Langkah Ayunda Episode 5 : Percakapan Terakhir di Meja Sarapan

“Aku sudah tidak menunggu kamu berubah. Tapi aku sudah berubah cukup jauh untuk tidak lagi menunggu.”
— Ayunda

.

Dari Episode 4

.

Fajar yang Tenang, Tapi Tidak Dingin

Ayunda terbangun sebelum alarm berbunyi. Udara pagi belum banyak berubah sejak sepuluh tahun lalu ia pertama pindah ke rumah ini. Aroma embun dari celah jendela dapur, suara ayam tetangga, gemerisik pohon mangga di halaman belakang—semuanya masih sama. Yang berubah adalah hatinya.

Ia ke dapur, menyalakan kompor, merebus air. Tangannya menyiapkan nasi uduk, telur dadar, dan teh manis. Menu yang Reza suka, dan yang Aliya cintai. Sederhana, tapi penuh arti. Karena pagi itu, Ayunda tahu: ini bukan pagi biasa.

Ia tak akan berteriak. Tidak akan menangis. Tapi pagi ini, akan ada satu percakapan yang sudah ia simpan selama bertahun-tahun. Bukan untuk menyalahkan. Tapi untuk menyelesaikan.

Reza Duduk, Tapi Jiwanya Tidak Lagi Bersama

Reza datang ke meja makan dengan langkah biasa. Kaus oblong gelap, celana pendek, rambut sedikit acak. Matanya tetap lekat ke layar ponsel. Ayunda mengamati. Ia tak kesal, tak juga berharap.

“Pagi,” kata Ayunda.

“Hmm,” balas Reza, tanpa melihat wajahnya.

Mereka duduk berhadapan. Di antara mereka ada nasi uduk, dua cangkir teh, dan sepuluh tahun sunyi yang tak pernah benar-benar dibicarakan.

Percakapan yang Tak Lagi Ditunda

Ayunda menggenggam cangkir teh, menghirup perlahan, lalu menatap Reza dengan lembut tapi tegas.

“Za…”

Reza mendongak. “Ya?”

“Aku nggak akan pergi,” ucap Ayunda pelan.

Alis Reza mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Aku masih di rumah ini. Akan tetap jadi ibu Aliya. Akan tetap ada di meja ini. Tapi aku tidak lagi menunggumu.”

Reza meletakkan ponsel.

“Apa maksudnya?” ulangnya.

Ayunda menatap mata suaminya. Mata yang dulu membuatnya jatuh cinta, tapi kini tak lagi memancarkan kehangatan. Ia tidak membenci mata itu. Ia hanya tak ingin hidup dalam bayangannya lagi.

Tidak Lagi Menunggu: Keputusan yang Sepi tapi Merdeka

“Aku tidak menunggu kamu berubah. Tidak lagi menunggu kamu minta maaf. Tidak menunggu kamu peka, atau romantis, atau peduli. Karena aku tahu… kamu tidak akan jadi orang yang seperti itu. Dan itu bukan salahmu.”

Reza membisu. Ia terlihat terkejut. Tapi Ayunda tahu, ini bukan tentang dia. Ini tentang dirinya sendiri.

“Aku tetap di sini, bukan karena cinta. Tapi karena aku sudah membangun hidup baru—bukan denganmu, tapi di sekelilingmu. Ruang belajarku. Podcast-ku. Tulisan-tulisanku. Aliya. Semua itu… cukup untuk membuatku bertahan. Tapi bukan untuk menunggu.”

Reza masih diam. Tapi kini wajahnya menegang.

“Kadang perempuan bertahan bukan karena cinta, tapi karena ia tahu: hidup tak selalu tentang siapa yang memelukmu, tapi tentang siapa yang ingin kau peluk meski tak pernah dipeluk kembali.”
Catatan Ayunda, malam sebelum percakapan

Reza Mencari Pembelaan, Ayunda Memberi Kejelasan

“Kamu menyalahkanku?” tanya Reza.

