Selama Nafas Masih Ada
“Jangan biarkan angka membuatmu berhenti melangkah. Usia hanyalah bilangan, bukan batasan mimpi.”
Begitulah tulisan besar yang terpampang di cermin kamar mandi rumah kecil milik Brotoseno. Setiap pagi, sebelum menyeduh kopi hitam tanpa gula dan mengenakan sepatu jogging-nya yang mulai aus, ia membaca kalimat itu dengan suara pelan namun mantap. Usianya? Enam puluh empat tahun. Tapi dari sorot matanya, waktu seolah sedang berjalan mundur.
Brotoseno tinggal di sudut perumahan lama di Jogja. Halamannya kecil, tapi tertata rapi dengan deretan pot tanaman gantung dan kursi bambu di bawah pohon kamboja. Orang-orang di lingkungan menyapanya dengan penuh hormat. Tapi juga bertanya-tanya, kenapa lelaki seusia itu masih terlihat begitu sibuk.
Teman-temannya sudah banyak yang pensiun dan memilih hidup tenang. Ada yang memelihara burung, ada pula yang menghabiskan hari dengan menonton TV. Tapi Brotoseno justru memulai sesuatu yang berbeda: menulis buku, belajar coding, bahkan melatih diri mendaki gunung. Bukan karena ingin melawan usia. Tapi karena ia menolak untuk hidup setengah-setengah.
“Urip iku urup. Urip sing migunani tumraping liyan.” (Hidup itu menyala, hidup harus memberi manfaat bagi sesama.)
Surat Pengunduran Diri yang Membebaskan
Delapan tahun lalu, Brotoseno masih menjabat sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan besar. Gajinya tinggi, tunjangan lengkap, dan mobil dinas selalu terparkir manis di depan rumah. Tapi pada suatu Senin pagi yang cerah, ia menyerahkan selembar surat pengunduran diri dengan tangan yang tidak gemetar sama sekali.
“Raden Brotoseno, Anda serius? Tiga tahun lagi pensiun lho, sayang banget,” kata direktur HRD padanya.
Brotoseno tersenyum tipis. “Justru karena tinggal tiga tahun lagi, saya tak mau menghabiskannya hanya dengan menunggu. Saya ingin mengisi hidup saya, bukan menunggunya selesai.”
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe.” (Tidak mengharap pamrih, tapi giat dalam berkarya.)
Kabar pengunduran dirinya menyebar cepat. Anak-anaknya pun sempat bingung. Tapi Brotoseno tak goyah. Ia tahu, waktunya tidak bisa dibeli ulang.
Kafe, Coding, dan Kesempatan Kedua
Setelah keluar dari pekerjaannya, Brotoseno menghabiskan waktu di kafe dekat kampus UGM. Di sana, ia menulis di laptop tuanya—awal mula blog pribadi berjudul “Langkah Kedua.” Di sinilah ia bertemu Wirapati, mahasiswa informatika yang bekerja paruh waktu sebagai barista.
“Pak, ngapain nulis terus tiap hari?” tanya Wirapati suatu sore.
“Biar kepala saya tetap hidup. Kalau nggak ditulis, pikiran saya bisa mengendap jadi beban.”
Mereka lalu sering berbincang, dan dari sana Brotoseno belajar banyak hal. Tentang membuat website, memahami dasar pemrograman Python, dan bagaimana cara merancang aplikasi sederhana.
Di usia 59, Brotoseno meluncurkan platform edukasi keuangan untuk UMKM. Gratis. Ia tak cari untung. Ia cari makna.
“Aja dumeh, aja gumunan, aja kagetan.” (Jangan merasa paling hebat, jangan mudah takjub, jangan mudah terkejut.)
Cinta yang Datang Lagi
Brotoseno kehilangan istrinya, Rarasati, saat usianya 56 tahun. Sejak itu, ia merasa rumah jadi sepi, kopi jadi hambar, dan hidup seperti kehilangan warna. Sampai ia bertemu Dewi Andansari, guru melukis sukarelawan yang ditemuinya di kegiatan sosial donor buku.
