Langkah Ayunda Episode 4: Ayunda dan Aliya, Belajar Bahagia Lagi

“Rumah yang utuh tak selalu hadir dari pasangan yang sempurna. Tapi dari keberanian seorang ibu yang membangun bahagia dari puing-puing luka.”
Ayunda, catatan refleksi ke-10

“Bahagia bukan tujuan akhir; ia kebiasaan kecil yang dipilih berulang-ulang, bahkan saat dada masih bergema oleh sisa badai.”
— dari blog Langkah Ayunda

.

Dari Episode 3

.

Pagi yang Tidak Biasa

Pagi itu di Jakarta Timur seperti lembar baru yang disobek halus dari buku lama: cahaya matahari menyelinap lewat kisi jendela, tetes embun di daun sirih melambat seperti jam yang sengaja diputar mundur, dan radio kecil di dapur menyiarkan suara penyiar yang mencoba terdengar ceria. Tidak ada suara bentakan. Tidak ada piring dibanting. Tidak ada tawa. Hanya sunyi—tetapi untuk kali ini, sunyi bukan musuh. Sunyi adalah udara yang bisa dihirup sampai paru-paru terasa lapang.

Ayunda menggeser gorden tipis kamar belakang: bekas gudang yang disulap jadi ruang multifungsi. Rak buku bekas menampung buku IPS kelas lima, kamus kecil, novel tipis hadiah dari perpustakaan keliling. Ada papan tulis putih dengan noda spidol yang menolak pergi, meja belajar dari kayu jati tua yang dipoles ulang. Dinding yang dulu berjamur kini bersih, ditempeli gambar pelangi buatan Aliya—pelangi yang setiap lengkung warnanya ditulis dengan huruf tegak bersambung.

Aliya duduk bersila di karpet tikar pandan, memeluk boneka beruang yang telinganya sedikit sobek—ia menamai beruang itu Cokelat. Bola mata anak itu bening, seterang air sumur baru ditimba.

“Mama, hari ini kita belajar apa?” tanyanya.

Ayunda mencium ubun-ubun putrinya. “Kita belajar… bahagia.”

Ruang Waras

Nama itu muncul setelah sesi konseling ketiga di puskesmas kecamatan. Konselor menyarankan jurnal syukur, rutinitas ringan, lingkar dukungan. “Ciptakan ruang aman,” katanya. Ayunda menyederhanakan semuanya jadi “Ruang Waras”: tempat menata napas, menata hari, menata pikiran.

Ruang itu bukan sekadar tempat belajar matematika, bukan sekadar pojok dongeng, bukan sekadar meja les privat. Di situ Ayunda menyembuhkan diri sambil menemani anak-anak tetangga mengejar nilai rapor. Di situ, angka-angka di buku tulis berubah jadi jembatan kecil yang menolongnya melintasi sungai gelap dalam kepala.

“Belajar itu bukan hanya soal angka dan huruf,” ucapnya pelan kepada Aliya. “Belajar itu juga tentang cara tetap bisa tersenyum meski hati ingin menangis.”

Pagi-pagi ia bangun, menyapu halaman, menyeduh teh jahe yang wangi, lalu menulis tiga kalimat di jurnal: satu tentang hal yang berjalan baik, satu tentang hal yang bisa diperbaiki, satu tentang harapan. Ia menulis bukan untuk jadi kuat-kuatan. Ia menulis agar tidak ambruk.

Kota yang Menjadi Latar

Jakarta mengajarinya ritme: bunyi klakson metromini yang tinggal cerita, denting saldo e-money di tap gate KRL, pengumuman stasiun yang datang dengan jeda terlatih: “Hati-hati melangkah, peron stasiun Manggarai.” Di pasar Rawa Bunga, ibu-ibu menawar cabe rawit seolah menawar nasib. Di ujung gang, warung kopi Mertakusuma mengepul pukul enam pagi, menyuguhkan kopi tubruk dan pisang goreng yang renyahnya selalu terdengar setengah jalan.

“Kopi pahitnya pas ya, Yun,” kata Mertakusuma suatu pagi. “Pahitnya di lidah, bukan di hati.”

Ayunda tertawa kecil. Di dinding warung, kalender bergambar kerbau memamerkan tanggal merah yang tak pernah cukup panjang. Dari bangku plastik, ia sering melihat Kertadarma, teknisi AC langganan komplek, lewat dengan motor bututnya—di helmnya tertempel stiker “Tetap Waras”. Ada Wirapati, satpam perumahan kecil di seberang, suka menyapa Aliya dengan salam lima jari. Dan Anggraeni dari posyandu, yang suaranya serak tetapi hangat, mengingatkan jadwal imunisasi sambil menyelipkan kalimat, “Jangan lupa bahagia, ya.”

