Bom Waktu di Dalam Diri
“Iri hati, perilaku buruk, dan mulut sembarangan adalah bom waktu. Ia tak berbunyi keras saat dipasang, tapi bisa menghancurkan kehidupan tanpa sisa ketika meledak.”
.
Langit Hujan, Hati Mendung
Hari itu hujan turun deras di Jakarta. Langit kelabu membentang seperti perasaan yang tak bisa dijelaskan. Wiryasena, lelaki 35 tahun, berdiri sendiri di bawah kanopi kantor, menatap derasnya air yang mengalir di trotoar. Tangannya menggenggam gelas kopi yang sudah dingin sejak dua jam lalu. Di tangan yang lain, ia memegang ponsel.
Di layar muncul sebuah unggahan: Jayengrana, CEO muda yang baru saja menerima penghargaan “Tokoh Inovatif Tahun Ini”. Wajahnya tampak bersinar di atas panggung megah, senyum yang tak dibuat-buat, dan sekelilingnya penuh tepuk tangan.
Wiryasena menatap layar itu lama. Jantungnya berdegup tak nyaman. Bukan karena iri pada kekayaan, tapi pada cahaya yang seolah keluar dari nama Jayengrana.
.
Kita
Wiryasena adalah karyawan sebuah perusahaan konsultan properti. Dulunya ia terkenal cerdas, penulis andalan sekolah, dan andalan dalam lomba pidato. Tapi seiring waktu, hidupnya tak berjalan sesuai harapan. Ia terjebak di posisi yang sama selama bertahun-tahun, penghasilannya cukup, namun hatinya kosong.
Jayengrana adalah sahabat masa kecil Wiryasena. Mereka pernah satu kamar kos, satu meja belajar. Tapi nasib Jayengrana berbelok jauh—menjadi pemimpin startup sosial teknologi yang berkembang pesat, dikenal luas, dihormati banyak orang.
Dewi Rengganis adalah istri Wiryasena. Guru sekolah dasar yang sederhana, sabar, dan tak banyak menuntut. Ia mencintai Wiryasena dengan tulus, meskipun menyadari ada luka yang makin lama makin dalam di dada suaminya.
.
Bayang-Bayang Jayengrana
Malam itu di rumah mereka yang kecil dan rapi, Dewi Rengganis menyajikan makan malam.
“Mas, aku masak lodeh kluwih. Kamu pasti capek banget hari ini.”
Wiryasena hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia makan perlahan, pikirannya entah ke mana.
“Aku lihat berita tadi sore. Jayengrana… dia ngasih beasiswa untuk anak-anak jalanan. Hebat ya dia.”
Wiryasena meletakkan sendok. Tatapannya datar.
“Media selalu suka melebih-lebihkan. Semua bisa dibuat tampak mulia kalau ada tim pencitraannya.”
Dewi terdiam. Ia ingin menjawab, tapi tahu, itu hanya akan menambah luka. Dalam hatinya, ia berdoa agar suaminya bisa memaafkan hidup—dan dirinya sendiri.
.
Mulut yang Semakin Terbuka, Hati yang Semakin Tertutup
Di kantor, Wiryasena makin sering berbicara sinis. Terutama tentang Jayengrana.
“Dulu itu dia nggak bisa debat sama sekali. Kalau bukan aku yang bimbing, mana bisa dia masuk final lomba provinsi. Sekarang sombong banget.”
Rekan-rekannya mendengarkan, sebagian tersenyum kaku. Tapi satu dua mulai menjauh diam-diam.
Wiryasena tidak sadar, setiap kalimat yang ia ucapkan membakar dirinya perlahan-lahan. Lidahnya jadi senjata yang menusuk bukan ke luar, tapi ke dalam.
.
Ledakan yang Tak Terlihat
Tiga bulan kemudian, tubuh Wiryasena roboh di kantor. Ia dilarikan ke rumah sakit dengan gejala serangan panik. Dokter memvonis: tekanan emosional dan stres berat.
Di ruang rawat sederhana, Dewi Rengganis duduk menggenggam tangannya.
“Mas… kamu nggak harus menang dari siapa pun. Hidup ini bukan perlombaan. Kamu cukup jadi dirimu sendiri, yang damai.”
Air mata Wiryasena tumpah. Untuk pertama kalinya, ia mengakui bahwa ia sedang kalah. Kalah oleh pikirannya sendiri.
.
Kunjungan yang Tak Diduga
Jayengrana datang di hari ketiga. Ia masuk dengan membawa buah tangan dan sebuah buku catatan.
“Aku tahu kamu pasti nggak nyangka aku datang. Tapi waktu dengar kabar dari temen kita, aku langsung ke sini.”
Wiryasena menunduk.
“Jayeng… aku iri sama kamu. Lama. Aku kesel lihat kamu makin naik, sementara aku di sini-sini aja.”
Jayengrana tidak tersenyum, tidak juga marah. Ia menatap Wiryasena lama.
“Sena, kalau kamu terus simpan iri itu, nanti yang kebakar bukan aku. Tapi kamu sendiri.”
.
Menulis untuk Mengganti Racun dengan Cahaya
Setelah keluar dari rumah sakit, Wiryasena memulai sesuatu yang baru: menulis.
Ia buat blog. Ia ceritakan soal iri hati. Tentang kegagalan menerima diri. Tentang betapa sulitnya belajar legowo.
Tak viral. Tapi komentar demi komentar datang:
“Mas, saya merasa diceritakan di tulisan ini.”
“Terima kasih sudah jujur. Saya pun sedang dalam proses sembuh.”
Itu cukup. Satu demi satu, sumbu dalam dirinya mulai padam. Bom waktu itu tak jadi meledak. Karena Wiryasena belajar menyalurkan lukanya, bukan memendamnya.
.
Dewasa Bukan Tentang Siapa Paling Cepat
Dua tahun kemudian, Wiryasena berdiri di depan forum komunitas literasi.
“Dulu saya iri pada sahabat saya sendiri. Saya benci tiap orang memujinya. Tapi ternyata saya hanya sedang marah pada diri saya yang diam di tempat.”
Semua hening. Beberapa menunduk, beberapa terharu.
“Iri hati dan kata-kata buruk yang kita lontarkan, itu bom waktu. Kita tidak tahu kapan meledak. Tapi saat meledak, hanya kita yang hancur.”
.
Lonceng Kedewasaan
Kini, saat nama Jayengrana muncul, Wiryasena bisa tersenyum.
“Dia luar biasa. Aku bangga pernah tumbuh bersamanya.”
Dan untuk pertama kalinya, kalimat itu tidak disertai getaran racun.
Karena dalam dirinya, ruang itu kini terisi: oleh damai, oleh penerimaan, oleh cahaya.
“Orang yang menyimpan iri hati adalah orang yang membakar dirinya sendiri, berharap orang lain merasa hangus.”
.
.
.
Jember, 30 Juni 2025
.
.
#CerpenMotivasi #CerpenMenakJawa #CeritaReflektif #HealingBatin #BomWaktuDalamDiri #JayengranaWirya