Di Balik Ambisi dan Nyala Rasa

“Jangan lelah berbuat baik. Karena di balik upaya yang tampak sepi, ada hikmah yang akan kembali dalam bentuk kejutan yang menenangkan.”

.

Pintu yang Tak Pernah Tertutup

Di ujung pekan yang gerah di kota kecil Jawa Timur, Tumenggung Panji duduk memandangi berkas-berkas di mejanya. Matanya nanar, tetapi hatinya belum padam. Ia tahu, masih ada satu pintu yang belum ia ketuk kembali—pintu kesempatan yang dulu hanya sedikit terbuka.

Tumenggung Panji bukan tokoh istana dalam dongeng, meski namanya diwariskan dari leluhur Menak Jawa. Ia adalah Kepala Departemen Operasional di sebuah perusahaan jasa pariwisata di Sidoarjo, yang mulai jenuh dengan rutinitas dan alur kerja yang membosankan. Usianya empat puluh dua, sudah lebih dari cukup untuk melihat mana impian yang layak dikejar dan mana yang sebaiknya ditinggalkan.

Tiga bulan lalu, Panji pernah mengutarakan niat untuk mengambil alih proyek pengembangan cabang baru ke pimpinannya, Adipati Arya. Tapi jawaban yang ia dapatkan hanya, “Kita lihat nanti.” Dan sejak itu, tak ada kelanjutan.

.

Menyentuh Ulang Pintu yang Terbuka Setengah

Awal minggu itu, dengan pakaian rapi dan setelan batik motif Sekar Jagad, Panji memberanikan diri untuk menemui Adipati Arya lagi.

“Saya ingin menegaskan kembali kesiapan saya untuk memimpin pengembangan proyek cabang baru di Bali. Tiga bulan ini saya mempelajari tren, menelusuri data, dan saya sudah siapkan draft strategi implementasi. Boleh saya paparkan?”

Adipati Arya menatapnya lama. “Panji, kamu gigih. Banyak yang hanya bicara. Tapi kamu membawa data. Mari duduk, saya ingin dengar strategimu.”

Dan pertemuan itu menjadi titik balik.

.

Rumah, Jenuh, dan Keberanian Keluar Zona Nyaman

Namun perubahan tak hanya terjadi di kantor. Di rumah, Panji mulai kehilangan kedekatan emosional dengan istrinya, Sekar Wangi. Bukan karena cinta yang padam, melainkan karena rutinitas yang tak lagi memberi ruang pada kebaruan.

“Kamu tahu, Panji, bukan gaji yang kuinginkan. Tapi waktu. Kehangatan. Cerita-cerita kecil sebelum tidur,” ujar Sekar.

Panji tercekat. Ia merasa bersalah, tetapi juga lelah. Ia seperti kehilangan dirinya dalam tumpukan laporan dan jadwal.

Suatu malam, ia duduk sendirian di teras. Angin membawa bau tanah basah. Ia sadar, bukan hanya pekerjaannya yang perlu naik level, tapi juga hidupnya.

.

Perjalanan Menyentuh Ujung Rasa

Akhir pekan itu, Panji mengambil keputusan spontan. Ia membawa Sekar dan dua anaknya, Arum dan Jagad, berkemah ke kaki Gunung Ijen. Tanpa sinyal. Tanpa laptop. Hanya mereka dan alam.

Di sana, dalam gelap yang sunyi dan suara serangga yang menyanyi, Panji menemukan kembali denyut yang ia cari.

“Aku merasa… hidup lagi,” bisiknya pada Sekar.

Dan Sekar hanya menjawab, “Terima kasih sudah pulang, meski kamu tak pernah benar-benar pergi.”

.

Belajar Ulang, Bertumbuh Lagi

Sepulang dari perjalanan itu, Panji tak hanya kembali dengan energi baru. Ia juga mendaftar kursus daring tentang manajemen proyek lintas budaya. Ia tak ingin hanya jadi manajer. Ia ingin jadi pemimpin sejati—yang terus belajar.

Ia mulai menyusun ulang manajemen waktu, mengalokasikan jam kerja, waktu keluarga, dan jam “hening” untuk refleksi pribadi.

“Dulu aku pikir yang penting itu naik jabatan. Tapi ternyata, yang lebih penting adalah naik kesadaran,” tulisnya dalam jurnal pribadinya.

.

Kesempatan Kedua untuk Semua

Tiga bulan kemudian, Panji resmi memimpin ekspansi kantor cabang di Bali. Bukan hanya ekspansi bisnis, tapi juga ekspansi hidupnya.

Sekar pun mulai merintis usaha kecil di bidang kriya. Arum dan Jagad tumbuh dengan penuh tanya dan tawa.

Dan setiap akhir pekan, mereka tak lagi ke mall. Tapi ke tempat baru, mencoba hal baru. Karena Panji tak lagi jenuh, dan Sekar tak lagi merasa sendiri.

.

Di Balik Langkah Panji

Kita semua adalah Panji dalam hidup kita masing-masing. Kadang, ada pintu yang belum kita ketuk kembali. Ada tanggung jawab yang perlu kita ambil ulang. Ada cinta yang tak perlu diperbarui, hanya perlu disentuh lagi.

“Karier itu bukan menaklukkan orang lain. Tapi mengalahkan diri sendiri yang malas berkembang.”

“Rasa jenuh bukan pertanda kamu harus pergi. Tapi sinyal bahwa kamu harus bertumbuh.”

Dan seperti Tumenggung Panji, kadang yang kita butuhkan bukan revolusi besar, tapi keputusan kecil yang konsisten. Untuk hidup lebih sungguh-sungguh.

.

.

.

Jember, 30 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KarierDanKeluarga #LangkahPanji #CerpenMotivasi #CeritaIndonesia #CeritaMenakJawa #ZonaNyaman #SelfGrowth #KepemimpinanHidup

Leave a Reply