Nama-nama itu—Mertakusuma, Kertadarma, Wirapati, Anggraeni—muncul dan lenyap seperti figuran yang diam-diam menjaga panggung tetap kokoh. Mereka dari kisah-kisah lama yang entah bagaimana menyeberang ke aspal hari ini, mengganti gelar dengan laku sederhana yang menyelamatkan.

Pelangi Setelah Badai

Dulu, Ayunda menunggu Reza berubah. Ia menunggu pintu tidak lagi dibanting. Menunggu tatapan tidak lagi setajam pecahan gelas. Menunggu pernah dipeluk tanpa syarat. Waktu membuatnya mengerti: menunggu orang lain berubah adalah menahan napas terlalu lama. Ia memilih opsi lain: belajar bernapas di bawah air.

Suatu malam, saat menyiapkan modul berhitung untuk murid les, Aliya datang membawa kertas lipat.

“Mama, aku buat origami. Namanya pelangi,” katanya.

“Kenapa pelangi, sayang?”

“Karena setelah Mama hujan terus… pelangi pasti muncul, kan?”

Ayunda roboh dalam pelukan anaknya. Air matanya jatuh seperti bening yang enggan pamer. Malam seketika tidak dingin.

Reza

Reza masih tinggal di rumah. Ia kini pulang lebih jarang, bicara lebih pendek. Bukan karena hatinya melunak, tapi karena Ayunda tidak lagi bisa dibentak. Batas diberi tanda: di pintu dapur tertempel post-it kuning bertuliskan, “Di rumah ini, suara tertinggi adalah sabar.” Di pintu kamar tertempel, “Jangan membawa badai ke ranjang.” Reza membaca tanpa banyak komentar.

Suatu pagi, Reza menggumam, “Kamu kayak nggak butuh aku.”

“Aku butuh kebaikanmu,” kata Ayunda tenang. “Kalau itu nggak ada, aku akan baik-baik saja tanpanya.”

Tidak ada naukahigh drama. Tidak ada musik orkestra. Hanya jeda panjang, seperti kereta yang tiba-tiba melambat sebelum masuk stasiun. Setelah itu, rumah melanjutkan ritmenya sendiri.

Menulis untuk Menyembuhkan

Malam-malam, setelah Aliya tidur dan serangga mengetuk nyaringan di luar jendela, Ayunda membuka laptop tua, mengetik di Word: Langkah Ayunda. Ia menulis esai: “Aku Tidak Pergi, Tapi Aku Tidak Lagi Menunggu.” Ia menggambarkan dapur dengan panci penyok, kursi plastik yang sedikit pincang, dan perempuan yang memutuskan untuk duduk tegak meski kursi enggan kompromi. Tulisan itu dibagikan ribuan kali. Pesan pribadi berdatangan: “Mbak, aku merasa ditemukan,” “Aku juga bertahan di rumah yang sama.” Ia membaca satu demi satu, seperti memungut surat botol yang terdampar ke pantainya.

Ia bukan aktivis. Ia bukan motivator. Ia hanya narator dari hidupnya sendiri yang mangap-mangap mencari udara. Tetapi narasi, ternyata, bisa menjadi oksigen bersama.

Podcast Mini: Ibu Waras

“Rekam saja di sini,” kata adik sepupunya, Anggraeni, sambil menunjuk ponsel yang disangga tumpukan buku. Mikrofon pinjaman diselotip ke penghapus papan tulis. Mereka menamai podcast itu Ibu Waras. Episode pertama tujuh menit: salam pendengar, pengakuan bahwa ia tidak sempurna, cerita tentang tiga kebiasaan kecil yang menyelamatkan, dan satu kalimat yang ia arsir: “Aku ingin sembuh bukan untuk membuktikan apa-apa kepada orang lain, tapi untuk membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku layak bahagia.”

Rekaman itu tersebar ke grup WA Emak-Emak Melek Literasi, lalu ke Komunitas Bacaan RPTRA, lalu entah ke mana lagi. “Suaramu menenangkan, Mbak,” tulis seseorang. “Seperti ada tangan yang memegang bahu.”

Aliya, Cermin Kecil

Aliya menggambar Mama mengajar anak-anak di Ruang Waras. Di atas gambar, ia menulis: “Mama itu rumah. Mama itu peluk. Mama itu tempat pelangi tidur.” Kalimat itu Ayunda tempel di dinding, tepat di atas jam yang kadang macet.

Di perpustakaan kota, ketika komunitas ibu mengundang Ayunda bercerita tentang “Membangun Ruang Bahagia di Rumah Sendiri”, ia berdiri di depan dua puluh kursi lipat, mikrofon yang kadang mendecit, AC yang mulai kehabisan dingin. Ia berkata lirih tetapi jelas, “Tidak semua rumah perlu ditinggalkan untuk sembuh. Kadang, yang kita perlukan adalah menemukan pintu baru di dalam rumah yang sama.”

