Selama Nafas Masih Ada

“Jangan biarkan angka membuatmu berhenti melangkah. Usia hanyalah bilangan, bukan batasan mimpi.”
“Hidup tidak pernah terlambat, kecuali kamu berhenti mencoba.”

.

Subuh merayap seperti bisikan, dan kota Jogja bangun pelan—suara motor ojek menyalakan gas di gang sempit, sapu lidi menyentuh paving yang belum sepenuhnya kering dari embun, dan tukang sayur memecah senyap dengan klakson kecil yang serak. Di rumah kecil di sudut perumahan lama dekat Ringroad Utara, Brotoseno berdiri di depan cermin kamar mandi. Tulisan spidol hitam yang mulai pudar terbaca jelas: Hidup tidak pernah terlambat, kecuali kamu berhenti mencoba. Ia mengangguk pelan, seperti menyepakati perjanjian yang baru saja diperbarui tiap pagi.

Usianya enam puluh empat. Rambutnya mulai putih di tepi, kulit di kedua tangannya memperlihatkan garis-garis yang tak bisa dibohongi. Tetapi sorot matanya—tenang, tajam, kadang nakal—membuat waktu seperti melangkah mundur. Sepatu jogging yang solnya menipis ia kenakan tanpa keluh, dan ia keluar, menyapa udara yang dinginnya tidak menyakitkan, melainkan mengingatkan bahwa paru-parunya masih setia bekerja. Di depan rumah, pot-pot tanaman gantung berayun tertahan; kamboja melepaskan aroma tipis yang bercampur kopi hitam tanpa gula dari cangkir enamel yang ia cicip sesaat.

“Urip iku urup. Urip sing migunani tumraping liyan,” gumamnya. Hidup harus menyala, bukan sekadar menyala untuk diri sendiri, namun menjadi api kecil yang menyulut lampu-lampu di sekitarnya.

.

Surat yang Memerdekakan

Delapan tahun lalu, kantor pusat perusahaan tempat Brotoseno bekerja tidak pernah sepi dari bunyi lift dan langkah sepatu kulit. Di ruangan ber-AC yang selalu tercium wangi disinfektan dan kopi premium, Brotoseno duduk sebagai manajer keuangan yang paling rapi arsipnya. Gajinya besar, bonus tahunan manis, dan mobil dinas selalu terparkir di baris depan. Senin, pukul sembilan lewat lima, ia mengetuk pintu HRD dengan sebuah amplop putih.

“Raden Brotoseno… Anda serius?” Direktur HRD, lelaki yang selalu menyisakan cologne beraroma citrus di udara, menaikkan alis. “Tiga tahun lagi pensiun. Sayang sekali.”

“Justru karena tinggal tiga tahun lagi.” Suara Brotoseno tenang. “Saya tak ingin menghabiskannya dengan menunggu pensiun seperti menunggu halte yang tak kunjung dilewati bus. Saya ingin mengisi hidup saya, bukan menunggunya selesai.”

Ia ingat sekali bagaimana napasnya tetap stabil ketika tanda tangan terakhir menari di kertas. Tidak ada drama. Hanya kebebasan yang mengalir, seperti keringat pertama yang menetes setelah lari panjang. Kabar pengunduran diri itu menyebar cepat. Grup WhatsApp kantor mendidih oleh emoji kaget dan kalimat klise. Anak-anaknya sempat bingung, cemas, bahkan bertanya apakah ayah mereka sedang menafsir merdeka sebagai nekat. Tapi Brotoseno sudah lama paham satu hal: waktu yang tersisa tak bisa dibeli ulang.

“Sepi ing pamrih, rame ing gawe,” katanya pada dirinya sendiri, menutup pintu kantor untuk terakhir kalinya.

.

Kafe, Coding, dan Kota yang Menyembuhkan

Hari-hari setelahnya ia habiskan di kafe kecil dekat UGM—kafe dengan lampu gantung yang temaram, mural hitam-putih yang mengutip puisi, dan meja kayu yang permukaannya penuh goresan bekas gelas. Di sudut dekat jendela, Brotoseno menaruh laptop tua dengan beberapa stiker yang mulai mengelupas: Langkah Kedua, nama blog yang baru ia mulai. Ia menulis dengan disiplin yang sama seperti dulu ia menutup buku kas: konsisten, teliti, tanpa tergesa.

