Mereka Merindukanmu, Tapi Tak Pernah Menyatakan
“Rindu yang dipendam adalah luka yang tidak pernah diberi obat.” — Anonim
.
Kita hidup di zaman yang aneh. Di mana rindu dikirim lewat story, bukan lewat pesan. Di mana rasa bersalah disembunyikan di balik diam. Di mana cinta bisa begitu dalam, namun tak pernah sampai ke permukaan.
Ini adalah kisah tentang Adaninggar dan Wiradamya. Sepasang insan dari semesta Menak Jawa yang tak lagi bertatap mata, namun diam-diam masih saling menjaga dari kejauhan.
.
Nama Itu Muncul Lagi
Ketukan Diam di Pintu Hati Adaninggar duduk di bawah cahaya temaram ruang tamunya. Hujan baru saja reda. Sisa rinainya mengalir pelan di kaca jendela. Ponsel di tangannya bergetar.
“Wiradamya viewed your story.”
Ia terdiam. Notifikasi itu bukan hal baru. Setiap hari, nama itu muncul di daftar teratas. Tapi tak pernah satu pun pesan masuk.
Dulu, setiap notifikasi dari Wiradamya membuat jantungnya berdebar. Kini, hanya perasaan ganjil yang tak bisa dijelaskan. Seperti seseorang yang terus mengetuk pintu rumah, namun menolak masuk.
Ia membuka galeri. Foto-foto lama masih tersimpan rapi. Mereka tertawa di pantai selatan. Mereka makan pecel pincuk di Alun-alun. Mereka menyusun rencana masa depan.
Tapi itu dulu. Kini, semuanya hanya kenangan diam.
Diam yang Nyaring
Ketakutan yang Berbicara Lewat Hening Di sisi kota yang lain, Wiradamya memandangi layar ponselnya. Story Adaninggar baru saja diunggah. Wajah itu tak berubah. Tatapan mata yang dulu membuatnya jatuh hati.
Ia ingin menyapa. Mengetik pesan.
“Apa kabar, Ninggar?”
Tapi jarinya berhenti di atas keyboard. Ada suara di dalam dirinya yang berkata: “Nanti saja.” Dan suara itu terus menang, hari demi hari.
Dalam diamnya, Wiradamya berharap Adaninggar tahu bahwa ia masih peduli. Bahwa ia masih mencintai. Tapi ia lupa, cinta tanpa keberanian hanyalah ilusi.
.
Sahabat yang Mendengar
Cermin untuk Hati yang Terluka “Dia masih lihat story kamu?” tanya Rengganis sambil menyeruput kopi panas.
Adaninggar mengangguk. “Setiap hari. Tapi nggak pernah ngomong apa-apa. Aku capek, Nganis. Nggak tahu harus nunggu atau berhenti.”
“Berhentilah berharap dari orang yang lebih memilih diam daripada kejujuran,” jawab Rengganis.
Adaninggar menarik napas panjang. Hatinya tahu Rengganis benar. Tapi bagian kecil di hatinya masih menunggu.
.
Waktu yang Tak Menyembuhkan
Luka yang Membeku dalam Penyangkalan Dua bulan berlalu sejak pertengkaran itu. Sebuah perdebatan kecil yang berubah menjadi jarak tak terukur.
“Kamu nggak datang di ulang tahun ibuku, Ramya. Kamu tahu itu penting buatku.” “Aku sibuk. Kamu juga harus ngerti.”
Dan seperti itu, semua amarah, kecewa, dan ego tumpah menjadi jurang sunyi yang tak seorang pun ingin isi.
Wiradamya berpikir waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu hanya membuat luka itu membeku, bukan sembuh.
.
Draf Pesan yang Tak Pernah Terkirim
Keberanian yang Selalu Tertunda Wiradamya sering membuka percakapan lama mereka. Ia membaca ulang pesan-pesan manis, suara tawa yang terekam dalam teks.
Ia pernah mengetik: “Aku minta maaf, Ninggar. Aku bodoh karena membiarkan kamu pergi.”
Tapi pesan itu tak pernah dikirim. Ia takut ditolak. Ia takut jawaban Adaninggar tidak seperti yang diinginkan.
Dan begitulah, diam menjadi zona nyaman. Zona yang menyakitkan, tapi familiar.
.
Pelajaran dari Rasa
Mencintai Diri Sendiri dalam Sepi Adaninggar mulai menulis jurnal. Ia menuliskan rasa yang tak bisa ia ucapkan.
“Hari ini, aku tak menunggumu lagi. Aku ingin tenang. Aku ingin sembuh.”
Ia belajar mencintai dirinya sendiri. Belajar bahwa tak semua rindu harus dibalas. Tak semua luka butuh permintaan maaf.
Wiradamya mulai merasa kehilangan. Tapi ia tak tahu cara kembali. Ia hanya menatap layar ponselnya, berharap ada keajaiban.
.
Akhir yang Bukan Kembali
Maaf yang Membebaskan, Bukan Mengikat Sore itu, Adaninggar duduk di taman, membaca buku. Notifikasi muncul:
“Wiradamya sent you a message.”
Tangannya gemetar. Ia buka pesan itu: “Ninggar, aku minta maaf. Aku masih ingin memperbaiki semuanya.”
Bibir Adaninggar bergetar. Ada bagian dari dirinya yang bahagia. Tapi ada bagian yang sudah terluka terlalu lama.
Ia mengetik balasan: “Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi aku juga sudah belajar berjalan sendiri. Jangan biarkan ego menghancurkan hal-hal yang kamu sayangi lagi, Ramya.”
Pesan terkirim. Bukan untuk kembali. Tapi untuk mengakhiri dengan damai.
.
Epilog
Di dunia ini, banyak hati yang masih saling mencintai, tapi terkekang oleh ego.
Jangan kejar orang yang memilih diam daripada kejujuran. Jangan habiskan hidupmu menunggu seseorang yang terlalu takut untuk mencintai dengan berani.
Karena rindu yang tak diucapkan adalah luka yang pelan-pelan menggerogoti hati.
.
“Orang yang benar-benar peduli akan memilih kejujuran, bukan keheningan.”
— Anonim
.
.
.
Jember, 6 Juli 2025
.
.
#CeritaCinta #KisahRindu #MoveOnBijak #SelfLove #PelajaranHidup #RinduDalamDiam