Seorang ibu memeluknya sambil menangis. “Saya merasa tidak bersalah lagi karena memilih hidup,” katanya. Ayunda tahu pelukannya bukan jawaban, tetapi setidaknya ia bisa menjadi jeda.

Kota di Senja Hari

Sore hari, Ayunda dan Aliya naik KRL ke Stasiun Kota. Mereka berjalan di trotoar yang baru dipasang, melintasi mural warna-warni, menyapa pedagang mainan. Di sekitar Taman Fatahillah, musik keroncong mingguan berbunyi. Aliya memotret bayangan mereka jatuh di batu andesit, panjang dan miring. “Mama, kita kayak dua huruf yang jalan bareng,” katanya.

“Huruf apa?”

“Huruf A dan A,” jawabnya bangga. Ayunda tertawa: A untuk Aliya, A untuk Ayunda. Mereka membeli es potong nostalgia, duduk di bangku besi. Kota, pada jam itu, seperti memulangkan orang dengan lembut.

Di perjalanan pulang, di gerbong khusus perempuan yang harum lotion, Ayunda menulis di ponsel: “Pelajaran hari ini: kebahagiaan bukan hal besar yang meledak satu kali; ia tetesan kecil yang jatuh di jam yang tepat.” Ia menekan tombol unggah.

Malam dan Batas Baru

Malam yang lain datang dengan rinai pelan. Reza tiba lebih cepat dari biasanya, menaruh kunci di meja tanpa suara. Ia memandang Ruang Waras yang lampunya temaram.

“Kamu bikin usaha, ya?” katanya, nada datar.

“Aku bikin ruang,” jawab Ayunda.

“Buat apa?”

“Buat tetap waras.”

Reza menghela napas, campuran lelah dan bingung. Tidak ada pertarungan. Tidak ada resolusi bariton. Mereka seperti dua pulau yang memutuskan membiarkan laut menenangkan diri. Di kamar, Aliya sudah terlelap, tangan kecilnya menggenggam telunjuk boneka Cokelat. Ayunda memeluknya.

“Mama, jangan pergi ya,” gumam Aliya dalam tidur setengah sadar.

“Mama nggak pergi,” bisik Ayunda di rambut anaknya. “Mama sedang pulang ke diri Mama sendiri.”

Retak yang Diisi Terang

Keesokan minggu, Ruang Waras mengadakan kelas Sabtu Ceria. Anak-anak komplek berdatangan: Rara membawa buku gambar; Wirapati mengantar keponakan yang pemalu; Kertadarma menyumbang kipas angin bekas; Mertakusuma mengirim baki pisang goreng panas dengan secarik kertas: “Semoga renyahnya nyampe ke hati.” Mereka belajar pecahan, membaca cerita rakyat, dan menulis satu kalimat syukur di kertas warna-warni untuk ditempel menjadi pelangi di dinding. Pelangi itu tumbuh, minggu ke minggu, seperti bukti bahwa warna adalah kesepakatan yang kita pilih.

Di sela kelas, pesan masuk dari akun anonim: “Mbak, saya sering memaki anak. Bagaimana berhenti?” Ayunda mengetik pelan: “Mulai dengan maaf, terutama kepada diri sendiri. Ganti satu teriakan dengan satu pelukan setiap hari. Tidak usah sempurna, cukup konsisten.” Ia refleks menulis catatan untuk episode podcast berikutnya: Mengganti Teriak dengan Peluk—Satu Hari Satu Kali.

Kilas Balik yang Tak Menenggelamkan

Malam tertentu membawa kilas balik: suara pintu dibanting yang samar, tatapan yang membuat punggungnya menegang. Tetapi tubuh punya ingatan baru: aroma minyak kayu putih di bantal Aliya, suara klik panci presto di dapur tetangga, derik kursi plastik Ruang Waras. Di sela kilas balik, ada peluk yang ia berikan sendiri pada dirinya—peluk yang tidak menunggu persetujuan siapa-siapa.

Ia menulis: “Aku tidak ingin menjadi kuat karena dipaksa keadaan. Aku ingin menjadi kuat karena memilih menjaga yang rapuh.” Ia menambahkan kalimat di bawahnya: “Kerapuhan adalah pintu masuk empati.”

Pertemuan di Tepi Hujan

Hujan turun deras. Jalanan memantulkan lampu sepeda motor seperti sisik ikan. Ayunda berteduh di bawah kanopi minimarket. Seorang perempuan berdiri di sampingnya—mata lelah, bahu kurus. “Mbak Ayunda, ya?” tanyanya ragu. “Saya baca tulisan Mbak.”

“Aku,” kata Ayunda. “Terima kasih sudah membaca.”

