“Enak E Yok Opo?” Jurus Multiindra Para Profesional Hotel
Industri pariwisata dan perhotelan terus berkembang ke arah yang lebih sensitif, bukan hanya terhadap selera pasar, tapi juga terhadap emosi dan ekspektasi tamu. Tulisan ini mengangkat filosofi profesional hospitality dari sudut pandang budaya Jawa yang universal, memadukan logika industri dengan sentuhan rasa, aroma, dan empati. Bacaan ini penting bagi para pelaku bisnis, pemimpin hotel, dosen, hingga generasi muda calon profesional hospitality Indonesia.
“Salah satu tugas kami bukan cuma create product, tapi mengantar tamu kepada happy ending result of service. Dan untuk sampai ke sana, kami harus bisa menjawab satu pertanyaan penting: enak e yok opo?”
Ungkapan ini bukan sekadar lontaran bahasa gaul khas Jawa. Ini adalah mantra roso yang menjadi filosofi kerja profesional di industri hospitality Indonesia. Kalimat sederhana ini mewakili kompleksitas mendalam dari sebuah seni melayani: menilai sesuatu bukan dari sudut pandang kita sendiri, tetapi dari mata, telinga, hidung, kulit, lidah, dan hati orang lain.
Ya, di balik senyuman resepsionis, aroma sabun kamar mandi, irama musik latar restoran, hingga plating makanan, terdapat satu niat luhur: membahagiakan orang lain dari titik kenyamanan yang mereka pahami sendiri. Di sinilah kita menemukan bahwa hospitality sejati lebih luas dari margin keuntungan dan lebih dalam dari angka kepuasan tamu.
Melampaui Produk: Menyentuh Rasa, Bukan Sekadar Menjual
Industri ini bukan sekadar bisnis logistik tempat tidur, piring makan, atau meja meeting. Kita menjual perasaan. Kita menciptakan suasana. Kita mengatur pengalaman dari detik pertama tamu menyentuh gagang pintu, hingga detik terakhir mereka mengucap, “Kami akan kembali.”
Hospitality bukan tentang SOP. Ia tentang pengabdian rasa.
“Ngerti sakdurunge winarah” — begitu pitutur Jawa mengajarkan.
(Mengerti sebelum dijelaskan.)
Para pelaku hospitality profesional dituntut untuk memprediksi keinginan tamu sebelum mereka meminta, untuk merespons suasana hati sebelum tamu sempat mengeluh, dan untuk memberi lebih dari yang mereka bayar—tanpa menyebutnya sebagai “gratisan.”
Kerja Rasa Lima Indra: Dimensi Pelayanan yang Tak Tercatat di Laporan Keuangan
Mari kita jabarkan lebih dalam:
-
Mata menilai pencahayaan, dekorasi, dan bahasa tubuh staf.
-
Telinga menangkap suara-suara yang menenangkan atau mengganggu suasana.
-
Hidung mencium identitas aroma yang melekat dalam memori.
-
Lidah mengecap kesungguhan dapur dalam meracik rasa, bukan sekadar mengisi perut.
-
Kulit merasakan tekstur selimut, suhu ruangan, dan kelembutan pelayanan.
-
Dan hati…, adalah pusat dari semua pengalaman: yang menyimpan kenangan, merekam momen, dan menilai apakah pengalaman itu pantas untuk diulang.
Inilah sebabnya kita tak bisa menyamakan hospitality dengan industri lainnya. Di sini, nilai roso adalah panglimanya.
Hypnobranding & Hypnoselling: Membangun Citra dari Dalam, Bukan Sekadar Tampilan
Brand hotel atau destinasi pariwisata tidak dibangun dari brosur yang indah atau iklan digital dengan angle terbaik. Brand dibangun saat seorang tamu berkata dalam hati: “Saya merasa diterima di sini.”
“People may forget what you said, but they will never forget how you made them feel.” – Maya Angelou
Di sinilah hypnoselling bekerja. Kita tidak menjual kamar deluxe. Kita menjual rasa dimengerti saat tamu ingin istirahat. Kita tidak menjual sarapan buffet. Kita menjual perasaan aman dan nyaman yang melekat saat seseorang memulai hari.
Setiap kata yang diucapkan frontliner, setiap copywriting pada menu atau kartu sambutan, harus ditulis dengan seni hypnowriting: bukan untuk mengajak membeli, tapi untuk mengajak merasakan.
Praktik Bijak: Tips dan Solusi Nyata dalam Manajemen Rasa
Berikut adalah remedi praktis agar para profesional hospitality tetap peka terhadap pengalaman tamu:
-
Lakukan simulasi “jadi tamu.”
Duduklah di lobi hotel sendiri. Makanlah di restoran sendiri. Tidurlah di kamar yang tidak diberi tahu sebelumnya. Catat semua yang terasa “kurang rasa.” -
Buat “Forum Roso” di internal tim.
Tiap akhir minggu, tanyakan ke staf: pengalaman mana yang minggu ini menyentuh hati mereka—baik dari tamu, atau rekan kerja. -
Rancang program internal: “Yok opo nek awakmu dadi tamu?”
Jadikan setiap produk atau layanan melewati pertanyaan ini sebelum diluncurkan. -
Jadikan layanan sebagai ritual, bukan rutinitas.
Alih-alih sekadar “menyambut tamu”, buat ritual sapaan, storytelling kecil di lift, atau memberi signature surprise saat check-out. -
Ukur “kenangan”, bukan cuma rating.
Selipkan pertanyaan ini dalam survei: “Apa yang akan Anda ceritakan tentang hotel ini ke orang terdekat Anda?” -
Berdayakan tim untuk menyentuh rasa, bukan hanya bekerja.
Seorang housekeeper yang memahami bahwa kerapian ranjang adalah cara membuat tamu tidur lebih nyenyak, akan merapikan dengan hati. Bukan sekadar mengikuti instruksi.
Bukan Sekadar Hospitality, Tapi “Humanity in Action”
Ketika dunia makin digital, hospitality harus makin spiritual.
Ketika teknologi merespons cepat, hospitality harus menjawab lembut.
Ketika hotel makin mewah, hospitality harus makin manusiawi.
“Technology makes life easier. But only hospitality makes life feel warmer.” – Jeffrey Wibisono V.
Inilah masa depan industri kita: bukan sekadar memuaskan ekspektasi, tapi menyentuh emosi.
Pitutur dan Harapan untuk Profesi Mulia Ini
“Enak e yok opo?” bukan basa-basi. Ia adalah teknik penilaian paling jujur. Ia adalah filosofi untuk memandang dari hati orang lain, bukan dari zona nyaman kita sendiri.
Dalam industri pariwisata dan perhotelan, kita tidak sekadar mencatat booking dan menghitung GOP. Kita mencatat detak emosi, dan menghitung nilai kebermaknaan.
Maka, selama kita masih mau bertanya “enak e yok opo?” dengan tulus, industri ini akan tetap punya harapan. Bukan hanya sebagai sektor ekonomi—tetapi sebagai ladang kebaikan, tempat setiap rasa bisa tumbuh menjadi kesan, dan setiap kesan menjadi kenangan.
Catatan Penulis:
Tulisan ini dipersembahkan bagi para pemimpin, praktisi, dan generasi baru hospitality Indonesia. Semoga menjadi suluh kecil dalam menjadikan industri ini bukan hanya tempat bekerja, tapi tempat mengabdi dengan rasa.
Jember, 20 Mei 2025