Andansari, wanita 51 tahun dengan rambut pendek beruban alami, berbicara dengan semangat yang mengalir hangat. Mereka bicara tentang seni, puisi, dan kehidupan. Satu kalimat dari Andansari membekas dalam hati Brotoseno: “Kita bisa tua bersama tanpa harus merasa tua di dalam.”
Cinta datang bukan untuk menggantikan, tapi menemani. Mereka tidak tergesa menikah. Tapi sejak itu, pagi Brotoseno tak pernah lagi sendiri.
“Tresna sejati iku ora diomongke, nanging dirasakake lan ditindakake.” (Cinta sejati itu tak banyak bicara, tapi dirasakan dan dilakukan.)
Mimpi Lama, Nafas Baru
Brotoseno punya mimpi yang disimpan dalam hati sejak muda: mendaki gunung. Tapi pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan usia membuatnya menunda terus. Sampai akhirnya, pada ulang tahun ke-63, ia mulai melatih fisiknya. Jogging setiap pagi. Sit-up, push-up, bahkan belajar yoga dari YouTube.
“Pak, serius mau naik gunung?” tanya Wirapati suatu hari.
“Aku hanya ingin tahu, sejauh mana batasanku. Dan siapa tahu, batas itu bisa kutembus.”
Tahun berikutnya, Brotoseno menjejakkan kaki di puncak Merbabu. Ia menangis. Bukan karena lelah, tapi karena akhirnya ia berhasil menepati janji pada dirinya sendiri.
“Sura dira jaya ningrat, lebur dening pangastuti.” (Keberanian dan kekuasaan akan hancur oleh kelembutan hati.)
Menulis Ulang Takdir Sendiri
Brotoseno mulai menulis buku keduanya, berjudul: “Tidak Ada Kata Terlambat, Kecuali Kamu Menyerah.” Buku itu bukan kisah sukses, melainkan kisah jatuh bangun, ketakutan, rasa malu saat belajar hal baru di usia senja, dan keberanian membuka hati untuk kemungkinan yang tak pernah ia duga.
Bukunya terjual secara digital. Beberapa komunitas mengundangnya sebagai pembicara. Tapi Brotoseno tak pernah merasa dirinya guru. Ia hanya berbagi, berharap satu orang di luar sana tergerak untuk berubah.
“Wani ngalah luhur wekasane.” (Berani mengalah akan berakhir dengan kemuliaan.)
Wawancara dan Viral di Tengah Jalan
Suatu sore, seorang anak muda diam-diam merekam Brotoseno sedang memberikan buku gratis di taman kota. Video itu viral. Ia diundang ke acara TV lokal.
“Pak Brotoseno, apa yang membuat Bapak tetap aktif dan terus belajar di usia ini?”
Brotoseno menjawab tenang, “Karena saya belum mati. Dan saya ingin hidup saya berarti, bahkan di hari terakhir sekalipun.”
“Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” (Harga diri berasal dari tutur kata, harga badan dari pakaian.)
Kita Belum Selesai
Kini, Brotoseno masih berlatih naik gunung. Ia dan Andansari punya rencana kecil: naik ke bukit setiap Sabtu pagi, berdua. Bukan demi mencapai puncak, tapi agar bisa saling menyemangati untuk tetap hidup sepenuhnya.
Kalau kamu hari ini merasa lelah, merasa telat, merasa usiamu tidak memungkinkan untuk mulai kembali, ingatlah Brotoseno. Dan tulislah satu kalimat untuk dirimu sendiri:
“Aku belum selesai. Aku masih bernapas. Maka aku masih bisa.”
“Luwih becik urip saderhana nanging migunani, tinimbang urip mewah tanpa makna.” (Lebih baik hidup sederhana namun bermanfaat, daripada hidup mewah tanpa makna.)
.
.
.
Jember, 30 Juni 2025
Jeffrey Wibisono V.
.
.
#UsiaBukanHalangan #SemangatHidup #KisahInspiratif #BangkitDiUsiaSenja #CerpenMotivasi #KehidupanKedua #KaryaTanpaBatas #BelajarSepanjangHayat