Teman Jiwa yang Menyelamatkanku dari Gelap
“Kadang, kita hanya butuh satu jiwa yang berkata: Aku di sini. Tanpa perlu mengubah apa pun. Tanpa perlu menasihati. Cukup duduk di samping kita, hingga luka perlahan reda.”
.
Luka yang Tak Terlihat, Senyuman yang Palsu
Namaku Umarmaya. Dulu aku pikir, semua luka bisa disembuhkan sendiri. Bahwa menjadi kuat berarti tidak bergantung pada siapa pun. Tapi ternyata, aku salah.
Aku pernah menjadi manusia yang selalu tersenyum, namun hatinya berlubang. Di luar tampak baik-baik saja, tapi di dalam? Penuh puing-puing yang berserakan.
Aku tahu banyak orang seperti itu. Mungkin kamu juga.
Semua bermula saat aku dikhianati oleh orang yang paling kupercaya. Rasanya seperti ditusuk dari belakang saat sedang menyandarkan diri. Sejak itu, aku menarik diri. Menutup rapat semua pintu. Tak ingin siapa pun masuk. Karena bagiku, lebih baik sendiri daripada dilukai lagi.
.
Awal dari Perubahan yang Tak Kusangka
Suatu sore, sahabat lamaku, Worowarsito, mengajakku ikut komunitas literasi. Katanya, ini bisa jadi cara buat “mengobati luka yang terlalu lama diam”. Awalnya aku menolak. Tapi karena ia ngotot, akhirnya aku ikut.
Di ruang kecil itu, di tengah orang-orang asing yang membawa buku dan cerita masing-masing, aku melihatnya. Seorang pria dengan sorot mata tenang, rambut agak panjang terikat rapi. Namanya Usman Haji.
Bukan fasilitator. Bukan siapa-siapa. Tapi sejak awal, dia seperti tahu caranya hadir tanpa membuat orang terintimidasi.
Ketika sesi hampir selesai, aku hendak keluar diam-diam. Tapi dia menatapku, lalu berkata, “Kamu belum menulis apa-apa.”
Aku gugup. “Aku nggak yakin bisa.”
Dia tersenyum. “Menulis bukan soal bisa atau tidak. Kadang, itu cuma cara supaya kita nggak pecah.”
.
Ruang Baru untuk Suara yang Lama Diam
Aku tak langsung menulis hari itu. Tapi sejak saat itu, aku merasa: mungkin, aku akan menulis. Suatu hari.
Hari-hari berikutnya, aku mulai sering melihat nama Usman Haji di notifikasi chat. Ringan, tanpa beban. Hanya kalimat seperti: “Kamu baik-baik saja hari ini?” atau “Kalau mau cerita, aku ada.”
Aku membalas, kadang singkat. Tapi perlahan, percakapan kami jadi seperti tempat bernaung. Aku mulai merasa tidak sendiri.
Hingga suatu malam, aku tidak bisa tidur. Kenangan lama kembali menyiksa. Napasku sesak. Dadaku berat.
Aku akhirnya menulis: “Mas Usman, kamu ada waktu? Aku butuh bicara.”
Balasannya cepat: “Aku ada. Ceritakan.”
Aku mengetik panjang. Tentang luka. Tentang marah. Tentang rasa gagal. Tentang takut membuka hati.
Tak kuduga, dia hanya menjawab: “Terima kasih sudah berbagi. Aku di sini.”
.
Anam Cara: Istilah yang Menghangatkan Hati
Beberapa waktu kemudian, saat duduk berdua di taman, dia berkata:
“Kamu tahu, dalam budaya Gaelic, ada istilah Anam Cara. Artinya: teman jiwa. Seseorang yang bisa kamu ajak bicara tentang hal-hal terdalam dalam dirimu, tanpa takut dinilai.”
Aku hanya menatapnya diam. Dalam hati aku tahu: aku sedang bicara dengan Anam Cara-ku.
.
Malam yang Mengubah Segalanya
Sampai suatu malam, aku mengalami serangan panik. Tubuhku gemetar. Nafasku pendek. Dunia terasa runtuh.
Di tengah gelap, aku hanya bisa kirim pesan: “Mas, aku butuh kamu.”
Dia datang. Tidak berkata-kata. Hanya duduk di sampingku, menggenggam tanganku.
“Menangislah. Aku di sini,” katanya.
Itu malam paling sunyi yang terasa paling penuh.
.
Persahabatan yang Tidak Perlu Nama Baru
Setelahnya, hubungan kami tak berubah jadi kisah romantis klise. Tidak.
Kami tetap seperti dua jiwa yang saling menjaga. Tidak menuntut. Tidak berharap lebih.
Namun di balik tatapan tenangnya, suatu hari aku bertanya: “Mas, kamu selalu ada buatku. Tapi… siapa yang ada buatmu?”
Dia tertawa kecil. Lalu menatap tanah. “Aku juga pernah seperti kamu. Punya luka yang kututup rapat. Dulu aku kehilangan orang yang sangat kucintai. Sejak itu, aku takut dekat siapa pun. Tapi seseorang pernah jadi Anam Cara buatku. Dan dia ajarkan satu hal: kadang, hadir untuk orang lain adalah cara terbaik menyembuhkan diri sendiri.”
Aku tercekat. Ternyata bahkan penyembuh pun punya luka.
.
Saat Dua Luka Saling Menyembuhkan
Sejak hari itu, aku tak hanya datang untuk ditolong. Aku pun hadir untuknya.
Kami tak sering bertemu. Tapi kami tahu: dalam diam sekalipun, kami saling berkata, “Aku di sini.”
Hari ini, jika kamu sedang melalui malam tergelapmu, aku ingin berkata padamu:
Kamu tidak sendiri.
Jika kamu menemukan seseorang yang duduk diam mendengarkanmu tanpa menghakimi, peluklah ia dalam doa. Karena dia anugerah.
Dan jika belum, percayalah… mungkin kamu akan jadi Anam Cara bagi orang lain. Dan lewat itu, kamu pun akan sembuh perlahan.
.
.
.
Jember, 3 Juli 2025
.
.
#Umarmaya #UsmanHaji #AnamCara #SahabatJiwa #CeritaHealing #CerpenMenakJawa #KisahEmosional #SupportSystem