Kalau Dibilang Jahat Karena Menjauh, Ya Gapapa
“Menjaga jarak bukan berarti membenci. Kadang, itu adalah bentuk paling dalam dari mencintai diri sendiri.”
.
Kita hidup di dunia yang kadang terlalu bising. Terlalu banyak ekspektasi. Terlalu banyak hubungan yang memaksa kita untuk selalu ada, selalu hadir, selalu kuat.
Tapi hidup bukan soal memenuhi piring orang lain sampai piring kita sendiri kosong. Kadang… menjaga jarak adalah bentuk paling jujur dari self love.
Kalau dibilang jahat karena memilih menjauh, ya gapapa. Aku tahu diriku. Aku tahu apa yang kubutuhkan.
Namaku Jayengrana. Dan ini kisahku. Tentang bagaimana aku belajar berkata: cukup.
Ruang Bernapas
Aku pernah jadi orang yang selalu ada untuk siapa pun. Teman butuh curhat jam dua pagi? Aku angkat telepon. Sahabat butuh ditemani beresin urusan keluarga? Aku cuti dari kantor. Pacar butuh validasi terus-menerus? Aku korbankan waktu tidurku.
Semua… demi mereka. Dan aku? Aku nyaris kehilangan diriku sendiri.
Suatu malam, aku pulang kerja dalam kondisi benar-benar lelah. Laptop di punggung, tubuh remuk redam. Tapi notifikasi HP bunyi bertubi-tubi.
“Kak, aku lagi butuh banget didengerin. Bisa telepon nggak?” “Bro, nongkrong, yuk. Butuh banget cerita.” “Sayang, kok nggak jawab WA? Aku nunggu, loh.”
Aku pandangi layar ponsel. Lalu aku pandangi diriku di cermin. Mata yang sembab. Wajah yang kusut. Nafas yang berat.
Saat itu, untuk pertama kalinya, aku tidak menjawab. Bukan karena benci. Bukan karena nggak peduli. Tapi aku sadar: aku butuh ruang untuk bernapas.
Dicap Jahat
Perlahan, aku mulai belajar berkata tidak. Tidak semua ajakan nongkrong kuterima. Tidak semua permintaan didengarkan saat aku sendiri butuh tenang. Tidak semua pesan harus kubalas secepat mungkin.
Dan apa yang terjadi? Beberapa orang mulai memanggilku jahat.
“Kok kamu beda, sih? Dulu kamu selalu ada.” “Sekarang sombong ya, Jayengrana.” “Kalau emang nggak mau temenan lagi, ngomong aja!”
Di titik itu, aku belajar satu hal penting:
Orang yang benar-benar sayang padamu takkan mempermasalahkan jarak. Orang yang hanya ingin memanfaatkamu akan paling ribut saat kamu menjaga jarak.
Kalimat itu kupeluk erat-erat. Setiap malam sebelum tidur, aku mengingatkan diriku sendiri bahwa self love bukan egois. Bahwa menjaga batasan bukan permusuhan.
Perjalanan Menerima Diri
Butuh waktu lama untuk berdamai dengan rasa bersalah. Aku adalah tipe orang yang mudah merasa bersalah kalau mengecewakan orang lain.
Tapi aku belajar dari seorang teman yang bijak. Namanya Dewi Sekar Kedaton. Seorang psikolog yang kerap berbagi insight di media sosial.
“Kasih sayang sehat itu ada batasannya, Jayeng. Kamu nggak bisa mengisi gelas orang lain kalau gelasmu sendiri kosong. Self-care itu bukan selfish. Self-care itu survival.”
Kalimat itu mengubah cara pandangku.
Aku mulai menata ulang jadwalku. Ada waktu untuk bekerja. Ada waktu untuk teman. Ada waktu untuk keluarga. Dan… ada waktu hanya untukku.
Aku mulai rutin membaca buku. Menulis jurnal. Meditasi. Berjalan pagi sendirian di taman. Menikmati sunyi. Dan dalam sunyi itulah, aku menemukan diriku lagi.
Ujian Terberat
Tapi proses ini tidak selalu mudah. Ada saat di mana aku merindukan keramaian. Merindukan validasi yang dulu membuatku merasa hidup.
Ada satu momen yang tak kulupa.
Sore itu, hujan deras mengguyur Jakarta. Aku baru saja pulang kerja, duduk di jendela sambil memandangi titik-titik air.
HP kembali berdering. Nama yang muncul di layar: Raden Ayu Retno Sari. Mantan kekasih yang dulu selalu mengisi hari-hariku. Hubungan kami kandas karena aku terlalu lelah menjadi penopang utama.
Jari-jariku gemetar. Ingin sekali aku angkat. Tapi aku tahu, jika aku kembali masuk dalam lingkaran yang sama, aku akan hancur lagi.
Dengan berat hati, aku letakkan HP. Kali ini, bukan karena dendam. Tapi karena aku paham: ada orang-orang yang tak boleh lagi kau izinkan masuk terlalu dekat.
Dan itu bukan kejahatan. Itu adalah perlindungan.
Damai Dengan Pilihan
Waktu berlalu. Aku belajar semakin nyaman dengan keputusanku.
Beberapa teman menjauh? Tidak apa-apa. Sahabat yang benar-benar tulus tetap di sampingku.
Beberapa orang masih bilang aku berubah, jadi dingin, jadi jahat. Ya gapapa.
Kalau dengan menjauh aku bisa tetap waras, Kalau dengan menjaga jarak aku bisa tetap menyayangi diriku sendiri, Kalau dengan batasan aku bisa punya hidup yang lebih seimbang,
Maka aku akan tetap memilih jalan ini.
Tidak Semua Orang Harus Kita Dekatkan
Hidup ini bukan perlombaan siapa yang paling banyak teman. Bukan juga kontes siapa yang paling sering hadir di setiap acara. Hidup adalah tentang bagaimana kita bisa tetap utuh sebagai manusia, di tengah segala tuntutan.
Menjaga jarak bukan dosa. Menetapkan batasan bukan kejahatan. Menjauh bukan berarti memusuhi.
Kalau ada yang bilang aku jahat karena menjauh, ya gapapa. Aku memilih untuk tetap waras. Dan itu adalah pilihan yang tak ingin kusesali.
.
“Kadang kita butuh jarak bukan untuk menjauhkan orang lain, tapi untuk menemukan diri sendiri yang sempat hilang.”
.
.
.
Jember, 6 Juli 2025