Telingamu adalah Rahimmu: Mendengarkan Sebagai Tindakan Mencipta

“Your ear is a womb. What you listen to will eventually be conceived and born into your reality. Choose carefully what you listen to.”

Begitu dalam dan menggugah quote tersebut. Ia bukan sekadar metafora, melainkan sebuah filsafat hidup. Telinga—yang sering kali kita abaikan sebagai indra pasif—dalam kenyataannya adalah rahim spiritual. Ia menerima benih informasi, menumbuhkannya dalam batin, dan kelak akan melahirkan tindakan, sikap, bahkan nasib. Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, di mana komunikasi, kepekaan, dan persepsi menjadi kunci, pemahaman ini layak direnungkan dan diterapkan secara serius.

Pitutur Luhur: Apa yang Kau Dengar, Akan Menjadi Siapa Dirimu

Orang Jawa dulu berkata, “Wong kang bisa ngrungu, bakal bisa ngrasake. Wong kang bisa ngrasake, bakal bisa ngerti.” Artinya, seseorang yang mampu mendengar dengan sungguh-sungguh, akan mampu merasakan. Dan yang mampu merasakan, akan mencapai pemahaman yang dalam. Mendengarkan bukanlah kegiatan pasif. Ia adalah seni, ia adalah bentuk perhatian, dan ia adalah tindakan awal dalam proses penciptaan realitas.

Dalam industri layanan, seorang hotelier sejati tidak hanya menjawab permintaan tamu—ia mendengarkan, menangkap yang tersirat, dan merespons dengan empati. Mendengar bukan sekadar mendengar kata-kata, tetapi memahami konteks, perasaan, dan harapan yang tersembunyi di balik suara.

Ketika Telinga Menjadi Rahim

Konsep bahwa telinga adalah rahim mengandung makna transformasional. Rahim adalah tempat kehidupan dimulai, dan dalam konteks mendengarkan, apa yang masuk ke dalam telinga kita akan tumbuh menjadi keyakinan, sikap, bahkan kebiasaan.

Bayangkan seorang pekerja pariwisata yang setiap hari terpapar keluhan, gosip, atau kata-kata kasar. Bila ia tidak memiliki filter batin, benih-benih negatif itu bisa tertanam dalam hatinya. Sebaliknya, bila ia memilih mendengar kata-kata motivatif, petuah bijak, dan apresiasi, maka benih itu akan tumbuh menjadi pelayanan yang penuh cinta.

Tips Praktis: Filter Telingamu

  1. Kurasi Konten Harianmu: Pilih podcast, audiobook, atau musik yang membangun semangat dan kejernihan.
  2. Jangan Biarkan Toxic Talk Menetap: Dengarkan dengan netral, lalu lepaskan. Jangan menyimpan energi negatif dari obrolan yang tidak bergizi.
  3. Latih Inner Ear: Dengarkan bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati dan pikiran. Apa maksud sesungguhnya di balik kata-kata orang lain?

Telingamu Adalah Rahimmu: Mendengarkan Sebagai Tindakan Mencipta

Filosofi Global: Mendengar untuk Tumbuh

Dalam budaya global, banyak kutipan besar yang menekankan pentingnya mendengar:

  • “Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply.” – Stephen R. Covey
  • “Wisdom is the reward you get for a lifetime of listening when you would rather have talked.” – Doug Larson

Dalam konteks hospitality, mendengarkan dengan niat untuk memahami adalah bentuk pelayanan tertinggi. Seorang tamu merasa dihargai bukan karena diberi upgrade kamar, tapi karena suaranya didengar dan dimaknai.

Remedi untuk Industri: Mendengar Sebagai Revolusi Pelayanan

Saat industri ini sibuk dengan tren digital, otomatisasi, dan inovasi teknologi, kita kadang lupa bahwa akar dari semua layanan adalah hubungan manusia. Dan semua hubungan dimulai dari mendengarkan. Maka, menjadikan telinga sebagai rahim adalah bentuk return to humanity—kembali pada esensi pelayanan.

Solusi Praktis untuk Praktisi Hospitality:

  1. Daily Reflection: Renungkan setiap akhir hari: “Apa yang saya dengarkan hari ini, dan bagaimana itu membentuk perilaku saya?”
  2. Listening Booth: Ciptakan sesi khusus dalam tim untuk saling mendengarkan, tanpa gangguan gadget. Bangun budaya empati internal.
  3. Listening Audit: Evaluasi secara berkala, apakah suara tamu benar-benar terdengar oleh manajemen atau hanya berhenti di meja resepsionis.

Pelajaran dari Lapangan: Kisah di Balik Keheningan

Saya pernah bertemu dengan seorang GM hotel bintang lima di Timur Tengah, yang dikenal sangat pendiam. Namun tamu-tamunya memuji pelayanannya yang luar biasa personal. Ketika saya bertanya rahasianya, ia menjawab singkat, “I listen. Even when they say nothing.”

Ada pelajaran besar di sana. Mendengarkan tidak selalu melalui suara. Kadang keheningan adalah jeritan, tatapan mata adalah permintaan, dan bahasa tubuh adalah permohonan yang tak terucap. Maka, kepekaan adalah seni mendengarkan yang lebih tinggi.

Penerapan dalam Workshop: Aktivasi “Telinga-Rahim”

Dalam pelatihan, konsep ini bisa dikembangkan menjadi modul dengan tahapan berikut:

1. Ice Breaking: Suara atau Pesan?

Peserta diberi rekaman suara-suara: bising pasar, tangisan bayi, atau tawa. Lalu ditanya: “Apa yang kamu dengar? Dan apa maknanya bagimu?”

2. Simulasi Layanan: Tamu Tersembunyi

Latihan menerima tamu dengan skenario tersembunyi. Apa yang dikatakan tidak selalu sesuai dengan apa yang dimaksud. Tujuannya: mengasah listening beyond words.

3. Roleplay: Kata yang Menumbuhkan vs Kata yang Mematikan

Simulasi dua versi respon pada situasi yang sama—satu dengan kata negatif, satu dengan kata membangun. Refleksi: mana yang menumbuhkan pelayanan? Mana yang membunuh semangat?

Motivasi dan Mantra:

  • “Don’t let your ears become trash bins for other people’s negativity.”
  • “Dadi wong kuwat kuwi ora mung bisa ngomong tegas, nanging luwih bisa milih apa sing arep dirungokake.”
    (Jadilah orang kuat itu bukan hanya berani bicara, tapi lebih mampu memilih apa yang didengarkan.)

Arah ke Depan: Memelihara Womb of Wisdom

Kita hidup dalam era overexposure—informasi membanjiri telinga kita setiap saat. Namun tak semuanya layak untuk ditampung dalam rahim batin. Maka, kedewasaan kita ditentukan bukan dari seberapa banyak kita mendengar, tapi seberapa selektif dan sadar kita memilih apa yang akan tumbuh dari suara yang kita dengar.

Jadilah Pendengar yang Menciptakan Dunia yang Lebih Baik

Dalam industri pariwisata dan perhotelan, di mana setiap kata bisa mengubah suasana hati, setiap nada bicara bisa mengangkat atau menjatuhkan, mari kita sadar bahwa mendengarkan bukanlah pelengkap, melainkan pondasi. Karena setiap kata yang kita simpan, akan melahirkan dunia yang kita tempati.

Dengarkan dengan kasih. Dengarkan dengan niat. Dengarkan dengan harapan. Maka dunia yang lahir dari telingamu adalah dunia yang lebih manusiawi.

 

 

Jember, 31 Maret 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

Leave a Reply