Luruskan Jalanmu, Seratkan Langkahmu

“Terkadang, yang paling kita butuhkan bukan perubahan dunia di luar sana. Tapi keberanian untuk mendengar suara hati yang telah lama kita abaikan.”

.

Surat untuk Minggu Pagi

Hari itu, Senin pagi di Jakarta. Lalu lintas sudah padat sejak fajar, udara sedikit menyengat. Namun bukan polusi yang mengganggu pikiran Tumenggung Ardaningrat, melainkan sebuah kalimat dari percakapan minggu lalu bersama Direktur Utama perusahaan multinasional tempat ia bekerja sebagai Project Supervisor.

“Kalau kamu serius mau naik jabatan, Ardan, buktikan. Take the reins. Tunjukkan kamu bisa menjadi garda terdepan.”

Ucapan itu terus terngiang dalam benaknya. Dulu ia diam. Ragu. Tapi kini hatinya telah mantap. Ardan bukan lagi sekadar pekerja setia yang patuh sistem. Ia ingin jadi pemimpin. Bukan untuk kuasa, tapi untuk makna.

Ia menyiapkan presentasi strategis dan proposal inovatif tentang pengembangan unit baru yang sempat tertunda akibat pandemi. Tangannya gemetar, tapi hatinya tenang. Hari ini, ia akan “revisit” perbincangan itu. Dengan kepala tegak.

“Jangan lelah jadi baik, hanya karena tak langsung dihargai.”

.

Dari Jember ke Jakarta

Ardan berasal dari Jember. Anak seorang petani kakao yang tidak menyelesaikan SMA. Namun dari kecil, ia dididik dalam budaya ‘n-Jawa-ni’ oleh kakeknya—seorang abdi dalem dari garis keturunan Menak Rengganis.

“Urip iku kudu nglakoni. Ojo mung mikir kepenakmu dewe,” pesan sang kakek setiap kali Ardan mengeluh tentang sekolah, kerja kasar, atau nasib yang kurang adil.

Ardan menyimpan semua nilai luhur itu, meski kini ia mengenakan jas dan berdiskusi dalam ruang-ruang meeting bertingkat. Jiwa Jawanya tetap setia: rendah hati, penuh titen, dan siap tirakat demi kemajuan.

“Tiap langkah kecil yang tulus, akan mengantarkan pada takdir besar yang tak disangka.”

.

Rapat Penentuan Takdir

Pukul 09.00 WIB. Ardan berdiri di depan layar besar ruang rapat Direksi. Ia mempresentasikan solusi integrasi digital antar divisi, termasuk pengembangan tim muda lintas kota.

Suasana sempat tegang. Seorang komisaris memotong, menyanggah bahwa rencana ini terlalu ambisius. Namun Ardan tak gentar. Ia menjawab tegas, dengan data dan empati:

“Jika kita tidak keluar dari pola lama yang stagnan, kita hanya jadi perusahaan besar yang lambat. Sementara kompetitor, yang lebih kecil, bisa lebih gesit.”

Semua terdiam. Sang Direktur Utama—Adipati Mahesa—menyenderkan punggung ke kursi, tersenyum tipis. Ia tahu, ini bukan sekadar proposal. Ini momentum.

“Kalau ingin dikenang, jangan jadi yang paling cepat. Jadilah yang paling benar.”

.

Keheningan Setelah Sorotan

Sepulang kerja, Ardan naik ojek ke arah Tebet. Ia berhenti di sebuah warung nasi langganan. Di sana, sambil menikmati pecel lele, ia membaca ulang catatan jurnalnya malam tadi:

“Kita lahir bukan hanya untuk mengikuti alur, tapi menciptakan arus. Tapi menciptakan arus butuh arah. Arah butuh keberanian. Dan keberanian butuh mendengar suara terdalam kita sendiri.”

Ia merasa damai. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, ia merasa menjadi dirinya sendiri sepenuhnya. Tidak hanya menjalani, tapi juga mengarahkan.

Langit Jakarta sore itu tampak muram, seperti menyambut perasaannya yang bergolak. Sebuah sms dari ibunya di Jember membuat matanya berkaca-kaca: “Le, aku bangga. Terus nglakoni sing bener yo.” Ia menutup mata sejenak. Nafasnya berat. Tapi hatinya ringan.

“Kita tidak sedang mengejar kesempurnaan. Kita hanya sedang belajar untuk menjadi diri kita yang terbaik.”

.

Mengisi Kekosongan yang Terisi

Hari Rabu, Ardan mengikuti sesi mentoring internal. Saat giliran berbicara, ia tidak menyampaikan target, KPI, atau struktur organisasi. Ia bicara tentang mimpi.

“Kalau kita hanya bekerja demi gaji, maka selamanya kita merasa kekurangan. Tapi jika kita bekerja untuk nilai, maka kita sedang menciptakan warisan. Di situlah kekayaan kita.”

Mata-mata peserta meeting berkaca-kaca. Tak disangka, supervisor yang dikenal tegas dan kaku itu bisa begitu dalam menyentuh.

Seusai sesi, salah satu peserta datang dan berkata pelan, “Mas Ardan, terima kasih. Saya hampir resign minggu lalu. Tapi hari ini saya ingin mencoba satu kali lagi.”

Ardan hanya tersenyum. Tapi di dalam dadanya, ada haru yang menyesak.

“Kebaikan yang sederhana bisa jadi penyelamat bagi seseorang yang tak kita tahu tengah bertarung hebat dalam hidupnya.”

.

Tiba Saatnya Terbang

Minggu sore, Ardan mengemas tas. Ia akan ke Jogja, ikut short course tentang strategic change management di salah satu universitas. Biaya sendiri. Inisiatif sendiri.

“Orang-orang besar tidak menunggu pintu terbuka. Mereka membangun pintunya sendiri.”

Di dalam kereta, ia membaca e-book berjudul Leadership and Local Wisdom: A Javanese Perspective. Tangannya mencatat cepat. Matanya berbinar.

Ia sadar. Perjalanan ini belum selesai. Tapi satu hal pasti: ia tak lagi berjalan di tempat. Ia telah memilih arah. Dan itu cukup untuk memulai.

Sesampainya di Jogja, ia berjalan kaki melewati Malioboro. Angin lembut menyentuh wajahnya. Di depan gedung perkuliahan, ia berbisik pada dirinya sendiri:

“Terima kasih, Ardan, karena kamu tidak menyerah waktu semuanya terasa biasa saja. Karena kamu percaya bahwa hidup yang bermakna tidak datang sendiri, tapi dibentuk.”

 

.

*Tentukan arah hidupmu dengan jujur dan benar, lalu jalani setiap langkahnya dengan nilai-nilai luhur yang layak dikenang dan diwariskan.

.

Jember, Senin 7 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #MotivasiKerja #CeritaKorporasi #PituturJawa #KarierBerarti #TransformasiDiri #Hypnowriting #TereLiyeStyle #MenakModern

 

Leave a Reply