Kebaikan yang Tidak Membunuh Diri Sendiri

“Kamu boleh menjadi orang baik, tapi kamu tidak wajib untuk selalu mengorbankan dirimu. Kadang, cara terbaik mencintai dunia adalah dengan tidak melupakan dirimu sendiri.”

.

Amplop di Tangan Kiri

Langit Jakarta pagi itu kelabu. Di balik kaca mobil yang melaju perlahan di atas flyover Sudirman, sepasang mata menatap kosong ke arah gedung-gedung tinggi yang seolah menelan awan. Di kursi belakang, seorang perempuan bernama Jayeng Sekar, diam. Tas kulit lusuh di pangkuannya, amplop putih di tangan kirinya—surat pengunduran diri yang sudah ia rancang sejak dua minggu lalu.

Hari ini bukan soal menyerah.

Hari ini tentang mencabut akar luka yang terlalu lama dibiarkan tumbuh.

.

Tujuh Tahun Menjadi Jayeng Sekar

Jayeng Sekar, 33 tahun, adalah Manajer Komunikasi Senior di perusahaan konsultan strategis kelas atas. Dalam tujuh tahun terakhir, ia dikenal sebagai pribadi yang ‘tidak pernah menolak’. Ia menjadi dewa penolong rekan kerja, penghapus api konflik antardepartemen, dan lem perekat proyek besar.

“Sekar, bantu ini ya. Dadakan, urgent banget.”
“Sekar, kamu bisa handle klien ini. Mereka keras, tapi kamu kan sabar.”
“Sekar, maaf ya rapatnya molor. Bisa kamu rangkum aja buat kami?”

Dan Sekar akan tersenyum. Menjawab dengan suara lembut, “Baik, saya usahakan.”

Tidak ada yang tahu kalau di balik senyum itu, ada detak jantung yang lelah. Tidak ada yang bertanya, apakah ia baik-baik saja. Karena semua percaya: Sekar akan selalu ada.

.

Titik Balik Bernama Proyek Lempuyangan

Sampai akhirnya datang proyek besar—klien multinasional dengan tenggat tak masuk akal. Tim yang dikomandoi oleh atasannya, Adipati Mertokusumo, berantakan sejak hari pertama.

Maka Sekarlah yang menyusun ulang strategi, menjahit celah komunikasi, meredam konflik. Ia begadang selama berminggu-minggu, kadang sampai tidur di sofa kantor.

Namun, saat presentasi hasil proyek disampaikan di forum perusahaan, hanya satu nama yang disebut: Adipati Mertokusumo. Wajahnya terpampang di layar, senyumnya lebar. Tanpa sedikit pun menyebut nama Sekar.

Seketika, seluruh kerja keras Sekar seperti runtuh. Ia tidak menangis. Tidak marah. Ia hanya duduk di kursinya, dengan hati yang retak tanpa suara.

.

Malam di Balkon Raden Rengganis

Malam itu, Sekar duduk di balkon apartemen sahabatnya, Raden Rengganis, seorang psikolog perempuan berdarah Menak Pamekasan.

“Kamu kenapa diam aja?” tanya Rengganis sambil menyeduh teh jahe.

Sekar tak menjawab. Ia menatap langit.

“Aku cuma sadar satu hal, Nis,” ujarnya pelan. “Ternyata menjadi baik tanpa batas itu… bisa bikin kita hancur perlahan.”

Rengganis menatapnya, lalu menjawab dengan tenang,
“Dan sekarang, saatnya kamu memilih: tetap jadi orang baik yang ditelan sistem, atau jadi orang baik yang juga menyelamatkan dirinya.”

Malam itu, Sekar menulis surat pengunduran diri. Tanpa banyak kata. Tanpa drama. Tanpa dendam.

.

Perjalanan Sunyi Setelahnya

Hari-hari setelah resign begitu hening. Tak ada notifikasi email. Tak ada rapat Zoom. Tak ada permintaan revisi tengah malam.

Awalnya Sekar merasa bersalah. Ia merasa kosong. Namun, perlahan ia belajar menyukai keheningan itu.

Ia mulai bangun pagi, menulis di jurnal, menyusuri taman kota sambil mendengarkan napasnya sendiri. Ia bertemu dengan mentor batinnya, Pangeran Wiraguna, seorang pensiunan konsultan yang kini mengajar mindfulness dan meditasi.

“Sekar,” kata Pangeran Wiraguna, “kamu harus tahu bahwa menjadi baik bukan berarti membiarkan dirimu dilukai terus-menerus. Cinta yang paling pertama harus kamu berikan, ya ke dirimu sendiri dulu.”

.

Belajar Bicara ‘Tidak’

Sekar mulai berlatih berkata “tidak.” Pada tawaran kerja yang melelahkan jiwa. Pada pertemanan yang hanya muncul saat butuh. Pada ekspektasi tak realistis yang dulu ia telan bulat-bulat.

Ia belajar memasang batasan. Ia mulai mengenali kapan harus mundur. Ia menyadari bahwa tidak semua perbedaan perlu didebat, tidak semua perang harus dimenangkan, dan tidak semua senyum perlu dibalas dengan tenaga.

Ia menulis di jurnal:

“Aku tetap bisa jadi orang baik sambil berkata tidak. Aku bisa tetap hangat sambil menetapkan batas. Aku bisa jujur meski tak semua orang suka.”

.

Undangan dari Dewan Menak

Dua tahun kemudian, Sekar menerima undangan menjadi pembicara di forum Dewan Menak Muda Nusantara, forum profesional muda berbasis etika dan mental wellness.

Di sana, ia membagikan kisahnya kepada ratusan peserta. Tentang burnout. Tentang kehilangan diri dalam sistem. Tentang betapa pentingnya menetapkan batas.

Salah satu peserta, Raden Ayu Citraloka, bertanya dengan suara gemetar,
“Bagaimana caranya Kak Sekar tetap jadi orang baik, tapi nggak habis-habisan?”

Sekar menjawab,
“Dengan tidak membunuh diri sendiri demi validasi. Dengan memilih baik yang sehat, bukan baik yang menyakitkan.”

.

Surat untuk Sekar Kecil

Di akhir tahun, Sekar menulis surat untuk dirinya sendiri di masa lalu—untuk gadis kecil yang selalu ingin membuat semua orang senang.

“Maaf ya, dulu aku terlalu sibuk membuat semua orang nyaman, sampai lupa menenangkan kamu. Tapi sekarang, aku sudah pulang. Dan mulai sekarang, kamu nggak perlu sendirian lagi.”

.

Hikmah dari Kisah Jayeng Sekar

Jayeng Sekar bukan sekadar karakter dalam cerita ini. Ia adalah cerminan dari banyak orang: yang lelah jadi penyelamat, yang takut berkata tidak, yang terbiasa memikul dunia seorang diri.

Tapi kita semua punya hak untuk melindungi waktu, ruang, dan kedamaian batin kita. Kita tetap bisa menjadi orang baik—sambil:

  • Menolak dengan elegan

  • Menjaga kesehatan mental

  • Meninggalkan lingkungan toksik

  • Berdiri untuk diri sendiri

  • Menetapkan batas tanpa rasa bersalah

.

Karena kebaikan sejati adalah yang tidak membunuhmu perlahan.

.

.

.

Jember, 30 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#JayengSekar #CeritaMenakJawaModern #CerpenSelfLove #WorkLifeHealing #MentalHealthAwareness #KebaikanTanpaLuka #CeritaResignBijak #CeritaPerempuanTangguh #BeraniBerkataTidak

Leave a Reply