Hari Ketika Aku Memilih Diriku Sendiri
“Tak perlu dentuman untuk menjadi penting. Kadang perubahan terbesar dimulai dari diam yang sangat panjang.” — Catatan Nadira
Senyap yang Tak Lagi Bisa Dielakkan
Jakarta, pukul 05.43 pagi.
Langit masih menggantungkan gelapnya, enggan benar-benar terang. Udara lembap, nyaris dingin, menusuk ujung jari. Aku duduk di beranda kecil apartemen lantai 18. Sendiri. Tanpa kopi, tanpa musik, tanpa ponsel. Hanya aku dan diriku.
Ada yang berbeda pagi itu. Sesuatu yang tak bisa kulukiskan. Seperti luka yang mendadak berhenti berdarah, bukan karena sembuh… tapi karena sudah terlalu kering untuk dilukai lagi.
Aku menatap langit. Seperti menunggu sesuatu yang tidak tahu apa. Padahal hari itu hanya Senin biasa. Kantor tetap menunggu. Tugas tetap menggunung. Tapi aku tahu, hari itu akan berubah arah.
Aku sedang bersiap menyudahi sesuatu. Bukan hubungan, bukan pekerjaan. Tapi… kebiasaan. Kebiasaan menyakiti diriku sendiri atas nama cinta dan pengorbanan.
Namaku Nadira: Manusia Tanpa Tanda Bahaya
Di mata banyak orang, aku perempuan yang kuat. Tegas. Terorganisir. Tak pernah telat bayar tagihan. Rapi mencatat to-do list. Bisa mengelola tiga proyek bersamaan tanpa jatuh sakit.
Tapi mereka tidak tahu, betapa sering aku bangun tengah malam dan menangis dalam gelap. Betapa sering aku menatap langit-langit kamar dengan dada sesak, bertanya: “Apa aku cukup?”
Aku hidup dalam narasi memberi. Memberi waktu, tenaga, bahkan emosi—pada semua orang. Pada Raga, lelaki yang kuanggap rumah padahal ia tak pernah mengizinkanku mengetuk pintunya.
Ia datang hanya saat butuh. Saat dunia tak memeluknya. Lalu pergi saat senyumku kembali utuh. Seolah aku ini stasiun pemberhentian, bukan tujuan.
Tapi aku terus membuka pintu. Membujuk diri bahwa cinta memang seperti itu. Memberi tanpa meminta. Bertahan walau dilupakan.
Sampai akhirnya aku kehabisan alasan.
Saat Napas Menjadi Nyata
Pagi itu, Raga kembali mengirim pesan. Isinya seperti biasa. Pendek. Dingin. Permintaan mendadak untuk membantu presentasi proyeknya.
Aku menatap layar ponsel cukup lama. Tak langsung membalas. Tidak juga marah. Hanya hening yang perlahan masuk ke celah-celah pikiranku.
Lalu aku menulis satu kalimat:
“Maaf, aku tidak bisa.”
Dan kukirim.
Sederhana. Tapi getaran yang kuterima luar biasa. Seperti suara kaca pecah di tengah malam yang sunyi. Setelahnya, tidak ada ledakan. Tidak ada air mata. Tidak ada pelukan. Tidak ada penjelasan.
Hanya satu tarikan napas yang terasa benar-benar milikku.
Hari itu, aku izin kerja. Bukan karena sakit, tapi karena ingin pulang—ke dalam diriku sendiri.
Rumah Paling Sepi: Diri Sendiri
Aku pulang ke rumah ibuku di Bogor. Rumah yang tenang, penuh kenangan masa kecil. Di sana aku diam, berjalan ke halaman belakang, duduk di bawah pohon jambu air, dan memejamkan mata.
Bayangan masa kecilku muncul. Nadira kecil yang suka memeluk kucing jalanan, yang senang hujan-hujanan, yang tertawa lepas hanya karena melihat pelangi.
Kapan terakhir kali aku membiarkan diriku sebahagia itu?
Kapan aku berhenti mencintai diri ini?
Dan aku menangis. Bukan tangisan kecewa. Tapi tangisan pertemuan. Seperti dua orang sahabat lama yang akhirnya bertemu lagi setelah lama tersesat.
Hari itu aku berjanji pada diri sendiri:
“Maaf, aku telah lama meninggalkanmu. Tapi kali ini, aku akan bertahan untukmu.”
Proses yang Tak Pernah Instan
Mereka bilang mencintai diri sendiri itu mudah. Tapi tidak. Prosesnya panjang, sering menyakitkan, dan kadang terasa egois. Tapi aku menjalaninya.
Aku mulai dari hal kecil. Tidur cukup. Membalas chat sesuai kapasitas. Menolak jika tak sanggup. Makan makanan yang kubuat sendiri, bukan pesan cepat saji. Menulis jurnal malam sebelum tidur. Mematikan notifikasi media sosial saat akhir pekan.
Aku belajar bilang tidak, tanpa rasa bersalah.
Aku belajar memeluk diri sendiri, tanpa menunggu pelukan orang lain.
Dan yang paling penting—aku berhenti membujuk dunia.
Raga, dan Orang-Orang Seperti Dia
Raga kembali, tentu saja. Dengan “maaf” yang terdengar seperti formalitas. Dengan kalimat, “Aku butuh kamu.” Tapi kali ini aku tak menjawab.
Karena untuk pertama kalinya, aku tak merasa perlu. Bukan karena benci. Tapi karena aku memilih siapa yang layak tinggal di dalam ruang tenangku.
Dan Raga, bukan salah satunya.
Begitu juga mereka yang hanya datang saat terang, tapi menghilang ketika aku butuh cahaya.
Kini Aku Bernapas Lagi
Mereka bilang aku berubah. Nadira yang dulu lembut dan mudah dimintai tolong, kini lebih memilih diam dan menjaga jarak.
Benar. Aku berubah. Karena aku akhirnya sadar:
Menjadi baik bukan berarti harus habis-habisan.
Menjadi penyayang bukan berarti tak boleh punya batas.
Dan mencintai bukan berarti kehilangan akal sehat.
Aku masih mencintai dunia, tapi kali ini tanpa melupakan diri sendiri.
Akhir yang Baru: “Dan Semuanya Berubah”
Tak ada kembang api.
Tak ada applause.
Tak ada postingan motivasi viral.
Hanya hari-hari yang lebih damai. Senyum yang tak dipaksakan. Tidur malam yang lebih nyenyak. Tangis yang lebih jujur. Langkah yang lebih mantap.
Dan setiap kali aku berkaca, aku temukan seorang perempuan yang akhirnya memilih dirinya sendiri.
Dan itu, cukup.
“Bukan dunia yang berubah, tapi aku yang akhirnya memilih hidup di dalam dunia yang tak membuatku merasa kecil.” — Refleksi Nadira
.
.
.
Jember, 7 Juni 2025
.
.
.
#CerpenReflektif #SelfHealing #TereLiyeInspired #MentalHealthJourney #CerpenIndonesia #BlogMotivasi #SelfLove #BeraniMemilihDiri #CintaSehat #CatatanHati #HealingWithWords