Suatu sore, barista berkacamata dengan rambut gondrong rapi mendekat. Namanya Wirapati, mahasiswa informatika yang bekerja paruh waktu.

“Pak, kalau boleh tahu, tiap hari nulis apa?” tanyanya, sambil memeriksa suhu susu dengan termometer kecil.

“Isi kepala,” jawab Brotoseno, tersenyum. “Kalau tidak ditulis, dia mengendap jadi beban.”

Percakapan-percakapan kecil itu menjalar menjadi kebiasaan. Wirapati mengajari dasar-dasar membuat blog yang lebih rapi, memperkenalkan Python, dan bagaimana mengatur hosting murah. Di usia lima puluh sembilan, Brotoseno meluncurkan platform edukasi keuangan untuk UMKM: modul-modul sederhana, video pendek yang direkam di ruang tamu, dan template pembukuan yang bisa diunduh gratis.

“Aja dumeh, aja gumunan, aja kagetan,” ia menuliskan mantra Jawa itu di halaman About. Jangan merasa paling hebat, jangan mudah terpukau, jangan gampang terkejut. Di kolom komentar, para pemilik warung, pengrajin batik, dan pedagang online berterima kasih. Ia menjawab satu per satu, dengan sabar, tanpa merasa seperti guru. Ia lebih suka menyebut dirinya—teman yang sedikit lebih dulu berjalan.

Di kota, suara angkot yang makin jarang terdengar, rapat-rapat daring di coworking space, mural jalan yang berubah tiap bulan, dan sore-sore di Taman Kuliner yang kian ramai menjadi latar tempat ia memulihkan diri dari ritme korporat yang dulu merenggut banyak Sabtu. Jogja memberinya kesempatan kedua: untuk berjalan pelan, memperhatikan wajah-wajah di lampu merah, menduga cerita mereka, dan menulis dengan hati yang tak lagi minta maaf pada ambisi.

.

Cinta yang Datang Tanpa Mengetuk

Enam tahun lalu, Rarasati—pasangan hidupnya sejak usia dua puluh empat—menutup mata dengan tenang setelah melawan sakit yang tidak bisa mereka namai tanpa air mata. Sejak itu rumah terasa kehilangan suara paling akrab: sendok yang bertemu gelas di pagi hari, tawa yang meledak karena hal remeh, dan doa-doa yang dirapal dengan suara setengah berbisik. Kopi menjadi hambar. Sepi menjadi wangi yang menyengat.

Di sebuah kegiatan sosial donor buku, ia bertemu Dewi Andansari. Rambutnya pendek dengan uban yang dibiarkan anggun, jarinya berlumur cat air ketika menyusun buku dongeng bergambar untuk anak-anak. Ia tersenyum seperti orang yang selalu punya matahari di sakunya. Mereka bicara tentang puisi Sapardi, tentang aroma hujan di aspal, tentang palette warna senja di Tugu. Satu kalimat Andansari menempel di dinding hati Brotoseno: “Kita bisa tua bersama tanpa harus merasa tua di dalam.”

Cinta datang bukan untuk menggantikan, melainkan untuk menemani. Mereka tidak terburu-buru. Tidak ada cincin yang dipamerkan, tidak ada janji yang dikejar. Ada dua cangkir teh di teras setiap sore Sabtu, dua pasang sepatu yang berjejer di pintu, dan dua hati yang saling mengingatkan untuk hidup dengan pelan tapi utuh. Andansari menuliskan cat kecil di kertas Post-it yang ia tempel di rak buku: “Tresna sejati ora diomongke, nanging dirasakake lan ditindakake.” Cinta sejati tak banyak bicara, ia bekerja diam-diam.

.

Nafas yang Mencari Puncak

Brotoseno punya janji lama pada dirinya: mendaki gunung. Janji yang ditunda-tunda seperti utang yang tidak dilupakan. Di ulang tahunnya yang ke-63, ia mulai menghitung ulang jarak. Pagi-pagi sebelum matahari malas, ia jogging mengelilingi perumahan, belajar yoga dari video yang disetel pelan di ruang tamu, dan mencatat kemajuan kecil di buku catatan: sit-up 20 → 30, nafas 5-7-8 → lebih stabil.

