Perempuan yang Tak Lagi Risau
“Jangan terlalu risau dengan apa yang orang bicarakan di belakangmu. Seringkali, mereka hanya sedang sibuk mencari kesalahanmu, karena belum sanggup memperbaiki kesalahan dalam hidup mereka sendiri.”
.
Pagi yang Sibuk di Kotaraja
Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 07.15. Jalanan Kotaraja sudah mulai ramai. Suara derap kaki dan kendaraan menambah hiruk-pikuk khas kota kerajaan.
Di dalam kereta kuda pribadi miliknya, Bela Srikandi menarik napas panjang. Ia baru saja ditunjuk sebagai pimpinan proyek renovasi istana tua peninggalan Raja Menakjinggo. Bukan tugas ringan. Dan bukan tanpa konsekuensi.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari sahabat lamanya, Ratri Kelaswara, muncul:
“Apapun yang mereka bicarakan, tetaplah jadi dirimu sendiri, Bel. Fokus ke langkah berikutnya.”
Bela tersenyum tipis. Pesan sederhana itu seolah menjadi pelindung lembut bagi hatinya yang mulai lelah.
Bela Srikandi
Bela, atau lengkapnya Bela Srikandi, perempuan bangsawan Menak keturunan langsung dari Prabu Menakjinggo, tidak tumbuh dalam kemewahan seperti yang orang kira. Ibunya wafat saat ia berusia sepuluh, dan ayahnya adalah seorang pejabat biasa di sektor konstruksi kerajaan.
Sejak muda, Bela sudah menunjukkan kecakapan merancang bangunan dan memahami struktur tanah kerajaan. Ia belajar keras di Sekolah Arsitektur Mandalika dan kemudian bergabung dengan Lembaga Desain Mandapala.
Kenaikannya ke posisi puncak sebagai kepala proyek istana bukan karena koneksi, melainkan konsistensi. Tapi tidak semua orang melihatnya begitu.
Di Balik Punggung
Setelah proyek renovasi istana tua Menakjinggo diumumkan sukses, omongan mulai bermunculan.
“Ah, dia cuma menantu utusan keraton, makanya gampang naik.” “Itu mah bukan kerjaan dia sendiri. Banyak yang bantu di balik layar.” “Semua pencitraan. Jauh dari realita di lapangan.”
Kabar burung itu menyebar lebih cepat dari merpati pos. Di ruang minum teh, di aula kerajaan, bahkan di ruang ibadah. Bela tahu. Tapi ia menahan diri. Sampai batas tertentu.
Pertemuan dengan Ratri
Sore itu, ia menemui Ratri Kelaswara, sahabat kuliahnya yang kini menjadi psikolog dan penyembuh spiritual dengan sertifikasi Ramuan Bunga Bach.
“Aku capek, Ri,” ucap Bela lirih. “Karena proyek?” “Bukan. Karena omongan orang.”
Ratri hanya tersenyum.
“Bel, kau tahu siapa yang suka mencari kesalahan orang lain? Mereka yang belum berdamai dengan kesalahan dalam hidupnya sendiri. Kau tidak bisa mengendalikan mereka. Tapi kau bisa mengatur reaksimu sendiri.”
Bela terdiam. Kata-kata itu menghunjam lembut namun dalam.
Batas yang Sehat
Atas saran Ratri, Bela mulai menetapkan batas yang sehat. Ia tidak lagi hadir di setiap undangan jamuan. Ia tidak menjawab isu lewat pesan kilat.
Ia memperkuat hubungan dengan mentor sejati seperti Menak Gandarusa, dan mempercayakan hanya pada orang yang tulus. Grup diskusi arsitektur di Istana dirancang ulang. Ia hanya fokus pada yang membangun.
Ujian Terbuka di Aula Agung
Beberapa pekan kemudian, Dewan Kerajaan memintanya menjadi narasumber dalam Forum Desain Istana se-Nusantara. Reaksi muncul:
“Apa dia pantas bicara di forum itu? Bukankah masih ada Menak Purbaya yang lebih senior?”
Bela berdiri. Dengan suara tenang:
“Saya tidak pernah meminta untuk ditunjuk. Tapi jika apa yang saya tahu bisa bermanfaat, maka saya siap menyampaikan.”
Ruangan hening. Bahkan para penasihat mengangguk pelan.
Hari Panggung
Hari forum pun tiba. Bela membawakan materi tentang arsitektur berkelanjutan berbasis tradisi.
Ia tidak bicara soal gelar. Ia tidak bicara soal jabatan. Ia bicara tentang proses.
“Kita harus membangun bukan hanya yang indah dilihat, tapi juga yang tidak menyakiti bumi.”
Saat tanya-jawab, seorang peserta muda bertanya:
“Bagaimana Kakak menghadapi kritik dan fitnah saat bekerja?”
Bela tersenyum:
“Saya fokus pada apa yang bisa saya perbaiki dari dalam diri saya. Tidak semua suara harus dibalas. Tidak semua harus dibuktikan.”
Kilas Balik
Malamnya, di kamarnya, Bela menulis:
“Aku tidak hidup untuk membenarkan semua kata tentangku. Aku hidup untuk melanjutkan tanggung jawabku, menebar manfaat, dan merawat warisan.”
Ia teringat almarhum ibunya yang dulu berkata:
“Nak, di jalan yang benar, tetaplah melangkah. Meski kau sendirian.”
Tidak Lagi Risau
Waktu berlalu. Bela tidak berubah menjadi orang keras. Ia hanya menjadi lebih bijaksana.
Di taman istana, ia bertemu Ratri lagi.
“Bel, bagaimana hatimu sekarang?”
“Tenang. Karena aku tahu, risau hanya milik mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri.”
“Orang yang sibuk memperbaiki dirinya sendiri, tidak punya waktu untuk mencela orang lain.”
.
.
.
Jember 7 Juli 2025
.
.
#CeritaMenakJawa #PerempuanTangguh #CerpenInspiratif #KepemimpinanBijak #SelfBoundary