa sembuh, bukan karena dunia berubah jadi lebih baik. Tapi karena ia akhirnya mencintai dirinya sendiri lebih dulu.”
— Dari diary online yang dibacanya tengah malam.
Rumah Tanpa Pintu
Kini Ayunda berusia 38 tahun. Anak-anaknya tumbuh dengan baik. Dan meskipun pernikahannya masih berdiri, hatinya sudah tidak lagi menetap di dalamnya.
Ia bukan perempuan lemah. Ia bukan korban.
Ia adalah perempuan yang memilih hidup di rumah tanpa pintu—karena ia tahu: tidak semua rumah harus ditinggalkan untuk bisa diselamatkan.
Sebagian perempuan memilih untuk tetap tinggal, bukan karena takut pergi… tapi karena ingin membuktikan bahwa ia bisa bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Di sebuah malam, saat ia duduk di beranda, anaknya mendekat dan berkata:
“Mama kuat banget ya?”
Ayunda tersenyum dan menjawab,
“Mama nggak kuat… Mama cuma nggak punya pilihan selain tetap waras.”
Dan dari situ, ia tahu: ia sudah menang. Bukan melawan suaminya. Tapi melawan versi dirinya yang hampir menyerah.
📝 Epilog
“Rumah Tanpa Pintu” adalah kisah ratusan ribu perempuan yang tidak muncul di berita. Mereka tidak viral. Tidak minta simpati. Tapi mereka ada, bertahan, dan mengukir keberanian dari sunyi yang tak pernah dimengerti siapa pun.
“Perempuan yang memilih waras, bukan menyerah; yang bertahan bukan karena cinta, tapi karena anak.”
.
Baca Episode 2: Satu Rumah, Dua Dunia
.
.
Jember, 24 Juni 2025
Jeffrey Wibisono V.
.
.
#CerpenPerempuan #RumahTanpaPintu #MentalWaras #IbuKuat #PerempuanBertahan #EmosionalStory #CerpenBlog