Cinta Tanpa Tembang

“Yang kamu butuhkan bukan hadiah mahal. Tapi kehadiran yang tahu kapan kamu ingin ditanya—bukan karena butuh, tapi karena dihargai.”

.

Rumah Bernama Janaka

Di sebuah sudut kota kecil, tinggal sepasang suami istri yang telah menikah dua belas tahun. Sinta dan Rama, bukan tokoh legenda dalam epos, tapi manusia biasa dengan beban harapan yang lebih nyata dari dongeng. Sinta, seorang wanita sederhana yang bekerja sebagai resepsionis hotel bintang empat, selalu berusaha tampil rapi, sopan, dan menyenangkan tamu. Ia tidak menuntut banyak, bahkan terlalu sering memendam.

Sementara Rama, suaminya, adalah petugas keuangan di kantor pemerintahan. Seorang pria baik—kalau diukur dari tanggung jawabnya membayar listrik, cicilan rumah, dan antar jemput anak sekolah. Tapi dalam batin Sinta, ada ruang yang lama-lama terasa kosong. Bukan karena kurang cinta, melainkan kurang perhatian.

“Aku tidak butuh dibelikan tas branded, aku cuma ingin kamu pernah tanya, ‘Sayang, mau beli bedak?’” — Sinta, suatu malam dalam diamnya.

Dandan Tanpa Ditanya

Di ruang kerja hotel, Sinta sering jadi tempat curhat teman-temannya. Kadang, ia tersenyum sambil mendengarkan cerita betapa suami mereka membelikan lipstik favorit, atau sekadar menanyakan, “Sudah punya sepatu baru belum?” Lalu Sinta mengangguk sambil menahan satu rasa—yang bahkan tak bisa ia sebutkan: iri.

Setiap kali ia ingin beli sesuatu, ia selalu menabung sendiri. Gajinya cukup, tapi rasanya berbeda ketika itu bukan dari suami. Bukan tentang nominal, tapi tentang rasa.

Kenapa tak pernah ditanya?

Kenapa tak pernah ditawari?

Apakah ia terlalu kuat hingga tak pantas diberi?

“Beberapa perempuan tidak ingin dimanjakan. Tapi semua perempuan ingin dihargai keinginannya tanpa harus memintanya.”

Lakon Rahwana di Dalam Rumah

Rama tidak jahat. Tapi entah kenapa, Sinta merasa seperti dikurung oleh suasana yang dingin. Di hadapan publik, Rama adalah pria ideal. Tapi di rumah, ia seperti Rahwana—bukan karena kekerasannya, tapi karena egonya yang selalu merasa dirinya sudah cukup memberi.

Suatu malam, saat Sinta menaruh lotion di wajahnya, Rama nyeletuk, “Lotion mahal-mahal begini buat siapa sih?”

Sinta diam. Dalam hatinya ingin menjawab: “Untukku, agar aku tetap merasa layak berdiri di sampingmu.”

Tapi ia hanya tersenyum. Lagi-lagi memilih diam.

“Kadang yang menyakitkan bukan karena tidak diberi, tapi karena selalu harus meminta atau menjelaskan alasan kenapa ingin.”

Kain Baru yang Tak Pernah Dibelikan

Tahun ini ulang tahun pernikahan mereka ke-13. Di hotel tempat Sinta bekerja, ia mendapat voucher diskon 40% untuk membeli batik dari butik lokal. Ia membeli sehelai kain indah warna biru tua dengan motif kawung, berharap suaminya akan memperhatikannya, atau sekadar bertanya, “Kamu beli di mana? Boleh aku traktir?”

Tapi yang datang malah ucapan singkat, “Oh, baru ya?”

Itu saja. Tanpa ekspresi. Tanpa rasa.

Sinta menggulung kain itu dan menyimpannya kembali. Ia tidak jadi menjahitnya.

“Apalah arti cantik jika tidak dilihat. Apalah arti usaha jika tidak dihargai.”

Laksamana dalam Hati

Di hotel, ada satu staf baru bernama Laksmana. Laki-laki muda, sopan, dan penuh empati. Ia tidak menggoda, tidak pula mengganggu. Tapi Laksmana sering memperhatikan hal-hal kecil yang Rama lewatkan.

“Bu Sinta, rambutnya baru ya?”
“Make-upnya soft, cocok banget sama warna kulit Ibu.”
“Udah makan siang belum, Bu?”

Kata-kata itu bukan rayuan. Tapi perhatian yang membuat hati Sinta gentar.

Karena hati perempuan itu seperti taman. Jika yang menanam lupa menyiram, maka yang lewat dan membawa air bisa membuatnya goyah.

Sinta sadar. Ia tak boleh jatuh pada perhatian semu. Tapi ia juga sadar, ia haus. Bukan cinta baru. Tapi rasa dihargai.

“Setia bukan karena tidak punya pilihan. Tapi karena memilih untuk tetap menyirami taman yang sama.”

Dialog Sunyi

Suatu malam, setelah anak-anak tidur, Sinta memutuskan berbicara.

“Mas, aku mau tanya satu hal…”

Rama menoleh tanpa ekspresi.

“Selama kita menikah, pernah nggak Mas nawarin aku beli baju? Atau make-up?”

Rama diam. Terlalu kaget.

Sinta melanjutkan, “Aku nggak marah. Aku cuma ingin tahu… kenapa nggak pernah?”

Rama menarik napas panjang. “Aku kira kamu nggak butuh. Kamu kan mandiri. Gajimu cukup.”

Sinta mengangguk pelan. “Tapi aku istrimu. Bukan partner kerja. Kadang, aku ingin kamu ingat, bukan aku yang harus minta.”

Malam itu sunyi. Tapi sunyi yang menyembuhkan.

“Komunikasi bukan tentang berbicara lebih banyak, tapi menyentuh yang selama ini tak terdengar.”

Hadiah dari Janaka

Seminggu kemudian, Rama pulang membawa satu tas kecil dari toko kosmetik lokal. Ia terlihat canggung.

“Ini… aku nggak tahu yang kamu suka. Tapi katanya ini bagus.”

Sinta membuka tas itu. Isinya bedak, lipstik nude, dan pelembab.

Ia menangis. Bukan karena harganya. Tapi karena akhirnya ia merasa dilihat.

“Perempuan tak butuh dunia. Kadang mereka cuma butuh ditanya: Apa yang kamu mau hari ini, Sayang?”

Pelan Tapi Nyata

Rama tak langsung berubah sempurna. Tapi sejak malam itu, ia belajar memperhatikan.

Kadang ia gagal.

Kadang masih lupa.

Tapi Sinta tahu, cinta bisa dilatih. Perhatian bisa dilatih. Selama masih mau belajar, maka rumah tangga bukan sekadar tempat pulang, tapi tempat berkembang bersama.

Di kamar, kain batik biru itu sudah dijahit jadi kebaya sederhana.

Dan ketika Rama melihat Sinta memakainya, ia tersenyum dan berkata:

“Kamu cantik banget.”

.

“Jangan menunggu perempuanmu meminta. Dengarkan dari diamnya. Lihat dari matanya. Karena yang ia inginkan bukan barang, tapi rasa menjadi bagian.”

.

.

.

Jember, 29 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenEmosional #CeritaSinta #RamayanaJawa #RumahtanggaSunyi #IstriSetia #CerpenBlog #CerpenIndonesia #KisahNyata #SintaDanRama #PerhatianItuCinta

Leave a Reply