Kisah Kita yang Tak Lagi Sama

“Jangan pernah merasa penting dalam hidup seseorang. Hati orang bisa berubah lebih cepat dari musim. Hari ini kamu berarti, besok bisa saja tak dianggap sama sekali.”
Refleksi Jayeng

.

Namaku Jayeng. Dulu aku pikir, pertemanan itu seperti batu karang—kokoh, tak tergoyahkan meski diterpa gelombang. Tapi ternyata, ia lebih seperti pasir pantai. Indah, mengisi tiap celah kehidupan, tapi mudah sekali lepas dan berubah arah saat angin datang. Kami—aku, Arjuna, Palgunadi, dan Darmawangsa—pernah sehidup semati. Dalam komunitas kerja sosial yang kami bangun dari nol, di tengah kota kecil yang hanya punya satu pusat perbelanjaan dan satu harapan untuk maju.

Tapi sekarang, aku duduk sendiri di kafe yang dulu jadi tempat kita brainstorming, dan sadar… bahkan persahabatan yang dibangun dengan cinta pun bisa dibubarkan oleh ego.

.

Komunitas yang Kita Namakan “SAGARA”

Sagara—itu nama komunitas kami. Filosofinya, seperti laut: luas, menampung banyak hal, tapi juga dalam dan menyembunyikan badai. Kami membangun Sagara sebagai tempat pelatihan keterampilan gratis untuk anak-anak muda yang gagal kuliah, ditinggal orang tua, atau tak tahu harus ke mana. Pelatihan menjahit, membuat konten digital, bahkan konsultasi bisnis mikro kami adakan seminggu dua kali.

Setiap Jumat malam, kami rapat di sekretariat. Arjuna biasanya datang paling dulu. Dia jarang bicara, tapi sekali membuka suara, kita semua mendengarkan. Bagiku, dia bukan cuma sahabat, tapi semacam panutan diam-diam. Ia seperti kata orang Jawa, “anak lanang iku kudu saguh nggawa donya, nangis ora kudu didelok”.

Jayeng – Narator. Laki-laki pekerja komunitas, idealis, loyal. Arjuna – Karismatik, penuh beban tapi jarang cerita. Tegas, tapi sering memendam luka. Palgunadi – Visioner, kadang terlalu ambisius, pandai bicara. Darmawangsa – Bijaksana, sedikit tertutup, pendamai dalam kelompok.

.

Dunia Kerja dan Ego yang Menyusup

Semua berubah saat Sagara mulai dilirik oleh pemerintah daerah. Tiba-tiba ada proposal, ada dana, ada ekspektasi. Palgunadi yang awalnya bijak berubah jadi haus perhatian. Ia ingin tampil di media, ingin disebut sebagai pendiri utama.

Darmawangsa mencoba menjadi jembatan. “Ayo, tetap di jalur. Sagara bukan panggung. Ini ladang amal, kawan-kawan,” katanya pelan.

Arjuna tetap diam. Tapi aku tahu, dari cara dia menghindari tatapan Palgunadi, ada api kecil yang mulai membara. “Kadang, untuk menjaga yang kita bangun, kita harus rela ditinggalkan,” bisik Arjuna padaku suatu malam.

.

Pecahnya Keheningan

Konflik puncaknya terjadi di acara pelatihan konten digital. Tanpa persetujuan rapat, Palgunadi mengundang wartawan lokal dan menyebut dirinya sebagai satu-satunya penggagas. Namaku, nama Arjuna, dan Darmawangsa tak disebut sama sekali.

Setelah acara, Arjuna hanya berkata, “Wis cukup. Aku ora butuh jeneng. Tapi aku butuh kebenaran.”

Ia tak datang lagi sejak malam itu. Darmawangsa juga mulai menjaga jarak. Sagara tetap jalan, tapi dingin. Aku sendiri merasa, ini bukan lagi komunitas yang sama. Kami tidak lagi satu misi, kami hanya berbagi jadwal.

.

Kebenaran yang Terlambat

Setahun kemudian, aku mendengar kabar dari sebuah rumah sakit daerah. Arjuna dirawat karena kelelahan dan komplikasi lambung. Saat aku datang, ia masih dengan senyum yang sama. “Kamu masih pegang Sagara, Jayeng?”

Aku menunduk. “Sudah bukan aku lagi. Sudah terlalu banyak sponsor. Terlalu banyak ego.”

Ia tertawa pelan, lalu menepuk pundakku. “Gusti paring dalan, nanging kudu wani mlaku. Kalau kamu merasa harus melangkah, ya langkahi. Tak perlu nunggu semua setuju.”

Kehilangan yang Membuka Mata

Tiga bulan setelah pertemuan itu, Arjuna meninggal dunia. Diam-diam, tanpa banyak orang tahu. Tak ada pengumuman resmi dari Sagara. Tak ada tahlil besar. Hanya aku, Darmawangsa, dan satu-dua teman lama yang mengantar ke pemakaman.

Darmawangsa berkata lirih, “Arjuna memang seperti itu. Perginya pun seperti langkahnya—ringan, tapi berarti.”

Aku memeluknya lama. Kami tahu, luka ini tak akan sembuh hanya dengan kata-kata. Tapi entah kenapa, sejak itu, aku merasa harus menulis. Menulis kisah ini. Untuk yang pernah merasa penting, lalu tidak. Untuk yang pernah jadi pahlawan diam-diam, tapi tak pernah diberi panggung.

.

Kita Pernah Ada, dan Itu Cukup

Persahabatan itu bukan soal abadi. Tapi soal pernah saling percaya, dan menaruh mimpi di telapak tangan bersama. Meski akhirnya tangan itu melepas, bukan berarti semua kenangan tak bermakna.

Aku percaya, di dunia ini, kita tidak dituntut untuk selalu menang. Tapi kita harus cukup berani untuk bertahan. Seperti Arjuna—tidak selalu bercerita, tapi ia menyangga banyak beban. Untuk kami. Untuk komunitas. Untuk dunia kecil yang ia yakini.

Kini, setiap Jumat malam aku datang ke sekretariat lama, yang kini sudah diganti namanya oleh pengurus baru. Tapi aku masih duduk di bangku kayu ujung ruangan. Kadang menulis, kadang hanya menatap sepi. Tapi satu hal yang pasti…

Kami pernah ada. Dan itu cukup.

.

“Kita tak harus abadi dalam hidup seseorang. Cukup pernah hadir, pernah setia, dan pernah jadi alasan seseorang percaya bahwa dunia masih punya orang baik.”
Kenangan Jayeng untuk Arjuna

.

.

.

Jember, 4 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenPersahabatan #CeritaKomunitas #LakiLakiSejati #CeritaIndonesia #ArjunaDalamKita

 

 

Leave a Reply