“Pak serius, mau naik gunung?” Wirapati menggodanya, menaruh dua gelas latte di meja.

“Aku hanya ingin tahu sejauh mana batasanku. Kalau tidak kuketuk, bagaimana aku tahu pintunya bisa dibuka?” jawab Brotoseno.

Merbabu menjadi tujuan. Bukan yang tertinggi, tetapi cukup untuk menanyakan kesungguhan. Tenda dipinjam dari komunitas hiking kampus. Sepatu pinjaman menyesuaikan kaki yang sudah sangat akrab dengan sandal jepit. Di jalur pendakian, napasnya sempat patah-patah, lututnya protes seperti anak kecil yang ngambek. Namun setiap kali ia hendak berhenti terlalu lama, Andansari—yang menunggu kabar lewat chat—mengirim pesan pendek: “Pelan boleh. Mundur jangan.”

Pagi itu puncak tidak hanya menawarkan panorama awan yang diseka angin, tetapi juga janji yang ditagih lunas. Brotoseno menangis tanpa suara. Bukan karena lelah. Karena akhirnya ia menepati janji pada seseorang yang paling sulit ia bohongi: dirinya sendiri.

“Sura dira jaya ningrat, lebur dening pangastuti,” bisiknya. Keberanian dan kekuasaan luluh oleh kelembutan. Ia tersenyum pada matahari, pada gunung, pada dirinya yang bertahan.

.

Menulis Ulang Takdir

Platformnya berkembang pelan. Ia menulis buku kedua: Tidak Ada Kata Terlambat, Kecuali Kamu Menyerah. Bukan kisah sukses, melainkan kisah gugup yang dipelihara, malu yang dipahami, dan takut yang dirangkul. Ia bercerita tentang pertama kali gagal upload video karena sinyal; tentang komentar pedas yang menyuruhnya “sudahi saja, Pak, ini bukan masanya”; tentang malam-malam ketika ia bertanya apakah yang ia lakukan sungguh berguna.

Buku digital itu terjual sederhana. Komunitas UMKM mengundangnya berbicara. Ia menolak honor pada beberapa kesempatan, meminta panitia menukar uangnya dengan paket sembako untuk dibagikan. “Wani ngalah luhur wekasane,” katanya. Berani mengalah bukan berarti kalah, tetapi memilih kemuliaan di ujungnya.

Di pasar Giwangan, ia duduk mencatat arus kas seorang penjual sayur yang konsisten bangun jam dua pagi. Di Tamansiswa, ia membantu pengrajin kulit membuat price list yang tidak asal menebak. Di gang kecil dekat Kotagede, ia mengajari anak-anak front-end sederhana agar mereka bisa membuat halaman produk untuk ibu-ibu yang menjual cemilan. Ia mengerti: kegunaan sering kali ada dalam hal paling tidak berisik.

.

Viral yang Datang di Tengah Jalan

Suatu sore, sambil menunggu Andansari selesai mengajar melukis sukarelawan, Brotoseno membagikan beberapa eksemplar buku cetak murah di taman kota. Seorang pemuda merekam dari jauh, tanpa sengaja, lalu mengunggahnya ke media sosial dengan caption: “Pak ini tiap minggu bagi-bagi buku gratis. Katanya usia bukan alasan berhenti belajar. Respect.” Video itu viral. Pagi berikutnya, ada kru TV lokal mengetuk pagar rumah.

“Pak Brotoseno, apa yang membuat Bapak tetap aktif dan terus belajar di usia ini?” tanya pembawa acara dengan senyum menular.

Brotoseno mengedipkan mata sebentar, menahan lucu karena kamera terlalu dekat. “Karena saya belum mati,” jawabnya sederhana. “Dan saya ingin hari terakhir saya—kapan pun itu—tetap punya makna.”

“Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” Harga diri ada pada tutur kata, hormat badan pada kebersahajaan tampilan. Ia mengenakan batik sederhana dan sepatu yang disemir seadanya. Di balik kata-kata tenangnya, kota menangkap sesuatu: bukan nasihat, melainkan ajakan duduk sebentar dan menata ulang napas.

Viral membawa bising—telepon tak henti, undangan masuk bertubi. Di tengah itu semua, ia membuat batas. No plus-plus, tulisnya bercanda di kalender. Ia hanya datang ke acara yang membuka pintu untuk orang-orang yang dulu tidak diundang ke ruang besar: komunitas difabel, single parent, guru-guru honorer yang membiayai hidup dari les privat.

.

Luka yang Mengajarkan Cara Merangkul

Suatu malam, Brotoseno mengalami sesak di dada. Ringan, seperti digenggam keras oleh tangan nakal. Di IGD, neon selalu terlalu putih. Dokter muda menanyakan umur dan riwayat seperti mesin pencatat absen. Hasil tes tidak menakutkan, tetapi mengharuskan ia lebih disiplin: makanan, olahraga, tidur. Dalam diam, Andansari duduk menggenggam tangannya. “Kita boleh tua. Tapi kita tidak boleh sembrono,” katanya.

Di ranjang rumah sakit itu, Brotoseno menulis kalimat baru dengan jempolnya di ponsel: “Jangan sakiti tubuhmu yang diam-diam sudah mengalah berkali-kali untuk menepati mimpimu.” Ia mengunggahnya ke blog. Komentar masuk: doa-doa, cerita tentang bapak yang wafat mendadak, tentang ibu yang terlambat memeriksakan diri. Ia membalas satu per satu, menyimpan beberapa kisah di folder berjudul “Yang Mengingatkan.” Di kota yang bergerak cepat, ia belajar menyayangi pelan: tubuh, hati, orang lain.

.

Hari yang Menentukan Arah

Di ruang keluarga yang menghadap halaman kecil, Brotoseno menggelar meja lipat untuk kelas gratis Sabtu pagi: Keuangan Rumahtangga Tanpa Drama. Ada ibu-ibu muda, ada tukang parkir yang mencatat pendapatan harian di buku tulis anaknya, ada mahasiswa akhir yang terjerat kartu kredit. Di dinding, Andansari menempel kutipan yang mereka pilih bersama:

“Luwih becik urip saderhana nanging migunani, tinimbang urip mewah tanpa makna.”

Setiap sesi ditutup dengan satu praktik kecil. Minggu ini, mereka menulis surat ke diri sendiri.

“Pak, suratnya ditulis pakai apa?” tanya seorang pemuda yang memelihara kumis tipis.

“Pakai jujur,” jawab Brotoseno. “Bahasanya sederhana saja. Tapi jangan berhutang pada kepalsuan.”

Sebelum bubar, seorang bapak yang bekerja sebagai satpam di kampus maju bergetar. “Pak, saya ingin sekolah lagi. D3 malam. Tapi umur saya…” Kalimat itu tidak selesai.

“Usia itu angka yang memandu kita berhati-hati,” sela Brotoseno, “bukan alasan berhenti. Kalau bapak kuat untuk malam-malam menjaga gerbang, bapak juga kuat untuk malam-malam menjaga mimpi.”

Bapak itu menunduk, menangis seperti seseorang yang baru saja diberi izin pulang.

.

Kota yang Menyimpan Janji

Malam Jogja menyimpan janji pada suara. Di Nol Kilometer, buskers menyanyikan lagu-lagu yang mengingatkan kita pada orang yang tidak lagi duduk di sebelah. Di Malioboro, lampu-lampu seperti menyalin bintang ke trotoar. Di bantaran Code, anak-anak bersepeda dengan lampu kecil berkedip-kedip, seperti kunang-kunang yang terlatih. Brotoseno dan Andansari berjalan pelan. Mereka tidak pernah bosan pada pemandangan yang sama, karena hati manusia selalu berubah, dan yang sama hari ini akan berbeda besok.

“Kalau suatu saat aku mendahuluimu,” kata Andansari, pelan, “jangan berhenti minum teh sore di teras. Dan jangan berhenti menulis.”

