Langkah yang Terasa
“Terkadang yang membuat kita berat melangkah bukan karena kita tidak tahu arah, tapi karena hati dan logika tak berjalan seiring.”
Rafael dan Pilihan yang Tak Sederhana
Pagi itu, Jakarta masih berselimut mendung. Langit kelabu seakan mencerminkan isi kepala Rafael. Ia duduk termenung di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam yang sejak tadi tak disentuh mulai mendingin. Ponselnya berkedip. Notifikasi dari email berjudul: “Offer Letter: International Placement – Geneva” terpampang jelas.
Tapi entah mengapa, bukannya gembira, Rafael justru merasa sesak.
“Kabar baik pun bisa terasa menyakitkan jika membawa kita menjauh dari yang kita cintai.”
Ia mengembuskan napas panjang. Suara bising kota, denting kendaraan, bahkan aroma sisa hujan, seakan menjadi latar bagi pertempuran batin yang tak kunjung usai.
“Apa aku benar-benar siap meninggalkan semuanya?”
“Kadang yang kita sebut mimpi, adalah hal yang tak pernah kita sangka akan membuat kita kehilangan.”
Dan sekarang, mimpi itu bukan hanya mengetuk pintu. Ia sudah berada di depan pintu, membuka lebar-lebar, memanggil-manggil namanya.
Tapi yang membuat hatinya ragu adalah: Retno.
Wanita yang selama dua tahun ini menemaninya melewati jatuh bangun hidup. Wanita yang membuat setiap perjalanan pulang menjadi dinanti. Wanita yang tidak pernah memintanya tetap tinggal, tapi tatapannya selalu berkata, *”Jangan pergi.”
Rafael menggeleng pelan. “Aku belum tahu.”
“Ini impian kamu sejak lama, kan? Kamu harusnya bahagia.”
“Bahagia?” Rafael menatap mata Retno. “Kadang… mimpi yang tercapai justru terasa menyakitkan.”
“Cinta tak pernah melarangmu terbang tinggi. Ia hanya berharap sesekali kamu menoleh ke arah yang sama.”
Retno tidak membalas. Ia hanya tersenyum, getir. Angin malam menyapu rambutnya, dan Rafael tahu, jika ia berkata ya pada pekerjaan itu, ia juga berkata selamat tinggal pada kehidupan yang ia jalani sekarang.
Tapi kemudian ingatannya melayang ke ruang meeting lantai 18, tempat ia dan timnya tertawa setelah presentasi sukses. Atau ke hari Jumat sore, saat mereka berbagi makanan di pantry sambil meributkan rencana akhir pekan.
“Bukan tempatnya yang membuat kita nyaman. Tapi kenangan yang tinggal di sana.”
Dan tentu saja, pada Retno. Senyumnya saat membawakan bekal makan siang. Tatapannya saat ia sedang stres kerja. Doanya yang diam-diam ia dengar tiap malam.
Rafael diam. Ia merindukan kebijaksanaan ayahnya.
“Tapi Pak, bagaimana kalau aku menyesal nanti?”
“Nak, dalam hidup ini, bukan hanya tentang benar dan salah. Tapi juga tentang berani atau tidak. Kalau kamu tidak berani meninggalkan, kamu tidak akan pernah sampai. Tapi kalau kamu tidak jujur pada hatimu, kamu hanya akan sampai di tempat yang hampa.”
“Kejujuran pada diri sendiri adalah kompas di tengah badai keputusan.”
Kalimat itu menempel di pikirannya seperti gema yang tak habis-habis.
Ia memilih tempat sederhana. Warung sate pinggir jalan yang dulu sering mereka datangi saat awal pacaran. Tidak mewah. Tapi penuh kenangan.
Setelah makan, Rafael berjalan pelan bersama Retno. Tak banyak bicara. Tapi hati mereka bising.
Sampai akhirnya, Rafael berhenti.
“Aku ambil tawaran itu.”
Retno menunduk. Tidak menangis. Tidak protes. Hanya hening.
“Tapi aku gak akan pergi dalam kondisi abu-abu. Aku mau hubungan kita tetap jelas. Aku sayang kamu. Tapi aku juga harus jujur pada diriku.”
Retno mengangkat wajah. “Aku tahu. Aku sudah tahu sejak awal. Dan aku tetap akan doain kamu dari sini.”
“Cinta sejati tidak mengikat, ia mengikhlaskan.”
Ia menulis pesan:
“Terima kasih sudah jadi rumah, walau aku memilih berlayar. Kalau suatu saat semesta membawa kita bertemu lagi, biarkan itu menjadi takdir yang manis.”
Pesan itu ia kirim ke Retno, lalu ia matikan ponsel.
Langkah kakinya menuju boarding gate terasa pelan. Bukan karena ragu. Tapi karena ia tahu, setiap keputusan besar akan selalu menyisakan luka. Dan luka itu bukan pertanda salah, melainkan tanda bahwa kita pernah mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh.
“Luka karena kepergian bukan tanda kelemahan. Tapi bukti bahwa kita sungguh-sungguh hidup dan mencinta.”
Karena tidak semua yang baik harus dimiliki selamanya. Kadang, cukup dikenang sepenuh jiwa.
“Percayalah, pilihan yang kita buat dengan jujur akan membawa kita ke tempat yang tepat. Walau awalnya terasa pahit, waktu akan meramunya menjadi kenangan yang manis.”
.
.
.
Jember, 23 Juni 2025
.
.
#CerpenPilihan #DilemaKarier #CintaDanImpian #CeritaRafael #RetnoDanRafael #CeritaHati #KisahInspiratif #CerpenIndonesia