Diamnya Sang Ayah Membuatnya Retak

“Terkadang, bukan kata-kata kasar yang melukai hati, tapi justru kata-kata yang tak pernah diucapkan.”
— Anonym

 

Ketika Sunyi Menjadi Bahasa

Langit sore Jakarta mengabu. Dari jendela lantai dua rumahnya, Dara duduk bersandar, memeluk kedua lututnya. Sesekali tangannya meraih cangkir teh melati yang mulai mendingin. Di meja kecil di samping kursinya, tergeletak sebuah surat tua. Tinta hitamnya mulai pudar. Ia tahu betul isi surat itu. Ia menulisnya bertahun-tahun lalu, saat usia masih dua puluh dua, di malam penuh keheningan dan perasaan tak terdefinisi.

Malam ketika ia menangis dalam diam, berharap ada suara dari pintu sebelah kamar: suara sang Ayah, suara yang tidak pernah datang.

Prestasi dan Kekosongan

Dara lahir dari keluarga sederhana. Ibunya wafat karena kanker payudara saat Dara baru kelas tiga SD. Ayahnya, Pak Herman, adalah seorang mantan tentara berpangkat sersan. Tegas, keras, dan hemat bicara.

“Anak baik itu tidak manja,” kata Pak Herman suatu hari, saat Dara jatuh dari sepeda dan lututnya berdarah.

Dara tumbuh menjadi anak berprestasi. Setiap kenaikan kelas, ia selalu berdiri di podium juara. Setiap lomba, ia pulang membawa piala. Tapi tak ada pelukan. Tak ada ucapan “Ayah bangga padamu”. Hanya satu kalimat yang selalu diulang: “Belajar yang benar.”

Sekali waktu, Dara memberanikan diri memamerkan piala juara nasional lomba sains.

Pak Herman hanya menatap sekilas, lalu berkata, “Nanti taruh di lemari. Jangan besar kepala.”

Merangkak dalam Diam

Lulus SMA dengan nilai tertinggi se-Jakarta Timur, Dara diterima di universitas impian di Yogyakarta. Selama empat tahun, ia membiayai hidup dengan beasiswa dan kerja paruh waktu. Ia tidak pernah menyusahkan sang ayah. Tapi diam itu tetap sama. Pak Herman tak pernah mengunjungi, tak pernah menanyakan kabar lebih dari “Uangnya cukup?”

Ketika Dara mendapat beasiswa pascasarjana di London, Pak Herman hanya menjawab, “Kalau memang yakin, ya pergi.”

Tidak ada peluk cium, tidak ada keberangkatan bersama ke bandara, hanya senyap.

Di Tengah Keramaian, Ia Tetap Sendirian

Hari itu, aula kampus Imperial College dipenuhi wajah-wajah bahagia. Mahasiswa dari berbagai negara berfoto dengan toga, orang tua memeluk, menangis haru. Dara berdiri sendiri, mengenakan toga, tersenyum datar di depan kamera tripod yang ia bawa sendiri.

Ayahnya tidak datang.

Ia memotret dirinya sendiri. Ia mengirim foto ke WhatsApp ayahnya.

Balasan datang tiga jam kemudian:

“Selamat. Jangan lupa sholat.”

Percobaan yang Terakhir: Meminta, Sekali Saja

Setelah kembali ke Jakarta dan bekerja di perusahaan konsultan multinasional, Dara merasa waktunya bicara. Suatu malam, saat makan malam sederhana di rumah, ia membuka suara.

“Yah… boleh aku tanya sesuatu?”

Pak Herman mengangguk pelan tanpa menoleh.

“Ayah pernah nggak… bangga sama aku?”

Lelaki itu diam. Mengunyah pelan, menatap piring, lalu menjawab.

“Kamu hidup benar, nggak ngerepotin. Itu udah bagus.”

Tak ada tatapan mata. Tak ada kehangatan. Tak ada pelukan. Dara tersenyum kecil. Setetes air mata turun diam-diam. Ia bangkit dari meja, merapikan piring, lalu ke kamar. Malam itu, ia menulis surat ketiga.

Sunyi yang Melepaskan

Tahun berganti. Dara hidup mandiri. Ia membeli rumah kecil sendiri, menanam pohon ketapang kencana di halaman. Ia tetap mengunjungi ayahnya, membelikan obat, menemani ke rumah sakit.

Namun hubungan mereka berubah. Dara tidak lagi berharap akan ada ucapan bangga. Ia berhenti meminta.

Ia memaafkan. Ia mengikhlaskan.

Kepergian dan Penemuan

Suatu pagi bulan Maret, Pak Herman terkena serangan jantung dan tak tertolong. Dara mengurus semua pemakaman. Di antara tumpukan barang lama ayahnya, ia menemukan kotak besi kecil. Di dalamnya, ada potongan kliping koran prestasinya, foto-foto kecil Dara waktu wisuda, dan sebuah surat bertanggal dua tahun lalu.

“Dara, anakku… Maaf kalau aku tak bisa jadi ayah yang hangat. Aku bangga, selalu. Tapi aku takut kamu berhenti mencoba jika aku mengatakannya. Setiap pagi aku mendoakanmu. Maaf karena aku tak bisa berkata. Tapi aku mencintaimu dalam diamku.

  • “Ayah!”

Dara menangis. Dalam-dalam. Tertunduk. Terisak.

Terkadang, kata-kata yang kita tunggu… akhirnya datang. Tapi datangnya terlambat. Dan meski terlambat, ia tetap mampu menyembuhkan sebagian luka.

Luka yang Tidak Lagi Berdarah

Kini Dara sudah menikah. Ia menamai anak pertamanya dengan nama belakang ibunya: Sekar. Setiap malam, ia membacakan cerita sebelum tidur dan berbisik pelan:

“Mama bangga banget sama kamu.”

Ia tahu, beberapa luka hanya bisa disembuhkan dengan memastikan kita tidak meneruskannya.

 

“Beberapa hati tidak memar karena kata-kata kasar, tapi karena kata-kata yang tidak pernah diucapkan.”
— The PastLife

.

.

.

Jember, 7 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

.

  • #CerpenReflektif #AyahAnak #LukaDiam #Healing #CeritaKeluarga

 

Leave a Reply