Brotoseno menggenggam jemari yang hangat itu. “Kalau aku yang duluan,” katanya, “jangan berhenti tertawa. Tawa itu doa yang paling tidak menyakitkan.”

.

Puncak yang Tidak Tertulis di Peta

Ada puncak yang tidak perlu dicari di peta. Puncak yang berada di dalam—yang hanya bisa dicapai ketika kita menoleh ke belakang dan mengakui luka, lalu menatap ke depan dan mengizinkan harapan. Pada ulang tahunnya yang ke-64, Brotoseno dan Andansari hanya merayakan dengan dua potong roti bakar dan doa pendek. Ia tidak lagi gentar pada kalender, karena yang melangkah bukan angka, melainkan niat.

Wirapati datang membawa kado: sepatu trail running baru. “Pak, kalau mau naik gunung lagi, jangan pakai sepatu pinjaman,” katanya menggoda. Mereka bertiga tertawa. Di teras, kamboja menjatuhkan bunganya tepat di sisi cangkir.

“Pak,” tanya Wirapati setelah tawa reda, “kalau suatu saat saya capek, dan semua ini terasa tidak ada gunanya, saya harus bagaimana?”

“Bernafas,” jawab Brotoseno. “Selama nafas masih ada, engkau belum selesai. Ambil satu langkah. Kadang satu langkah itu cukup untuk menyambung hari.”

Malam itu, ketika kota pelan-pelan meredup, Brotoseno menulis kalimat terakhir di buku catatan hari itu: “Aku belum selesai. Aku masih bernapas. Maka aku masih bisa.” Ia menutup buku, mematikan lampu, dan membiarkan gelap menjadi selimut yang mengajarkan kita memercayai pagi.

.

Kita Belum Selesai

Tahun berganti bukan seperti pintu yang dibanting, melainkan tirai yang digeser perlahan. Jam menua menjadi teman yang harum sabar, bukan ancaman. Di Sabtu-Sabtu mereka, bukit kecil di pinggir kota menjadi tempat dua pasang kaki belajar rendah hati: kaki yang tidak mengejar puncak, tetapi memeluk proses. Mereka berhenti untuk menatap sawah yang berubah jadi perumahan, untuk menghela napas ketika angin berlari, untuk mengakui bahwa kehilangan adalah cara lain dari semesta untuk mengingatkan bahwa cinta pernah tinggal.

Jika suatu hari kamu merasa telat, merasa semua stasiun sudah terlewati, ingatlah Brotoseno yang menulis di cermin kamar mandi: Hidup tidak pernah terlambat, kecuali kamu berhenti mencoba. Tulislah juga kalimatmu sendiri, dengan tulisanmu yang paling jujur. Tempelkan di tempat yang setiap hari kamu lihat. Biarkan ia menjadi saksi ketika kamu jatuh dan bangun, ketika kamu tertawa dan menangis.

Karena sesungguhnya, kita ini belum selesai. Selama nafas masih ada, ada yang bisa kita lanjutkan: belajar, memaafkan, menyusuri jalan pulang, atau menempuh rute baru yang dulu tidak berani kita hampiri.

Dan ketika kelak seseorang bertanya apa yang membuatmu bertahan, mungkin jawabanmu sesederhana kalimat yang Brotoseno ucapkan di depan kamera: “Karena aku belum mati.” Lalu tambahkan dalam hati, agar seluruh tubuh mendengar: “Dan karena aku ingin hidupku berarti, bahkan di hari terakhir sekalipun.”

“Sepi ing pamrih, rame ing gawe.”
“Wani ngalah luhur wekasane.”
“Urip iku urup.”
“Luwih becik urip saderhana nanging migunani, tinimbang urip mewah tanpa makna.”

Dan kota akan tetap berjalan, motor-motor akan tetap berangkat, langit akan tetap menua dan muda kembali. Namun di sudut rumah kecil di Jogja, di teras dengan dua cangkir teh, ada dua manusia yang mengajarkan kita cara paling manusiawi untuk menang: dengan tidak menyerah.

.

.

.

Jember, 30 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #Jogja #UsiaBukanBatasan #SelamaNafasMasihAda #MotivasiHidup #FilosofiJawa #CintaDewasa #UMKM #Merbabu

Leave a Reply