Perempuan itu tersenyum, dua giginya ompong. “Saya nggak jadi ninggalin rumah,” katanya nyaris tak terdengar. “Aku nggak tahu apakah itu keputusan benar. Tapi malam ini aku bisa tidur tanpa benci.”

Hujan menipis. Mereka berpisah dengan tatapan yang membuat malam seperti punya suhu yang bisa dinegosiasikan. Di rumah, Ayunda menghapus embun di jendela dengan telapak tangan, lalu menulis di jurnal: “Malam ini aku percaya: hidup bisa jadi lantai yang tidak licin.”

Panggung Kecil di RPTRA

Komunitas RW mengadakan pentas bacaan. Aliya membaca puisi buatannya sendiri di panggung—suara kecil tapi pasti: “Jika Mama adalah rumah, biarkan aku jadi jendela. Biar kita sama-sama belajar buka-tutup pada yang seperlunya.” Orang-orang bertepuk tangan. Reza datang terlambat, berdiri di belakang, mencatat sesuatu dalam diam. Sepulang acara, ia berkata, “Aliya bagus tadi.” Kalimat sederhana itu meluncur seperti kelereng yang akhirnya menemukan jalur.

“Kita semua sedang belajar,” jawab Ayunda.

“Termasuk aku?” Reza menatap jengah.

“Termasuk kamu.”

Di langkah pulang, Aliya meloncat menghindari genangan. Kaki-kaki kecil itu menemukan ritme yang menular ke ibu dan ayahnya: ritme yang tidak sempurna, tetapi bisa dipelajari.

Malam yang Lebih Jernih

Malam itu, sebelum tidur, Ayunda menulis daftar singkat:

  1. Membuka jendela Ruang Waras.

  2. Menyeduh teh jahe.

  3. Menulis tiga kalimat di jurnal.

  4. Mengajar anak-anak pecahan dan menulis syukur.

  5. Merekam Ibu Waras episode baru.

  6. Memeluk Aliya sedikit lebih lama.

Di bawah daftar, ia menambahkan kutipan untuk dirinya sendiri:

“Kita bisa gagal berkali-kali dalam rencana besar, tetapi kita selalu bisa menang dalam kebiasaan kecil yang baik.”

Ia mematikan lampu. Sunyi datang lagi, bukan sebagai bayangan, melainkan sebagai selimut.

.

Bahagia sebagai Pelajaran Tanpa Ujian Akhir

Tidak ada sertifikat lulus untuk orang yang belajar bahagia. Tidak ada toga. Tidak ada foto formal di studio dengan bunga plastik. Yang ada adalah pagi-pagi yang diisi ulang, malam-malam yang ditenangkan, dan hari-hari yang dipilih satu per satu. Ayunda tidak pergi, tetapi ia tidak lagi menunggu. Ia tidak menang atas siapa pun, tetapi ia menang bersama anaknya.

Suatu pagi, Aliya bertanya, “Mama udah lulus belum?”

“Belum,” jawab Ayunda sambil mengikat rambut anaknya. “Tapi Mama sedang menuju ke sana. Pelan-pelan. Tapi pasti.”

Di dinding, pelangi kertas mereka kini bertambah satu warna: putih. “Buat apa warna putih?” tanya Ayunda.

“Buat istirahat, Ma,” jawab Aliya mantap. “Biar pelangi kita punya tempat napas.”

Ayunda menatap Ruang Waras: rak buku bekas, papan tulis bernoda, meja jati tua, kipas angin yang disumbang Kertadarma, pisang goreng renyah Mertakusuma, salam lima jari Wirapati, pesan suara Anggraeni yang serak hangat, dan—di pusat semuanya—Aliya yang duduk dengan Cokelat di pangkuan. Di sana, di kota yang gemuruh, di rumah yang sederhana, kebahagiaan diramu kembali: bukan sebagai pesta, melainkan sebagai doa yang diulang pelan.

Dan setiap kali doa itu diucapkan, ada yang bergerak di dalam: sebuah keberanian kecil, seperti lampu kuning di perempatan—tidak menyuruh berhenti, tidak memaksa berjalan—hanya mengingatkan, “Hati-hati, tapi lanjutkan.”

.

Baca Episode 5: Percakapan Terakhir di Meja Sarapan

.

.

.

Jember, 27 Juni 2025 (1 Muharram 1447H)

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LangkahAyunda #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #IbuDanAnak #RuangWaras #HealingJourney #UrbanStory #Jakarta #LiterasiEmosional #BahagiaLagi

.

Kutipan Tambahan dari Langkah Ayunda

  • “Memaafkan bukan melupakan luka; memaafkan adalah menolak membiarkan luka menentukan arah pulang.”

  • “Ruang aman tidak selalu luas; kadang selebar meja tulis dan sedalam pelukan seorang anak.”

  • “Bahagia tidak selalu tertawa; kadang ia meletak tenang di antara dua helaan napas.”

Leave a Reply