Ayunda menggeleng. “Tidak. Aku menyalahkan diriku sendiri karena terlalu lama berharap. Dan sekarang, aku sedang memaafkan diriku… karena akhirnya aku tahu apa yang layak untuk diperjuangkan dan apa yang hanya layak untuk dilepaskan dari dalam hati.”

“Lalu kamu mau pisah?” Suara Reza meninggi.

Ayunda menjawab datar. “Pisah? Tidak. Kita sudah lama pisah, Reza. Hanya saja tubuh kita masih tinggal dalam rumah yang sama.”

Aliya Masuk ke Dapur: Simbol Bahagia yang Tidak Pura-Pura

Di tengah percakapan yang menegang, Aliya masuk ke dapur. Menggosok matanya, lalu menyapa riang, “Selamat pagi Mama… Papa…”

Ayunda langsung tersenyum. “Pagi sayang.”

Reza juga berusaha tersenyum. “Pagi.”

“Ada nasi uduk yaa… yay!” sorak Aliya sambil duduk di kursi kecilnya.

Ayunda menatap Reza, lalu berkata pelan. “Untuk dia… aku akan tetap di sini. Tapi bukan untuk kamu.”

Setelah Sarapan: Saat Kata Lebih Tajam dari Air Mata

Setelah sarapan, Reza pamit ke luar rumah. Entah ke mana. Tapi Ayunda tidak lagi peduli. Ia membereskan meja bersama Aliya. Mereka tertawa saat Aliya menjatuhkan sendok dan berkata, “Aduh, sendoknya ngambek!”

Ayunda mencubit pipinya. “Sendok aja bisa ngambek, manusia juga boleh… asal tahu kapan harus diam.”

Aliya terkekeh.

Ayunda mencatat dalam hatinya: Aku tetap di sini bukan untuk bertahan, tapi untuk tumbuh.

Malam Itu: Pelukan Terakhir dari Masa Lalu

Malam tiba. Angin dingin masuk dari celah jendela kamar. Ayunda memeluk Aliya yang sudah tertidur. Lalu menulis di jurnalnya:

“Hari ini, aku tidak menunggu lagi. Dan aku tidak menyesal. Karena aku bukan lagi perempuan yang sama seperti dulu. Aku sekarang adalah ibu, perempuan, manusia—yang memilih pulih walau tanpa pelukan.”

Ia menutup jurnal. Mematikan lampu. Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun… tidur tanpa rasa bersalah.

Esok Hari: Dunia yang Tidak Perlu Sempurna untuk Membahagiakan

Keesokan paginya, Ayunda membuka podcast-nya: episode pamungkas dari seri “Ibu Waras”.

Dengan suara tenang, ia berkata:

“Hai, aku Ayunda. Aku bertahan. Tapi bukan karena aku kuat. Karena aku memutuskan tidak lagi menyakiti diriku dengan menunggu. Kamu boleh pergi. Tapi kamu juga boleh tinggal. Tapi pastikan kamu tidak melupakan dirimu sendiri.”

Podcast itu viral. Banyak ibu mengirim pesan. Banyak perempuan bilang, “Aku seperti Ayunda.”

Meja Sarapan yang Kini Sunyi Tapi Damai

Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Reza lebih sering pulang larut. Kadang pergi tanpa pamit. Tapi Ayunda tidak lagi mencatat. Tidak lagi memikirkan. Tidak lagi merasa bersalah.

Ia menulis. Mengajar. Memeluk Aliya. Makan malam dengan penuh tawa. Meja makan tetap dua kursi, satu cangkir kosong, tapi hati Ayunda… penuh.

Dan jika seseorang bertanya, “Apakah kamu bahagia?”

Ayunda akan menjawab:

“Bahagia bukan karena seseorang membuatku lengkap. Tapi karena aku berhenti menunggu sesuatu yang tidak pernah datang… dan mulai mencintai apa yang selalu ada: diriku sendiri dan anakku.”

.

.

.

Jember 27 Juni 2025 (1 Muharram 1447H)

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LangkahAyunda #PercakapanTerakhir #CerpenEmosional #PerempuanSembuh #CeritaIstriTegar #EndingYangJujur #MentalWaras #CeritaPagiSunyi

 

Leave a Reply