Sampai Hanya Tinggal Dua

Tak semua teman layak diperjuangkan. Yang menghilang saat kita diam, yang tak hadir saat kita jatuh—mereka hanya penumpang. Tapi yang tetap tinggal meski tak diminta—itulah rumah.

TAKUT KEHILANGAN YANG SALAH

Jakarta, pukul delapan malam. Lampu-lampu gedung menyala gemerlap, tapi di dalam kamar kontrakan lantai tiga itu, cahaya hanya datang dari layar laptop yang terbuka di meja kerja. Ray duduk di kursinya, bersandar lelah, mata menatap folder yang bertuliskan: “Project Lama”.

Di layar ponsel yang tergeletak di sebelah cangkir kopi hitam, tidak ada notifikasi yang muncul. Tidak ada pesan baru, tidak ada panggilan tak terjawab. Hening. Dan anehnya, Ray mulai terbiasa dengan itu semua.

Dulu, Ray sangat takut jika tidak ada yang menyapa. Takut jika tidak diajak nongkrong. Takut jika tiba-tiba dikeluarkan dari grup WhatsApp. Tapi sekarang, ia tahu, ketakutan itu bukan karena kehilangan orang lain, tapi karena ia takut kehilangan pengakuan.

RAY DAN IAN, DUA YANG TIDAK SEMPURNA

Ray, 33 tahun, desainer grafis lepas yang dulunya sangat aktif di komunitas seni dan sosial. Selalu hadir di acara, dikenal semua orang, punya ratusan relasi. Tapi semua itu semu. Ketika pandemi datang dan proyek hilang satu per satu, Ray mendadak sepi. Dan yang paling menyakitkan, bukan sepinya pekerjaan, tapi sepinya kabar dari mereka yang dulu katanya “sahabat”.

Ian, 34 tahun, sahabat lama Ray sejak kuliah. Seorang penulis naskah dan ilustrator lepas. Tak banyak bicara, jarang tampil di media sosial, tapi selalu hadir di saat paling dibutuhkan. Dalam sunyi, Ian seperti jangkar bagi Ray. Tak pernah menuntut, tak pernah menghakimi.

“Aku nggak banyak temen, Ray. Tapi yang ku punya, kujaga,” ujar Ian suatu malam saat mereka bertemu di kafe kecil di sudut Tebet.

KETIKA LINGKARAN MULAI MENGECIL

Segalanya mulai runtuh ketika Ray memutuskan untuk berhenti dari semua kegiatan komunitasnya. Ia kelelahan. Lelah menjadi orang yang terus hadir, tapi tidak pernah dicari saat menghilang. Lelah jadi penghubung antar teman, tapi tidak pernah dihubungi duluan.

Seiring waktu, satu per satu orang mulai menjauh. Grup-grup WhatsApp tak lagi ramai. Tidak ada yang bertanya kabar. Tidak ada yang peduli saat ia sakit. Ia mengira dirinya terlalu sensitif, sampai akhirnya menyadari: memang tidak semua orang ingin tinggal. Sebagian hanya mampir karena ada sesuatu untuk diambil.

“Kamu terlalu mikirin semua orang, Ray. Sampai lupa dirimu sendiri butuh diperjuangkan juga,” kata Ian pelan, sambil menyeruput kopinya.

MEMBANGUN DARI LUKA

Dari titik terendah itulah, Ray dan Ian mulai membangun sesuatu yang sederhana tapi bermakna: Lingkaran Dua. Sebuah kanal reflektif yang berisi ilustrasi dan tulisan-tulisan pendek bertema pemulihan, kehilangan, dan pencarian diri.

Awalnya hanya mereka berdua yang mengelola. Ray membuat ilustrasi, Ian menulis narasi. Mereka tak menargetkan viewer, hanya ingin jujur. Caption-caption mereka singkat tapi menusuk:

  • “Bukan kamu yang terlalu sensitif. Dunia saja yang terlalu kasar.”
  • “Teman sejati tidak ribut ketika kamu diam. Dia akan mengetuk, bukan mendobrak.”

Perlahan, akun itu mulai tumbuh. Tidak viral. Tapi setiap komentar yang masuk, selalu dalam:

“Mas, terima kasih sudah membuat saya merasa tidak sendirian.”

“Saya laki-laki. Tapi saya menangis baca tulisan ini.”

Dan itu cukup.

SAMPAI HANYA TINGGAL DUA

Dua tahun berlalu.

Lingkaran Dua tetap berdiri. Followers-nya kini puluhan ribu, bukan karena strategi marketing, tapi karena kejujuran yang mereka bawa. Ray tidak lagi mencari pengakuan. Ia tidak lagi terganggu jika tidak diundang. Ia tidak merasa kehilangan siapa-siapa.

Karena yang tersisa… justru yang paling layak dipertahankan.

Hari ulang tahunnya ke-35, Ray hanya menerima dua pesan:

  1. Dari Ian: “Selamat ulang tahun, Ray. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Dunia butuh lebih banyak orang sepertimu.”
  2. Dari seorang pengikut Lingkaran Dua: “Kak, aku selamat dari keputusan terburuk dalam hidupku karena membaca postingan kalian. Terima kasih.”

Ray membaca pesan itu sambil tersenyum kecil. Di balkon apartemennya, ia menatap langit malam dengan perasaan penuh. Bukan karena ramai. Tapi karena tenang.

 

“Jangan takut kehilangan yang memang bukan untukmu. Takutlah kehilangan dirimu sendiri karena terlalu sibuk mempertahankan yang palsu.”

“Cukup dua yang tinggal, jika dua itu yang benar-benar ikhlas.”

.

.

.

Jember 16 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CeritaPriaDewasa #LingkaranDua #SahabatTulus #RefleksiDiri #CerpenEmosional #SupportSystem #SmallCircleStrong #HealingUntukLelaki

 

 

Leave a Reply